Skip to content

Pertalian Ilmu Qiraat dan Ilmu Nahwu

Qiraat dan nahwu mempunyai hubungan yang sangat erat. Banyak ulama lebih dahulu dikenal sebagai pakar qiraat sebelum menjadi ahli nahwu.

FOTO Ilustrasi (Ali Burhan/Unsplash)
FOTO Ilustrasi (Ali Burhan/Unsplash)

Qiraat dan nahwu mempunyai hubungan yang sangat erat. Kesalahan ucap yang terjadi di kalangan kaum muslimin sejak abad pertama merambah sampai pada kesalahan baca Al-Quran. Hal ini menjadi sebab utama yang mendorong para ulama merumuskan ilmu nahwu dan mengerahkan perhatian terhadapnya, terlebih dalam merumuskan kaidah-kaidahnya.

Selain itu, bahasa ini merupakan bahasa bangsa Arab dan nenek moyang mereka, sehingga para ulama tidak sampai mengabaikannya. Terlebih Allah telah memuliakan kaum muslimin bangsa Arab dengan menurunkan Al-Quran dengan bahasa mereka.

Qiraat sendiri merupakan ragam bacaan yang dibolehkan Nabi Muhammad SAW untuk membaca Al-Quran. Hal itu bertujuan untuk mempermudah umatnya sebagaimana yang tercantum dalam hadits ahrufussab’ah. Begitu juga karena qiraat datang sesuai dengan ragam dialek bangsa Arab itu sendiri.

Metode Pendidikan Al-Azhar dalam Risalah Sang Imam Akbar
Ulasan atas risalah yang merangkum ide-ide Imam Akbar tentang metode Al-Azhar. Metode pendidikan Islam yang dijaga dan diterapkan lintas generasi.

Di dalam kitab An-Nasyr fi Qiraat Al-Asyr disebutkan, “Adapun sebab turunnya Al-Quran dengan tujuh huruf adalah untuk meringankan dan mempermudah umat Islam, sebagai bentuk kasih sayang Allah terhadap mereka dan jawaban atas permintaan Nabi-Nya yang tercinta, ciptaan-Nya yang paling mulia; yang mana Jibril datang kepada Rasulullah SAW dan berkata, “Sesungguhnya Allah memerintahkan kepadamu untuk membacakan Al-Quran kepada umatmu dengan satu huruf.” Kemudian Rasulullah SAW bersabda, “Aku memohon kepada Allah ampunan dan pertolongan-Nya, dan bahwasanya umatku tidak mampu untuk itu”.

Beliau terus mengajukan permasalahannya tersebut hingga akhirnya Allah menyetujui permintaannya dan menurunkan Al-Quran dengan tujuh huruf.

Dalam hadits sahih juga disebutkan, “bahwasanya Allah mengutusku untuk membacakan Al-Quran kepada umatku dengan satu huruf. Kemudian aku mengembalikan permasalahan tersebut agar Allah meringankan, sampai akhirnya Allah menyetujui Al-Quran turun dengan tujuh huruf”.

Al-Quran Turun Melalui Tujuh Pintu

Sebagaimana disebutkan dalam hadits sahih, Al-Quran diturunkan melalui tujuh pintu dan dengan tujuh huruf. Adapun kitab-kitab sebelumnya diturunkan hanya melalui satu pintu dan dengan satu huruf. Hal tersebut karena para nabi sebelum Nabi Muhammad SAW diutus hanya untuk kaumnya saja, berbeda halnya dengan beliau SAW yang diutus untuk semesta alam, baik bangsa Arab maupun non Arab.

Ketika Al-Quran diturunkan dengan bahasa Arab, kala itu, antara satu Arab dengan yang lainnya juga memiliki bahasa dan dialek yang berbeda, begitupun lisan mereka. Sehingga untuk berpindah dari satu bahasa ke bahasa yang lain, atau satu huruf ke huruf yang lain (mengingat dialeknya yang berbeda), menjadi susah untuk mereka lakukan. Bahkan sebagian dari mereka tidak bisa melakukannya meski dengan dilatih dan diajarkan. Apalagi kaum perempuan, para orang tua, dan mereka yang tidak bisa baca tulis. Apabila membaca Al-Quran dengan satu huruf dipaksakan, akan terjadi taklifun bima la yuthaaq atau membebankan sesuatu yang tidak bisa dilakukan.

Al-Quran

Kumpulan tulisan dengan kata kunci Al-Quran dan cabang ilmunya bisa teman-teman temukan

di sini

Apa itu Qiraat?

Adapun qiraat itu sendiri, bukanlah "tujuh huruf" yang dimaksud, sebagaimana yang sebagian orang mengira. Qiraat datang sesuai dengan dialek bangsa Arab yang berbeda-beda. Pada masa awal itu, meski masing-masing kabilah bangsa Arab mengucapkan bahasa mereka sendiri, namun kesemuanya masih murni dan jauh dari kesalahan (lahn). Meski demikian, derajat kefasihannya pun bertingkat-tingkat. Kemudian datanglah qiraat sebagai bentuk keberlangsungan (pelestarian) dari ragam dialek mereka itu.

Qiraat Al-Quran diibaratkan serupa cermin yang sangat jernih sehingga mampu mencerminkan keadaan bahasa Arab sebenarnya. Bahasa yang saat itu dominan di Semenanjung Arab sebelum Islam.

Qiraat juga merupakan piranti ilmu yang paling pokok untuk mengetahui ragam dialek bangsa Arab, karena metode transisi yang dimilikinya berbeda dengan ilmu lain, seperti syair, natsr, dan lain-lain. Ilmu-ilmu kebahasaan lain itumemiliki peran yang sama, yakni menjadi sumber pengambilan bahasa.

Dan untuk menguasainya, qiraat tidak cukup dilakukan hanya dengan mendengar, melainkan harus dengan talaqqi atau berhadapan dan memperdengarkannya (menyimakkan) di depan guru. Keduanya  merupakan syarat utama dalam pengambilan bahasa.

Para Pakar Nahwu adalah Para Imam Qiraat

Tidak seorang pun ragu bahwa nahwu merupakan buah pikir dari analisa terhadap qiraat Al-Quran. Karena pada awalnya, para ulama tidak menganalisa ilmu yang mempelajari persoalan terkait susunan bahasa. Para ulama sampai pada ilmu tersebut berkat interaksi intens dengan qiraat Al-Quran sekaligus telah menguasainya secara matang.

Moderasi Berbasis Tasawuf
Banyak sebab yang mengantarkan seorang muslim kepada pola pikir radikal. Salah satunya kondisi jiwa yang kering akan nilai spiritualitas Islam.

Buktinya, para pionir ulama nahwu terdahulu merupakan ulama yang mahir dalam bidang qiraat. Mereka dikenal sebagai pakar qiraat telebih dahulu sebelum kemudian menjadi para ulama nahwu. Di antara mereka adalah:

Abdullah bin Abi Ishaq Al-Hadhrami (w. 129 atau 127 H)

Beliau merupakan ulama yang menjadikan ayat-ayat Al-Quran sebagai landasan atas pandangannya tentang nahwu. Beliau juga memiliki pandangan tersendiri dalam memahami nas, misalnya, beliau lebih memilih harakat fathah daripada dhammah pada kalimat أو نرد pada ayat berikut:

فَهَلْ لَّنَا مِنْ شُفَعَاۤءَ فَيَشْفَعُوْا لَنَآ اَوْ نُرَدُّ فَنَعْمَلَ غَيْرَ الَّذِيْ كُنَّا نَعْمَلُۗ  - سورة الأعراف : ٥٣

Hal ini karena kalimat أو نرد di-‘athaf-kan pada kalimat فيشفعوا  dan menjadikannya jawaban dari pertanyaan ayat tersebut.

Beliau juga membaca dengan nashab atau fathah kalimat الصلوة pada ayat berikut:

الَّذِيْنَ اِذَا ذُكِرَ اللّٰهُ وَجِلَتْ قُلُوْبُهُمْ وَالصّٰبِرِيْنَ عَلٰى مَآ اَصَابَهُمْ وَالْمُقِيْمِي الصَّلٰوةِۙ وَمِمَّا رَزَقْنٰهُمْ يُنْفِقُوْنَ - سورة الحج : ٣٥

Lafal الصلوة ditempatkan sebagai maf’ul dari lafal المقيمي  yang merupakan isim fail, meski nun pada lafal tersebut dihapus. Seolah nun yang dihapus tersebut bertujuan untuk meringankan bacaan, dan tidak menjadikannya sebagai mudhaf ilaih dari lafal الصلوة .

Abu Amr bin Alaa’ (w. 154 H)

Beliau merupakan ulama yang membuka jalan bagi lahirnya tiga pakar nahwu yang jenius, yaitu Khalil, Yunus, dan Sibawaih.

Beliau juga merupakan imamnya para imam qiraat yang berjumlah tujuh. Beliau dikenal memiliki ilmu yang tidak dimiliki oleh ulama lain. Beliau kerap memberikan argumen terhadap permasalahan qiraat dan sering menjadikannya sebagai dalil dalam ilmu tata bahasa Arab atau nahwu. Akan tetapi beliau juga menolak sebagian qiraat, karena beliau hanya membacakan apa yang telah dibaca sebelumnya dari ulama-ulama terpercaya dalam ilmu qiraat.

Oleh karena itu, ketika beliau ditanya, “Apakah semua yang engkau ambil dan engkau baca adalah yang pernah engkau dengar?”

Beliau menjawab, “Jika belum pernah kudengar, aku tidak akan membacanya, karena qiraat adalah tuntunan.”

Zavilda dan Ketidakdewasaan Beragama
Meski sudah klarifikasi terkait konten eksperimen menutup aurat, Zavilda tetap mendapat kecaman. Mengapa dan bagaimanakah idealnya berdakwah?

Beliau sangat memperhatikan bacaannya dan menjauhi bacaan yang syadz (menyimpang). Misalnya, beliau menolak bacaan Muhammad bin Marwan As-Sudi yang membaca fathah pada kalimat أطهر pada ayat هؤلاء بناتي هن أطهر لكم dan menuduh dirinya telah melakukan lahn atau tidak fasih.

Selain dua nama yang tersebut di atas, ada ulama lain yang juga merupakan pionir ulama nahwu dan mahir dalam bidang qiraat. Mereka adalah Khalil bin Ahmad Al-Farahidi, Sibawaih, Ali bin Hamzah Al-Kisai, dan Yahya bin Ziyad Al-Farra'.

Mereka semua adalah para ulama yang merumuskan kaidah nahwu. Ilmu qiraat yang telah mereka kuasai mempunyai pengaruh besar dalam perumusan kaidah nahwu tersebut bagi mereka.


💡
Baca juga artikel lain di rubrik ISLAMUNA atau tulisan menarik Hafidzah Assa'adah

Latest