Skip to content

Pesan Sosial Surah At-Takatsur

Tafsir dengan pendekatan sosial dirasa menarik untuk dibaca hari ini. Antara lain Tafsir Al-Maraghi terhadap Surah At-Takatsur berikut ini.

FOTO: Ilustrasi untuk tulisan Pesan Sosial dalam Surah At-Takatsur (Faseeh Fawaz/Unsplash)
FOTO: Ilustrasi untuk tulisan Pesan Sosial dalam Surah At-Takatsur (Faseeh Fawaz/Unsplash)

Di antara tema-tema universal Al-Quran, nilai sosial termasuk tema yang penting dan menarik untuk diperhatikan. Hubungan manusia dengan Tuhan (ritual) akan tidak sempurna jika tidak disertai dengan hubungan antar sesama (sosial) secara baik. Keduanya di dalam Al-Quran tidaklah terpisahkan, bahkan banyak dari ajaran syariat Islam yang mengandung nilai sosial yang tinggi. Nilai sosial dalam Al-Quran, menurut saya menunjukkan bahwa Al-Quran tidak berjarak dengan realitas manusia. Al-Quran sebagai kitab paripurna, meliputi realitas manusia dari sejak Nabi Adam hingga manusia akhir zaman. Sehingga kita melihat Al-Quran membicarakan dan mencela perilaku-perilaku buruk umat terdahulu, yang menurut saya, masih dan senantiasa relevan di masa kita. Seperti hedonisme, gaya hidup glamor, dan banyak sekali penyakit sosial modern.

Pembahasan ini —yang saya sebut– tafsir sosial juga tidak asing di dalam tradisi ilmu tafsir Islam. Syekh Muhammad Abduh dikenal sebagai pelopornya. Metode tafsir ini kemudian dikenal dengan Tafsir Adabi Ijtima’i. Banyak gagasan-gagasan pembaharuan yang progresif dari sosok Muhammad Abduh ini yang ia tuangkan dalam penafsirannya. Selain Abduh, dalam tulisan kali ini saya merujuk dari sosok Syekh Ahmad Musthafa Al-Maraghi, salah satu muridnya. Dalam tafsirnya, yang diberi nama Tafsir Al-Maraghi, ia juga menggunakan pendekatan Adabi Ijtimai dalam menafsirkan. Berangkat dari situ saya di sini akan membahas tafsir Syekh Al-Maraghi terhadap Surah At-Takatsur: kritik terhadap gaya hidup glamor dan hedon, serta pengaruhnya dalam kehidupan sosial.

Mengenal Kitab Tafsir Karangan Syekh Muhammad Al-Maraghi
Tafsir Al-Maraghi sudah cukup dikenal khalayak. Namun, ada Al-Maraghi lain yang juga mempunyai sebuah kitab tafsir dan diterbitkan oleh Al-Azhar.

Surah At-Takatsur diturunkan (Asbabun Nuzul) sebagai kritik terhadap kabilah Banu Haritsah dan Haris dari sahabat Ansor. Sebagaimana diriwayatkan dari Ibnu Abi Hatim dari Abi Buraidah, ia berkata: “ayat “alhakumut takatsur” turun di dua kabilah dari Anshor. Keduanya adalah Banu Haritsah dan Banu Harits, di mana mereka saling membanggakan diri dan memperbanyak kekayaan diri mereka. Maka salah satu dari dua kabilah itu berkata, apakah kalian memiliki orang seperti fulan dan fulan? Dan kabilah yang lain pun berkata demikian.” Sebuah budaya kabilah mengakumulasi kekayaan untuk menyaingi kabilah lain. Kebanggaan dan kemuliaan diukur dari banyaknya harta, sebaliknya kerendahan dan kehinaan ketika miskin dan kalah dalam persaingan itu.

Surah dimulai dengan, “Alhakumut takatsur (1), hatta zurtumul-maqabir (2)”. Dua ayat pembuka itu juga menjadi inti dari tema surah tersebut. Dalam Tafsir Al-Maraghi, ayat tersebut bermakna, “Kalian telah disibukkan untuk berbangga diri dengan banyaknya kolega, sehingga melalaikan kalian untuk bersungguh-sungguh dalam berusaha. Kalian dilalaikan dengan bermain kata-kata ketimbang bekerja.” Kemudian Syekh Ahmad Al-Maraghi juga mengutip komentar Syekh Muhammad Abduh tentang ayat ini. Menurut Abduh, makna At-Takatsur adalah persaingan tidak sehat dalam menumpuk kekayaan materiil maupun jabatan politis. Suatu sikap ketidakpuasan manusia terhadap pencapaiannya sebelum ia bisa ‘melebihi’ orang lain, dari aspek manapun. Sehingga mereka bisa sombong dan merendahkan orang lain, atau merendahakn komunitas lain yang di bawahnya.

Ayat hatta zurtumul maqabir berarti, “hingga kalian binasa dan mati. Maka kalian telah menyia-nyiakan umur hidup dalam hal-hal yang tidak berfaedah.” Ayat ini menjadi batas dari rasa ketidakpuasan manusia sebelum ‘melebihi orang lain’ dalam banyak hal. Kematian kemudian datang sebagai akhir yang membatasi kerakusan manusia, khususnya dalam konteks memperkaya diri, meninggikan jabatan hanya agar dilihat ‘lebih’ oleh orang lain.

Apa kemudian konskuensi dari budaya persaingan glamoritas manusia itu? Ayat selanjutnya menjadi jawabannya, Kalla saufa ta’lamun (3), tsumma kalla saufa ta’lamun (4).” Ayat ini datang dengan makna “Jauhilah perilaku semacam ini yang akan berakibat pada terpecahnya tali silaturrahim: kasih sayang berubah menjadi kedengkian dan dendam. Lalu kembalilah dengan bersikap saling menolong atas kebenaran, guyub rukun dan bahu-membahu membantu sesama. Yang dengan itu masyarakat dan individu akan terbangun jalinannya.” Dengan bahasa lain, mereka, manusia akan segera tahu bahwa akibat dari perilaku tersebut adalah terpecahnya hubungan sosial. Sebab kedengkian dan dendam sumber dari seluruh penyakit sosial.

Ayat selanjutnya, bernada sindiran “Kalla lau ta’lamuna 'ilmal yaqin (5).” Bermakna, “Sadarilah akan tertipunya diri ini dari sikap berbangga dan meninggikan diri akan materi. Dan sadarilah apa yang kalian sebut itu ilmu, bukanlah ilmu. Melainkan ilusi sahaja, ilmu yang tak berdasar.” Penjelasan Syekh Ahmad Al-Maraghi di atas bermaksud bahwa Al-Quran tengah menyindir bahwa pengetahuan mereka itu belum menjadi kesadaran utuh. Mereka, orang-orang yang lalai itu sebenarnya tahu akibat dari perbuatan mereka. Tetapi mereka masih tetap, alias pengetahuannya tidak menjadi sebuah kesadaran. Kesadaran inilah menurut Syekh Ahmad Al-Maraghi merupakan makna implisit dari kata 'ilmul yaqin.

Belajar dari Polemik Meninggalnya Vanessa Angel
Polemik yang mengiringi meninggalnya Vanessa Angel dan Bibi Andriansyah tak jua berhenti. Darinya kita bisa mengambil ilmu dan pelajaran berharga.

Kemudian ayat dipungkas dengan hukum Tuhan di akhirat nanti, “Latarawunnal jahim (6), Tsumma latarawunnaha 'ainal yaqin (7), Tsumma latusalunna yaumaidin 'anin naim (8).” Artinya, “Neraka (Jahim) yang telah disiapkan bagi orang-orang yang lalai dari kebenaran itu tidak ada keraguan di sana. Dan niscya kalian akan melihat dengan mata-mata kalian sendiri. Maka, jadikanlah gambaran pedihnya siksaan itu hadir di akal kalian. Kemudian, kalian akan melihat neraka —yang awalnya sebatas pengetahuan– sebagai kenyataan di hadapan mata.” lalu kemudian ayat ditutup dengan sebuah ancaman nyata bagi mereka: “Nikmat Allah berupa harta yang kalian bangga-banggakan dan dijadikan persaingan ini, apa yang telah kalian lakukan di dalamnya? Apakah sudah selaras dengan hak Allah? Jika tidak, maka kenikmatan ini akan berubah menjadi sumber malapetaka di neraka nanti.”

Pesan-pesan besar yang bisa saya tarik kemudian: melalui Surah At-Takatsur, Al-Quran ingin mengingatkan kita tentang penyakit sosial yang bernama ‘obsesi menjadi lebih karena orang lain’. Kita menjumpainya di kehidupan modern begitu jelas; orang-orang berlomba mengakumulasi kekayaan pribadi dan bersaing mati-matian pada jabatan itu semakin merebak. Begitu juga akibat buruknya: penindasan terhadap kaum fakir miskin di mana-mana, terjadinya perpecahan komunitas atau ormas akibat persaingan politik. Terakhir, peran yang teramat mendalam dalam surah ini adalah: Al-Quran juga mengajak kita untuk 'ilmul yaqin: pengetahuan yang berbuah kesadaran, hingga bisa 'ainul yaqin: kesadaran yang berbuah tindakan nyata. Maka betapa banyak orang yang berpendidikan tinggi, tetapi karena obsesi ‘kedudukan’ di mata orang lain, mereka terjebak dalam lingkaran setan hidup glamor dan jabatan politis? Tabik!


Baca juga artikel lain di rubrik ISLAMUNA atau tulisan menarik Lukman Hakim Rohim

Latest