Skip to content

Problematika Majas dalam Al-Quran

Ada beragam cara untuk menuturkan makna dalam bahasa Arab, salah satunya metafora. Namun, para ulama berbeda pendapat soal majas dalam Al-Quran.

FOTO Ilustrasi (Unsplash/ms_26)
FOTO Ilustrasi (Unsplash/ms_26)

Bahasa Arab adalah bahasa Al-Quran, ia merupakan bahasa utama Bangsa Arab audiens pertama dari Al-Quran, sekaligus bahasa ibu Nabi Muhammad SAW. Oleh karenanya kajian akan Al-Quran dari sisi manapun tidak akan dapat lepas dari dilalat al-alfazh dalam Bahasa Arab. Pengambilan makna maupun hukum akan selalu berpatokan pada makna yang dapat ditampung dan ditunjukkan oleh lafal-lafal dalam Bahasa Arab.

Penutur Bahasa Arab sebagaimana bahasa lainnnya tentu memiliki cara yang beragam dalam mengungkapkan makna, mereka dalam satu waktu mengungkapkan kedermawanan seseorang dengan ucapan: Zaid karimun (Zaid orang yang mulia). Di waktu yang lain dengan penyerupaan: Zaid ka al-bahr (Zaid tak ubahnya lautan). Keduanya sama-sama bermakna: memberikan banyak manfaat pada manusia.

Adakalanya menggunakan permisalan: Zaid katsir ar-ramad (Zaid banyak memiliki debu) karena seseorang pada zaman jahili yang gemar menjamu tamunya akan sering memasak dengan kayu bakar, sehingga rumahnya penuh dengan debu sisa memasak.

Acapkali mereka juga menggunakan metafora atau penggunaan kata di luar makna aslinya sehingga memunculkan unsur keindahan dalam struktur kalimat, semisal: li Zaid ‘alayya yadun jika diterjemah secara literal maknanya adalah: Zaid memiliki ‘tangan’ atasku. Sedangkan makna sebenarnya yang dikehendaki adalah ‘hutang budi’ atau ‘pemberian’. Kata ‘tangan’ digunakan karena kebanyakan perbuatan bersumber dari kedua tangan.

Hal ini merupakan sesuatu yang universal dan dilakukan juga oleh penutur bahasa di pelbagai belahan dunia lainnya. Orang Jawa akan mengatakan welah dalah, zaman akhir dunyone wes rusak (owalah, akhir zaman dunia sudah rusak) sebagai bentuk keprihatinan atas penyimpangan moral, sedang yang dimaksud dari ‘dunia’ adalah ‘orang-orang yang tinggal di dunia’, sebab dunia tempat manusia tinggal belum hancur ataupun musnah.

Perdebatan dalam cara pengungkapan dan cara memahami kemudian terjadi saat membahas keberadaan majas dalam Al-Quran. Beberapa tokoh seperti Abu Daud Azh-Zhahiri, Abu Al-Fadhl At-Taimi, Mundzir Ibn Sa’id Al-Baluthi, Ibnu Taymiyyah dan beberapa tokoh lain -yang tidak lebih dari hitungan jari kedua tangan- dengan tegas menolak adanya majas dalam Al-Quran.

Salah satu alasan mereka menolak majas dalam Al-Quran adalah firman Allah:

“Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu serta pembeda (antara yang hak dan yang batil).”

Kemudian firman Allah dalam Surah An-Nahl ayat 64 :

”Kami tidak menurunkan Kitab (Al-Quran) ini kepadamu (Nabi Muhammad), kecuali agar engkau menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan serta menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.”

Bahwa Al-Quran diturunkan sebagai petunjuk bagi manusia, (hudan li an-nas) begitu pun alasan diutusnya Nabi Muhammad adalah untuk menjelaskan (li tubayyina) kandungan makna dari Al-Quran. Maka jika Al-Quran mengandung majas yang tidak dapat dipahami orang awam, sedangkan Rasulullah juga tidak memberikan penjelasan akan hal tersebut, Al-Quran justru akan menjadi kitab teka-teki dan bukan kitab petunjuk. Ibnu Taymiyyah dalam bukunya Ar-Risalah Al-Madaniyyah mengatakan:

“Karena jika Ia (Rasulullah) mengucapkan kalimat yang dipahami darinya sebuah makna, kemudian mengulanginya berkali-kali, serta berbicara dengannya untuk seluruh makhluk, sementara di antara mereka ada yang cerdas dan bodoh, yang ahli fikih dan tidak -kemudian Ia mengharuskan bagi mereka untuk mencermati maknanya dan memahaminya, kemudian mengharuskan mereka untuk tidak mengimani zahir dari ucapannya sebab ada dalil yang samar yang ditemukan oleh beberapa orang yang menunjukkan bahwa ucapan tersebut tidak dikehendaki makna zahirnya- sungguh hal ini adalah bentuk penipuan dan penyesatan. Hal ini merupakan kebalikan dari penjelasan dan petunjuk itu sendiri dan lebih serupa dengan teka-teki dan misteri.”

Uniknya beliau mengatakan dengan gamblang bahwa para sahabat Nabi seluruhnya adalah orang-orang cerdas dan berpengetahuan, beliau mengatakan:

“Kemudian golongan yang mengambil dari beliau (Rasulullah) adalah mereka yang paling dalam pengetahuannya di antara manusia, paling tulus nasihatnya bagi umat, dan paling memahami sunnah”

Tafsir

Kumpulan tulisan bertema tafsir Al-Quran dapat teman-teman baca

di sini

Bukankah dengan kecerdasan serta kecakapan para sahabat dalam Bahasa Arab tentu hal yang wajar Nabi tidak perlu menjelaskan panjang lebar penggunaan kata dalam ucapan beliau? Sebagaimana dikatakan: “orang cerdas dapat memahami lewat isyarat”

Pendapat yang diusung Imam Ibnu Taymiyyah ini -meskipun seolah menampilkan inklusifitas makna Al-Quran yang seharusnya dapat dipahami oleh seluruh umat muslim- juga berlawanan dengan makna Surah Ali Imran ayat 8 yang menjelaskan adanya ayat-ayat mutasyabihat (samar) dalam Al-Quran dan hanya dapat dipahami oleh para ulama (ar-rasikhin fi al-‘ilm) setelah meneliti dan mempelajari keseluruhan makna yang dimungkinkan. Sebagaimana dijelaskan oleh Abi Su’ud dalam Irsyad Al-‘Aql As-Salim ila Mazaya Al-Qur'an Al-Karim:

“(Al-Mutasyabbihat) yaitu sifat bagi sebagian ayat lainnya. Secara hakikat adalah sifat bagi maushuf yang dibuang, yakni ayat-ayat yang mengandung makna-makna yang samar, tidak dapat dibedakan mana yang dikehendaki (Allah) dari salah satunya, serta tidak jelas maknanya kecuali dengan pengkajian secara mendalam dan pengamatan yang mendetail…”

Kemudian, Al-Quran juga tidak henti-hentinya mengingatkan agar umat tidak segan untuk bertanya dan berdiskusi dengan para ulama, Allah berfirman dalam Surah An-Nahl ayat 43: “Maka, bertanyalah kepada orang-orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.”

Adanya perbedaan tingkat pengetahuan dan pemahaman manusia -yang merupakan sunnatullah- hendaknya tidak menjadi sebab seseorang menolak pemahaman yang rumit atas Al-Quran, hingga pada taraf meninggalkan sebagian makna yang Allah kehendaki terkandung di dalam Al-Quran. Termasuk dari keindahan Al-Quran adalah ia dapat dipahami orang awam dalam taraf tertentu, dalam satu waktu ia juga tidak akan henti-hentinya memberikan pengetahuan baru bagi setiap pengkaji yang ber-mu’amalah  dengan Al-Quran.

Dapat kita ambil kesimpulan dari uraian di atas bahwa kurangnya pemahaman mendalam dalam Bahasa Arab utamanya menjadi kendala dalam memahami Al-Quran. Hal tersebut tentu tidak seharusnya menjadi kendala selama ada dua asas yang dijadikan pedoman. Bagi para pengkaji Al-Quran hendaknya selalu berusaha terus memperdalam  pemahaman akan Bahasa Arab, sedangkan mereka yang belum sampai atau tidak berkesempatan berada pada maqam tersebut hendaknya tidak sungkan untuk terus bertanya dan ber-mulazamah dengan para pakar Al-Quran. Wallahu a’lam.


💡
Baca juga artikel lain di rubrik ISLAMUNA atau tulisan menarik Ahmad Fatih Alfaiz Binashrillah

Latest