Ragam Pendapat Ulama tentang Sab'atu Ahruf

Istilah sab’atu ahruf dalam pembahasan turunnya wahyu Al-Quran sudah tidak asing lagi di telinga kita, meskipun mengenai maksudnya masih banyak di antara kita belum memahaminya secara benar. Beberapa kita mungkin mengira sab’atu ahruf adalah tujuh macam qiraat atau qiraah sab’ah. Jika demikian, maka secara tidak langsung kita menganggap bahwa Al-Quran ketika diturunkan, langsung dengan tujuh macam qiraat berdasarkan hadis:

أنزل القرآن على سبعة أحرف

atau hadis-hadis lain yang satu maksud tetapi dengan redaksi berbeda. Padahal, kebenarannya tidaklah demikian.

Banyak ulama berbeda pendapat mengenai maksud sab’atu ahruf dalam hadis di atas. Di antara pendapat-pendapat itu menyebutkan bahwa sab’atu ahruf adalah:

1.     Bahasa para kabilah Arab, kemudian mereka berbeda pendapat mengenai siapa saja kabilah tersebut.

Namun, pendapat ini merupakan pendapat yang kurang tepat, karena sahabat Umar bin Al-Khathab dan sahabat Hisyam bin Hakim pernah berbeda dalam membaca suatu ayat dalam Surah Al-Furqan, dan keduanya sama-sama dari kabilah Quraisy, memiliki bahasa dan dialek yang sama juga.

Di Balik Nama Qashidah Burdah dan Bur’ah
Terdapat satu jenis gubahan syair Arab yang kerap disebut Qashidah. Yang terbilang masyhur dan punya asal-usul menarik adalah Burdah dan Bur’ah.

2.     Hukum-hukum seperti halal dan haram, muhkam dan mutasyaabih, insya’ dan ikhbar, dan lain-lain.

3.     Nasikh dan mansukh, khash dan ‘aam, mujmal, mubayyan dan mufassar.

4.     Amr dan nahi, thalab dan du'a, khabar, istikhbar dan zajr.

5.     Wa’du dan wa’id, mutlak dan muqayyad, tafsir, i’rab dan ta’wil.

Tetapi, kemudian Imam Ibn Al-Jazari mengomentari bahwa pendapat-pendapat di atas adalah tidak tepat, karena para sahabat ketika berselisih dalam cara membaca suatu huruf dalam Al-Quran dan membawanya kepada Nabi Muhammad SAW, mereka tidak berbeda baik dalam tafsir, hukum yang lahir, ataupun maknanya.

Dari banyak perbedaan pendapat ulama mengenai maksud dari sab’atu ahruf, menurut Imam Ibn Al-Jazari, pendapat yang paling benar adalah pendapat Imam Abu Al-Fadhl Ar-Razi. Ia berpendapat bahwa maksud dari sab’atu ahruf adalah awjuh atau thariqah yakni bentuk atau cara bacaan Al-Quran yang dengannya akan menyebabkan perubahan dan perbedaan dalam mengucapkannya. Ragam perbedaan itu tidak keluar dari tujuh unsur berikut:

1.     Perbedaan isim (nama), ifrad (bentuk tunggal), tatsniyah (lafal yang menunjukkan arti dua), jamak (lafal yang menunjukkan arti banyak), mudzakkar (lafal yang menunjukkan laki-laki), dan muannats (lafal yang menunjukkan arti perempuan).

Sebagai contoh dalam firman Allah Surah Al-Baqarah ayat 184:
وعلى الذين يطيقونه فدية طعام مسكين  
lafal مسكين dibaca dengan ifrad menjadi مسكين  dan jamak menjadi  مساكين

Juga seperti pada ayat 10 Surah Al-Hujurat:
فأصلحوا بين أخويكم  
lafal أخويكم dibaca dengan tatsniyah seperti pada ayat dan jamak menjadi إخوتكم

2.     Perbedaan tashriful af’al (perubahan kata kerja) seperti fi’il madhi (kata kerja yang menunjukkan masa lampau), fi’il mudhari (kata kerja yang menunjukkan sekarang atau masa mendatang), dan fi’il amr (kata kerja perintah).

Yaitu seperti dalam firman Allah Surah Al-Baqarah ayat 184:
فمن تطوع خيرا
lafal تطوع dibaca dengan fi’il madli تطوّعَ  dan  fi’il mudhari majzum يطّوّعْ

3.     Perbedaan i’rab (perubahan harakat akhir). Seperti pada ayat 119 Surah Al-Baqarah:
ولا تسئل عن أصحاب الجحيم  
lafal تسئل dibaca dengan memberi harakat dhammah pada huruf ta’ dan lam jika menjadikanلا  sebagai huruf nafi. Dan dibaca dengan memberi harakat fathah pada huruf ta’ dan mematikan huruf lam jika menjadikan huruf la sebagai huruf nahi.

4.     Perbedaan sebab pengurangan dan penambahan huruf. Seperti pada Surah Ali Imran ayat 133:
وسارعوا إلى مغفرة  
pada lafal وسارعوا dibaca dengan menambahkan huruf wawu di awal menjadi وسارعوا, dan menghilangkannya menjadi سارعوا  .

5.     Perbedaan sebab takdim (mendahulukan) dan  ta’khir (mengakhirkan). Seperti firman Allah SWT Surah Ali Imran ayat 195:
وقٰتَلوا وقُتِلوا

Ayat ini dibaca dengan mendahulukan وقٰتلوا  dan mengakhirkan وقُتلوا  atau sebaliknya وقُتلوا وقٰتلوا  .

6.     Perbedaan sebab ibdal (mengganti huruf).

Seperti dalam firman Allah Surah Yunus ayat 30:
هنالك تبلوا كل نفس ما أسلفت  
lafal تَبْلوا dibaca dengan huruf ba’ dan mengganti huruf ba’ dengan huruf ta’ menjadi تتلوا  .

7.     Perbedaan lahjah atau dialek seperti fathah, imalah (miring), izhhar (jelas), idgham (memasukkan), tashil (menyuarakan bunyi hamzah antara hamzah dan alif), tahqiq (sempurna), tafkhim (tebal), dan tarqiq (tipis). Begitu juga masuk dalam kategori ini perbedaan kalimat pada suatu kabilah, seperti lafal خُطوات  dibaca dengan memberi harakat dhammah pada huruf tha’ atau mensukunkannya.

Sudah Saatnya Alumni Al-Azhar Aktif Berdakwah di Medsos
Ada tantangan seorang Azhari atau alumnus Al-Azhar di zaman ini yang terkesan sepele namun tidak mudah: mengisi ruang dakwah di media sosial.

Ulama telah bersepakat bahwa sab’atu ahruf yang dimaksud di dalam hadis bukan qiraat yang tujuh. Bahkan, menyoal hal tersebut Imam Ibnu Taimiyyah berkata, “Tidak ada perdebatan antar ulama yang mu’tabar (pendapatnya dapat dianggap) dalam hal ini bahwa al-ahruf as-sab’ah atau tujuh huruf yang disebutkan Nabi SAW dalam hadisnya bukanlah qiraatnya para Imam Tujuh yang masyhur itu, bahkan orang pertama yang mengumpulkan qiraat sab’ah adalah Ibnu Mujahid, sesuai dengan sab’atu ahruf  ketika Al-Quran diturunkan, bukan sesuai dengan keyakinannya, atau keyakinan ulama yang lain bahwa qiraat sab’ah adalah al-ahruf as-sab’ah”.

Artinya, jika ada pendapat yang mengatakan bahwa bacaan salah satu dari Imam Tujuh adalah salah satu dari al-ahruf as-sab’ah yang tersebut di dalam hadis, kemudian ia menganggap bacaan Imam Nafi’ adalah satu huruf, dan bacaan Imam Ibnu Katsir adalah huruf yang lain, dan begitu seterusnya dengan sisa bacaan para imam qiraat lain, maka jelas, pendapat tersebut adalah pendapat yang menyimpang dari kebenaran dan telah menyalahi ijmak ulama.

Hakikat Perbedaan Sab’atu Ahruf

Agar pemahaman terhadap sab’atu ahruf semakin kuat, maka kita perlu memahami hakikat perbedaan dalamsab’atu ahruf itu sendiri. Hakikat perbedaan tersebut adalah perbedaan tanawwu’ dan taghayur, yakni perbedaan yang memunculkan keragaman. Bukan perbedaan tadladh dan tanaqudh yang memunculkan kontradiksi dan pertentangan makna. Artinya, sab’atu ahruf tersebut tidak melahirkan perubahan makna atau malah bertentangan dengan yang diinginkan Allah SWT. Selama tidak mengubah maksud ayat, maka qiraat tersebut dibenarkan dan hal tersebut tentunya bisa dengan mematuhi tujuh unsur yang tersebut di atas. Wallahu ta’ala a’la wa a’lam.

💡
Baca juga artikel lain di rubrik ISLAMUNA atau tulisan menarik Hafidzah Assa'adah