Skip to content

Rasul dan Peristiwa Agung di Bulan Sya’ban

Sya'ban bulan yang mulia dan penuh berkah. Alim ulama nan saleh mengisinya dengan beragam ibadah. Bulan inilah yang menjadi saksi peristiwa agung.

FOTO: Ka'bah menjadi kiblat umat Islam (Adli Wahid/Unsplash)
FOTO: Ka'bah menjadi kiblat umat Islam (Adli Wahid/Unsplash)

Bulan Sya’ban merupakan salah satu bulan mulia yang penuh dengan keberkahan. Ia menjadi pembuka bagi bulan Ramadan yang agung nan mulia. Bulan yang menjadi momen untuk mempersiapkan diri menjalankan beragam bentuk ketaatan di bulan suci yang pahala amal ibadah di dalamnya dilipatgandakan.

Begitu bulan Sya’ban tiba, para salafusshalih bersemangat untuk beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah, mengikuti apa yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Kemuliaan bulan Sya’ban telah menjadikan Rasulullah SAW berpuasa pada sebagian besar hari-harinya, bahkan satu bulan penuh. Ketika Rasul ditanya, “Wahai Rasulullah, aku belum pernah melihat engkau berpuasa di bulan yang lain sebagaimana engkau berpuasa di bulan Sya’ban." Rasulullah menjawab, “Bulan Sya’ban adalah bulan yang sering dilupakan banyak orang karena terapit di antara dua bulan mulia, Rajab dan Ramadan. Sebuah bulan di mana diangkat amal perbuatan kita. Dan aku suka jika amalku diangkat sedang aku dalam keadaan berpuasa.”

Merevisi Pemahaman Ekstrem dan Takfiri
Buku Al-Fahm Al-Munir yang ditulis oleh Syekh Usamah Al-Azhari hadir menjawab kesalahan-kesalahan penafsiran ayat yang berujung fatal.

Termasuk peristiwa mulia nan agung yang terjadi di bulan Sya’ban adalah bahwa Allah merealisasikan keinginan Rasulullah SAW yaitu dipindahkannya arah kiblat kaum muslimin ke Masjidil Haram. Pemindahan kiblat ke Masjidil Haram adalah momen yang sangat dinanti-nantikan Rasulullah SAW. Di mana, setiap hari beliau menengadahkan wajahnya ke langit, memohon, menunggu wahyu pemindahan arah kiblat itu datang. Hingga akhirnya Allah mengabulkan permintaannya dan turunlah wahyu Surah Al-Baqarah ayat 144:

قد نرى تقلب وجهك في السماء فلنولينك قبلة ترضىٰها فول وجهك شطر المسجد الحرام وحيث ما كنتم فولوا وجوهكم شطره وإن الذين أوتوا الكتب ليعلمون أنه الحق من ربهم وما الله بغافل عما تعملون (البقرة : ١٤٤).

Artinya: “Sungguh kami (sering) melihat wajahmu menengadah ke langit, maka sungguh kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah wajahmu ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi al-kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhan-nya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan. (Surah Al-Baqarah:144).

Sebelum arah kiblat dipindahkan, Rasulullah SAW salat menghadap ke Baitul Maqdis atau Masjidil Aqsha meskipun beliau berada di Makkah.  Tetapi hal ini tidak menghalangi Rasulullah untuk menghadap ke Ka’bah juga secara bersamaan. Berbeda halnya setelah beliau hijrah dari Makkah ke Madinah. Beliau tidak lagi dapat menghadap ke Baitul Maqdis dan Ka’bah secara bersamaan, dikarenakan arah keduanya yang berbertolak-belakang. Makkah berada di sebelah selatan Madinah, sedang Baitul Maqdis berada di sebelah Utara Madinah. Sehingga hal ini menambah kesedihan Rasulullah SAW pasca beliau diusir dari Makkah, sebab kecintaan beliau yang teramat dalam pada tanah kelahirannya tersebut.

Kecintaan Rasulullah SAW pada tanah kelahirannya tidak bisa digambarkan dengan sesuatu apapun. Hal ini ditunjukkan oleh sabda beliau ketika pergi meninggalkan Makkah, yaitu:

أَمَا والله، لأخرج منك، وإني لأعلم أنك أَحبّ بلاد الله إلي وأكرمُه على الله، ولولا أن أهلك أخرَجوني ما خرجت .

“Demi Allah! Aku akan meninggalkanmu. Dan sungguh Aku tahu bahwa engkau adalah negeri yang paling aku cintai dan negeri paling mulia di sisi Allah. Seandainya pendudukmu tidak mengusirku niscaya aku tidak akan meninggalkanmu.”

Setiba di Madinah (setelah beliau diusir dari Makkah), Rasulullah SAW singgah di tempat kakeknya, Bani Najjar, atau saudara-saudaranya dari kaum Anshar. Selama 16 atau 17 bulan di Madinah itu beliau salat menghadap ke Baitul Maqdis. Dan beliau menginginkan agar kiblatnya adalah Ka’bah.

Setelah arah kiblat dipindahkan ke Masjidil Haram (Ka’bah), salat yang pertama kali Rasulullah dirikan dengan menghadap ke Ka’bah adalah salat Asar. Saat itu para sahabat salat bersamanya. Seusai salat, salah seorang sahabat keluar dari masjid berjalan menuju masjid yang lain, dan ia mendapati para sahabat yang sedang salat di masjid tersebut sedang rukuk. Kemudian ia berkata, “Demi Allah! Baru saja aku salat bersama Rasulullah SAW menghadap ke Makkah”.

Rasulullah

Kumpulan tulisan dengan spirit kecintaan kepada Rasulullah SAW dapat teman-teman temukan

di sini

Setelah mendengar ucapan sahabat tersebut, mereka yang sedang rukuk spontan menghadap ke Makkah (Ka’bah). Orang-orang Yahudi dan Nasrani kaget melihat kejadian tersebut karena sebelumnya mereka salat menghadap ke Baitul Maqdis. Maka, tatkala orang-orang yang sedang rukuk tersebut berpindah haluan mengahadap ke arah Ka’bah, mereka mengingkarinya (meski mengetahui kebenarannya).

Meskipun perubahan arah kiblat bukanlah perkara yang mudah bagi umat Islam saat itu, tetapi mereka yang beriman berhasil melaluinya. Allah SWT telah mengabarkan kebenaran iman dan keselamatan keyakinan mereka atas kejadian tersebut. Dan dalam waktu yang bersamaan, tersingkaplah kebohongan orang-orang munafik dan kebodohan orang-orang yang ragu.

Allah berfirman akan hal itu dalam Surah Al-Baqarah ayat 143 yang artinya: “Dan demikian (pula) kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Dan kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang), melainkan agar kami mengetahui dengan nyata siapa yang mengikuti rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah.” (Surah Al-Baqarah : 143).

Ayat tersebut mengandung pesan bahwa kesempurnaan manusia bukanlah ditentukan pada arah kiblat mereka, melainkan terletak pada pekerjaan murni dari dalam diri manusia sendiri yang mampu menjadikannya tumbuh dan tinggi; yaitu keyakinan yang kuat dan berpegang teguh kepada Allah meski (suatu hal) membuat hati mengamuk, berbuat kebaikan dan menjadi sandaran bagi orang-orang lemah serta memberi bantuan kepada mereka yang kurang mampu.

Tafsir Ontologis Alif Lam Mim
Meski asing, tafsir ontologis Al-Quran adalah gagasan menarik. Ibnu Arabi, sang teosofi itu mampu memasukkan tema-tema filosofis dalam tafsirnya.

Selain karena kecintaan terhadap Ka’bah yang merupakan bangunan kakek moyangnya, yakni Nabi Ibrahim AS, keinginan Baginda Rasul SAW agar kiblat dipindahkan dari Masjidil Aqsha ke Masjidil Haram juga berkaitan erat dengan keinginan beliau untuk menunjukkan keagungan Islam dan membedakan diri dari orang-orang Yahudi. Hal itu bertujuan untuk menggertak mereka dan menunjukkan kebenaran kepada mereka. Surah Al-Baqarah ayat 144 di atas telah memperjelas hal ini.

Orang-orang Yahudi mengira bahwa Makkah adalah milik mereka. Hal itu berdasarkan anggapan bahwa diri mereka adalah anak-cucu Nabi Ibrahim AS. Maka, peristiwa pemindahan arah kiblat tersebut meluruskan pemahaman mereka yang keliru, dan memperjelas bahwa bumi ini milik Allah semata, sehingga arah kiblat pun menjadi hak kuasa-Nya. Wallahu a’lam.

💡
Baca juga artikel lain di rubrik ISLAMUNA atau tulisan menarik Hafidzah Assa'adah

Latest