Rekaman Perjalanan Lahirnya Piagam Persaudaraan Kemanusiaan

“Kalau kita mau menyatakan misi Nabi Muhammad SAW dengan satu kata, maka kata itu adalah rahmah (kasih sayang); kasih sayang terhadap semesta alam agar tidak mengalami kegelapan dan kesesatan.”

Kalimat di atas adalah salah satu dari sejumlah perkataan Imam Akbar Ahmad Ath-Thayyib seputar misi perdamaian. Kalimat ini adalah implementasi dari firman Allah kepada Baginda Nabi SAW, “Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam.” Hal ini mengisyaratkan kepada kita bahwa salah satu misi agung Baginda Nabi ialah menebar kasih sayang kepada seluruh alam. Tak hanya kepada sesama muslim, namun juga kepada selainnya. Tak hanya kepada manusia, namun juga kepada jin, hewan, tumbuhan, alam, dan sebagainya.

Melalui para ulama, sebagai pewaris para nabi, warisan misi yang begitu mulia ini sudah seyogyanya diterapkan di tengah kaum muslimin. Namun, realita tak semudah teorinya. Di sana masih ada orang-orang yang termakan oleh kelakuan durjana kelompok-kelompok yang mengatasnamakan agama Islam dan menyerang orang-orang yang tidak sepemahaman dengannya. Walhasil, acap kali kita mendengar adanya tindakan terorisme, pembunuhan antar bangsa, perang saudara, pengeboman rumah ibadah, hingga kelakuan yang tidak mencerminkan akhlak yang islami sama sekali.

Buku Al-Imam wa Al-Baba (Imam dan Paus)

Buku ini adalah rekaman perjalanan Imam Akbar Ath-Thayyib dan Paus Fransiskus dalam melahirkan Piagam Persaudaraan Kemanusiaan untuk Perdamaian Dunia dan Hidup Berdampingan (Watsiqah Al-Ukhuwwah Al-Insaniyyah min Ajli As-Salam Al-'Alami wa Al-'Aisy Al-Musytarak). Muhammad Abdussalam, penulis buku ini sekaligus penasihat Imam Akbar menguraikan tinta perjalanan ini sejak diangkatnya Syekh Ahmad Ath-Thayyib sebagai Syekhul-Azhar hingga lahirnya piagam yang diinginkan.

Beberapa bulan setelah Syekh Ahmad Ath-Thayyib diangkat sebagai Syekhul-Azhar, bel tanda bahaya berbunyi dengan adanya aksi pengeboman Gereja Sayyidah An-Najah oleh teroris di Baghdad, Irak (31 Oktober 2010). Kabar berita ini membuat pilu hati beliau. Bahkan dalam buku tersebut dijelaskan sampai-sampai beliau bersedih hingga beberapa waktu.

Setelah kejadian tersebut, Syekh Ahmad Ath-Thayyib merasa hal yang berbahaya tersebut tidak ada yang menopangnya. Belaui khawatir hal tersebut juga terjadi di negerinya, Mesir. Tak terduga, beberapa bulan setelahnya, kembali terjadi pengeboman Gereja Al-Qiddisiyyan di Aleksandria. Hingga muncullah dalam benak beliau untuk mendirikan sebuah lembaga di bawah perlindungan Al-Azhar bernama Bait Al-‘Ailah Al-Mishriyyah untuk menyatukan perdamaian antar umat beragama sesama anak bangsa dalam negeri Mesir. Dalam salah satu dialog, beliau menyatakan dan mengumumkan bahwasanya tidak ada istilah minoritas dalam sebuah negara. Yang ada hanyalah warga negara, memiliki hak yang sama, tanpa ada diskriminasi antar sesama.

Selanjutnya, Syekh Ahmad Ath-Thayyib memprakarsai dan menghadiri banyak muktamar dan dialog antar negara, agama, dan kelompok dengan misi perdamaian. Meski tentu saja akan ada suara pro dan kontra, namun beliau meneruskan niat misi tersebut. Hingga ketika beliau menghadiri forum “Kemajuan Perdamaian dalam Kehidupan Bermasyarakat yang Damai” di Abu Dhabi (8—9 Maret 2014), beliau menyampaikan gagasannya untuk mendirikan sebuah perkumpulan yang berisikan para cendikiawan dunia dari tiap negara dan afiliasi keislaman. Tentu saja dengan misi perdamaian, mencegah perpecahan akibat perbedaan, meredam perdebatan, dan mendamaikan percekcokan antar agama, kelompok, mazhab, etnis, dan menetralisasi aksi terorisme. Akhirnya, didirikanlah Majlis Hukama Al-Muslimin pada 19 Juli 2014 dengan dipimpin langsung oleh Syekh Ahmad Ath-Thayyib atas kesepakatan seluruh anggota majelis. Yaitu dengan misi mengampanyekan nilai-nilai Islam Rahmatan lil ‘alamin, menguatkan pemahaman keagamaan yang moderat, menyuarakan persaudaraan lintas iman, dan menguatkan kerja sama antar tokoh agama.

Dari dua lembaga raksasa yang dibangun oleh Syekh Ahmad Ath-Thayyib dan didukung penuh oleh Al-Azhar, ulama dunia, beserta khalayak banyak, dialog demi dialog tingkat dunia pun dilakukan. Hingga puncak hal tersebut adalah pertemuan resmi dengan Paus Fransiskus, pemimpin gereja Katolik sedunia yang berpusat di Vatikan dalam rangka melahirkan piagam persaudaraan kemanusiaan itu. Setelah beberapa kali melakukan pertemuan, akhirnya Watsiqah Al-Ukhuwwah Al-Insaniyyah (Piagam Persaudaraan Kemanusiaan) diresmikan oleh dua pembesar agama: Islam dan Katolik di Abu Dhabi, 3—5 Februari 2019 silam dalam Konferensi Global Persaudaraan Manusia.

Secara garis besar, ada 12 poin yang tertera dalam piagam tersebut, yaitu:

1.     Ajaran otentik agama mengajak umat tetap berpegang pada nilai-nilai perdamaian, saling pengertian, persaudaraan, hidup berdampingan, kebijaksanaan, keadilan, dan cinta.

2.     Kebebasan adalah hak setiap orang, baik dalam berkeyakinan, berpikir, berekspresi, dan bertindak. Keragaman agama, warna kulit, jenis kelamin, ras, dan bahasa adalah kehendak Tuhan. Pemaksaan untuk mengikuti agama atau budaya tertentu harus ditolak.

3.     Keadilan yang berlandaskan kasih sayang adalah jalan yang harus diikuti untuk mencapai hidup bermartabat yang menjadi hak setiap manusia.

4.     Dialog, toleransi terhadap perbedaan, dan hidup bersama secara damai akan memberikan kontribusi signifikan dalam mengurangi berbagai masalah ekonomi, sosial, politik, dan lingkungan.

5.     Dialog antar umat beragama akan mentransmisikan kebajikan moral tertinggi yang menjadi tujuan agama. Ini juga berarti menghindari diskusi yang tidak produktif.

6.     Perlindungan tempat ibadah adalah kewajiban yang dijamin oleh agama, nilai-nilai kemanusiaan, hukum, dan kesepakatan internasional. Setiap upaya untuk menyerang tempat ibadah atau mengancamnya dengan kekerasan, pengeboman, atau perusakan, merupakan penyimpangan dari ajaran agama dan pelanggaran hukum internasional.

7.     Terorisme yang mengancam keamanan dan menyebarkan kepanikan, terror, dan pesimisme itu bukan dihasilkan oleh agama. Bahkan ketika para teroris itu memperalat agama. Itu lebih karena akumulasi penafsiran yang salah atas teks-teks agama dan juga tersebab kebijakan yang terkait dengan kelaparan, kemiskinan, ketidakadilan, penindasan, dan kesombongan.

8.     Konsep kewarganegaraan berlandaskan pada persamaan hak dan kewajiban, di mana semua orang merasakan keadilan. Karena itu, penting untuk menolak penggunaan istilah minoritas secara diskriminatif yang menimbulkan perasaan terisolasi dan inferior (rendah diri).

9.     Hubungan baik antar Timur dan Barat dibutuhkan kedua belah pihak. Keduanya tidak boleh diabaikan. Masing-masing dapat diperkaya oleh budaya lainnya melalui pertukaran dan dialog. Barat dapat belajar dari Timur tentang obat bagi penyakit rohani yang ditimbulkan materialisme. Timur juga dapat belajar sejumlah hal di Barat yang dapat membantu membebaskannya dari kelemahan, perpecahan, konflik, serta kemunduran pengetahuan, teknologi, dan budaya.

10.  Penting untuk mengakui hak perempuan atas pendidikan dan pekerjaan, serta mengakui kebebasan mereka untuk menggunakan hak politiknya sendiri. Sebagaimana penting untuk melindungi perempuan dari eksploitasi seksual, diperlakukan sebagai barang dagangan, objek kesenangan, atau untuk keuntungan finansial. Setiap praktik yang tidak manusiawi dan vulgar yang merendahkan martabat perempuan harus diakhiri.

11.  Melindungi hak dasar anak untuk tumbuh-kembang dalam lingkungan keluarga, serta memperoleh gizi baik, pendidikan, dan dukungan adalah tugas keluarga dan masyarakat. Tugas tersebut harus dijamin dan dilindungi, agar tidak diabaikan. Semua praktik yang melanggar martabat dan hak anak harus dikecam.

12.  Perlindungan hak lansia, kaum lemah, berkebutuhan khusus, dan orang yang tertindas adalah kewajiban keagamaan dan sosial yang harus dijamin dan dipertahankan melalui undang-undang yang tegas dan pelaksanaan perjanjian internasional yang relevan.


Baca juga artikel lain di rubrik TAKARIR atau tulisan menarik Amirul Mukminin