Ruh dan Jasad Baginda Nabi saat Peristiwa Isra Mi’raj

Nabi Muhammad membawa agama Islam untuk seluruh umat manusia. Tentu, tak keliru, jika umat Islam mengenalkan ajaran agama ini melalui perayaan-perayaan yang mengenang perjuangan Nabi atau peristiwa besar yang terjadi kepada Baginda Nabi, seperti Isra Mi'raj misalnya.

Isra adalah peristiwa perjalanan di malam hari dari Masjid Al-Haram, Makkah ke Masjid Al-Aqsha Palestina. Menggunakan hewan buraq. Sedangkan Mi'raj adalah kenaikan Nabi dari Masjid Al-Aqsha hingga langit ketujuh diantar malaikat Jibril, lalu dilanjutkan ke Sidratul Muntaha. Sedangkan saat bertemu Allah SWT, malaikat Jibril hanya mengantarkan Nabi hingga dekat Sidratul Muntaha. Nabi masuk ke Sidratul Muntaha sendiri tanpa diantar oleh malaikat Jibril. Di Sidratul Muntaha, Nabi bertemu Allah SWT. Perjalanan ini hanya butuh waktu satu malam atau setengah malam.

Ulama Al-Azhar Pertama yang Sampai di Nusantara
Sejarah Islam mengenal banyak alim yang melakukan perjalanan jauh. Salah satunya Syekh Al-Qinawi, ulama Al-Azhar yang pernah sampai di Nusantara.

Dalam perjalanan itu, Nabi banyak melihat peristiwa-peristiwa gambaran umat manusia. Bahkan Nabi mendapatkan kewajiban yang diperintahkan langsung oleh Allah SWT untuknya dan untuk umatnya, yaitu berupa salat lima waktu. Itu setelah mendapatkan dispensasi dari Allah SWT, yang asalnya 50 waktu menjadi 5 waktu saja dengan pahala yang sebanding dengan 50 waktu, karena kemurahan-Nya. Nabi tak berani untuk meminta dispensasi, namun Nabi ketika mau pulang dan melewati Nabi Musa di langit ke-6, Musa menyuruh Nabi untuk kembali menghadap Allah meminta keringanan. Karena pada masa Musa, umatnya tidak kuat, padahal secara biologis kuat. Apalagi umat akhir zaman, yang secara fisik dan biologisnya lemah dan tak sekuat masa muda. Akhirnya, Nabi terus menerus meminta kepada Allah sehingga diberikan keringanan berupa salat lima waktu.

Tentu, umat Islam pasti mengimani peristiwa Isra Mi'raj ini. Individu muslim yang tidak meyakini terjadinya peristiwa Isra Mi'raj, maka sudah keluar dari Islam.

Di saat setelah kejadian Isra Mi'raj itu, Rasulullah menceritakan perjalanannya. Namun, banyak dari kaum musyrik atau yang sudah memeluk Islam kembali pada kekufurannya. Mengingkari proses Isra dan Mi'raj yang dijalani Nabi Muhammad SAW. Hal ini berbeda dari sahabat-sahabat Nabi, mereka berkeimanan kuat kepada Nabi Muhammad sebagai utusan Allah. Salah satunya Abu Bakar Ash-Shiddiq, sahabat Nabi yang paling pertama masuk Islam dari lelaki, dan salah satu dari sepuluh sahabat Nabi yang telah mendapat kabar gembira mendapatkan surga (al-mubasysyarin bi al-jannah). Ketika Abu Bakar mendengar Rasulullah menceritakan Isra Mi'raj, ia langsung mengimaninya. Tentu, Abu Bakar meyakini dengan kuat bahwa apapun yang keluar dari mulut Baginda Nabi, termasuk perkataannya mengenai peristiwa besar itu pasti benar dan nyata, karena Abu Bakar meyakinibahwa Nabi tidak pernah sekalipun berbohong. Maka, bagi kaum muslim merayakan Isra Mi'raj adalah momen untuk menguatkan dan men-charge kembali keimanan.

Setiap bulan Rajab, dengan penduduk muslim terbanyak di dunia, Indonesia sering merayakan Rajaban. Isi dari perayaan ini menceritakan salah satu mukjizat Nabi mengenai Isra Mi'raj yang hanya diberikan kepada Nabi kita Muhammad SAW dan hikmah di balik peristiwa besar ini. Perayaan ini juga dirayakan oleh masyarakat muslim di berbagai belahan dunia lain.

Namun, mengenai Isra dan Mi'raj ini, terdapat riwayat yang beragam; apakah Isra Mi'raj Nabi melewati mimpi, atau secara yaqzhah (terbangun dan sadar)? Dan apakah ruh Nabi saja atau sekaligus dengan jasadnya?

Para ulama berbeda pendapat mengenai kedua hal ini. Sebagian mengatakan perjalanan Isra Mi'raj Nabi itu dilalui oleh ruh dan jasadnya. Sementara sebagian lagi mengatakan hanya ruhnya saja, karena ada hadits yang diriwayatkan oleh Rasulullah SAW dari Sayidah Aisyah RA.

Ada juga ulama yang berusaha memahaminya melalui pendekatan kebahasaan pada Surah Al-Isra ayat 1. Sebagai misal penjelasan Syekh Muhammad Mutawalli Asy-Sya'rawi, salah satu mufasir dan dai yang termasyhur itu. Ia menggunakan pendekatan bahasa dan sangat logis ketika menjelaskan Surah Al-Isra ayat pertama ini:

سُبْحَٰنَ ٱلَّذِىٓ أَسْرَىٰ بِعَبْدِهِۦ لَيْلًا مِّنَ ٱلْمَسْجِدِ ٱلْحَرَامِ إِلَى ٱلْمَسْجِدِ ٱلْأَقْصَا ٱلَّذِى بَٰرَكْنَا حَوْلَهُۥ لِنُرِيَهُۥ مِنْ ءَايَٰتِنَآ ۚ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلْبَصِيرُ

Kata Subhana dalam ayat di atas bermakna tanzih atau penyucian pada Allah SWT. Allah SWT disucikan dari yang menyerupai dari makhluk-Nya. Allah tidak ada bandingan baik dari dalam sifat-sifat-Nya juga af'al-Nya. Allah pun tidak menyerupai makhluk-makhluknya, baik dari sifat-sifat, af'al ataupun dari dzat-Nya. Oleh karena itu, Allah mempunyai pekerjaan (af'al), kita pun mempunyai pekerjaan. Namun, tidak mungkin (mustahil) pekerjaan-Nya sama dengan pekerjaan-pekerjaan manusia. Bahkan, pekerjaan Allah keluar dari batas jangkauan pekerjaan manusia, serta di atas kekuatan akal manusia. Oleh karena itu, menurut Syekh Asy-Sya'rawi, jika Allah SWT melakukan sesuatu, maka jangan kita menanyakan bagaimana? Karena kekuatan akal kita tidak memungkinkan untuk menemukan rahasia-rahasia pekerjaan-Nya. Karena Allah SWT melakukan apa yang Ia kehendaki tanpa terbatas oleh undang-undang atau hukum, karena Allah-lah yang menciptakan undang-undang. Allah tak terbatas oleh sebab, karena Allah SWT yang menciptakan sebab-sebab.

Rasulullah

Kumpulan tulisan dengan spirit kecintaan kepada Rasulullah SAW dapat teman-teman temukan

di sini

Kata Subhana juga tidak hadir dalam ayat-ayat Al-Quran, kecuali ketika menuturkan perkara-perkara aneh bin ajaib. Selain itu,kata Subhana adalah kalimah isim. Maka, kata Subhana sebagai tanzih atas Allah. Dengan kata lain, Surah Al-Isra ayat 1 yang diawali kata Subhana ini menunjukan bahwa mukjizat Isra dan Mi'raj Nabi termasuk dari pekerjaan Allah SWT, bukan pekerjaan Rasulullah SAW. Ia memberikan gambaran dengan mencontohkan bahwa pelaku (fa'il) bisa berbeda-beda, begitu pun tragedi atau berlangsungnya pekerjaan juga berbeda-beda. Ia mencontohkan:

إن الطفل ضربني بأقصى قوته
"Sesungguhnya anak bocah memukulku dengan sekuat tenaga. "

Ungkapan di atas berbeda dengan:
إن بطل الملاكمة ضربني بأقصى قوتة
"Juara tinju memukulku dengan sekuat tenaga." Pada kedua ungkapan ini, fi'il-nya (pekerjaan) hanya satu, yaitu dharaba (memukul) sedangkan fa'il-nya (pelaku) bermacam-macam.

Syekh Asy-Sya'rawi juga mempertegas bahwa fi'il (pekerjaan) itu benar-benar hanya satu, namun kemampuannya berbeda-beda. Lalu, ia mencontohkan:
إن فلان الموظف أقام عرسا لابنته
"Sesungguhnya si anu yang petugas itu merayakan pernikahan anaknya."

Tentu sangatlah berbeda dengan:

إن أغنى رجل في العالم أقام عرسا لابنته
"Sesungguhnya orang paling kaya di dunia itu merayakan pernikahan anaknya."

Mari kita perhatikan, merayakan pernikahan dalam misal yang pertama adalah bentuk perayaan yang biasa-biasa saja. Sedangkan dalam bentuk contoh yang kedua bentuk perayaan pernikahannya secara besar-besaran.

Ia pun mempertegas, bahkan kekuatan pekerjaannya pun berbeda-beda, ia mencontohkan:

إنني سافرت إلى الإسكندرية بالقطار
"Aku berangkat ke Aleksandria dengan mengendarai kereta."

إنني سافرت إلى الاسكندرية بالطائرة
"Aku berangkat ke Aleksandria dengan mengendarai pesawat."

إنني سافرت إلى الاسكندرية بالصاروخ
"Aku berangkat ke Aleksandria dengan mengendarai roket."

Jika menggunakan kereta, kemungkinan seseorang sampai ke Aleksandria perlu waktu hingga berjam-jam. Lain halnya jikamenggunakan pesawat, kemungkinan setengah jam sudah sampai. Adapun jika menggunakan roket, jarak ke Aleksandria, kemungkinan hanya beberapa menit saja.

Dengan demikian, Surah Al-Isra ayat 1 ini menunjukan bahwa Allah SWT lah yang menjalankan hambanya di malam hari. Maka, segala hal yang terjadi di perjalanan itu termasuk dari hal yang di atas kekuasaan akal-akal manusia yang sangat mungkin terjadi.

Ketika kaum kafir Quraisy mengingkari mukjizat Nabi mengenai cerita perjalanan Isra Mi'raj dalam waktu satu malam atau setengah malam, yaitu perjalanan Makkah ke Palestina (Masjid Al-Haram hingga Masjid Al-Aqsha), mereka mengatakan bahwa perjalanan itu harusnya ia tempuh satu bulanan. Belum lagi pulangnya pun demikian satu bulan. Mereka tidak mengindahkan bahwa Rasulullah sendiri tidak mengatakan "saya berjalan" سريت (saraitu). Rasul menyatakan bahwa "saya di-isra-kan" أسري بي(usriya bi).

Sedangkan tujuan kenapa kata Abdihi (عبده) digunakan dalam ayat pertama Surah Al-Isra alih-alih kata Nabiyyihi (نبيّه) adalah agar tercapai dua kebenaran sekaligus:

Pertama, bahwa Isra itu benar-benar terjadi dengan ruh dan jasadnya. Isra itu dengan penglihatan mata yang bangun serta sadar, bukan lewat mimpi.

Penafsiran Syekh Muhammad Mutawalli Asy-Sya'rawi sangat logis. Menurutnya jika Isra melewati mimpi, tentu saat itu tidak akan mungkin terjadi pengingkaran dari kaum kafir Quraisy. Karena mimpi tidak bisa diingkari hingga banyak yang murtad. Misalnya terdapat sebuah pernyataan "Aku bepergian Indonesia-Amerika pulang pergi dua puluh kali selama semalam." Apakah akan ada yang repot-repot mengingkarinya atau menyangkalnya jika dibilang bahwa yang dimaksud itu adalah mimpi? Tentu tidak.

Mengenal Kitab Tafsir Karangan Syekh Muhammad Al-Maraghi
Tafsir Al-Maraghi sudah cukup dikenal khalayak. Namun, ada Al-Maraghi lain yang juga mempunyai sebuah kitab tafsir dan diterbitkan oleh Al-Azhar.

Dengan demikian, Nabi melalui peristiwa Isra dengan ruh dan jasadnya serta di saat terjaga, tidak dalam keadaan mimpi. Ini diperkuat dalam Surah Al-Isra ayat 60 bahwa kata Ar-Ru'ya dalam bahasa Arab sering juga dimaknai sebagai penglihatan mata dan tersadar.

Kedua, Allah menggunakan kata 'Abdihi karena Allah SWT mengharapkan dan menetapkan bagi kita bahwa sifat menghamba kepada Allah SWT akan mengantarkan kepada derajat yang paling luhur yang didapatkan oleh manusia. Wallahu A'lam.

💡
Baca juga artikel lain di rubrik ISLAMUNA atau tulisan menarik Irfan Rifqi Fauzi