Sejarah Panjang Islam di Mata Sarjana Eropa

Annemarie Schimmel adalah seorang orientalis yang objektif mempelajari dan memandang Islam secara komprehensif. Schimmel berbeda dengan orientalis lain, ia lama mempelajari Islam, intens belajar bersama para tokoh Islam dan pernah hidup bersama kalangan Islam. Sehingga penglihatannya terhadap Islam pun berbeda dengan orientalis lain yang hanya mempelajari Islam dari kejauhan.

Schimmel adalah sosok sarjana perempuan yang mencari hakikat Islam. Sehingga pemahamannya terhadap Islam sesuai dengan yang dipahami oleh ulama-ulama Islam. Oleh karenanya, pada akhirnya hasil risetnya itu sesuai dengan pemahaman jumhur umat Islam.

Ya, tulisan ini akan membawakan ulasan dari hasil membaca pemahaman Schimmel mengenai Islam dalam bukunya yang berjudul Al-Islam Din Al-Insaniyyah. Buku ini diterbitkan beberapa kali oleh Al-Azhar. Salah satunya yakni pada September 2017 dan diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh Dr. Shalah Abdulazis Mahjub. Sementara prolognya ditulis oleh Prof. Dr. Mahmud Hamdi Zaqzuq. Buku ini bahkan sempat dihadiahkan secara cuma-cuma ke pembaca Majalah Al-Azhar.

Di Balik Penamaan Masjid Al-Azhar
Sejarah Al-Azhar yang panjang menyimpan sejumlah versi di balik penamaannya.

Dalam prolognya, Prof. Dr. Mahmud Hamdi Zaqzuq menceritakan perkenalannya pada tahun 60-an melalui tulisan-tulisan Prof. Schimmel yang bagus dengan corak tulisan yang bersifat ilmiah hingga dapat dipertanggungjawabkan keamanahannya. Namun, terkait pertemuannya secara langsung dengan Prof. Schimmel baru terjadi di pertengahan tahun 80-an ketika Prof. Zaqzuq bersama istrinya berkunjung ke rumahnya di Kota Bonn, Jerman. Atas pertemuan di rumah itu, Prof. Dr. Zaqzuq mulai sering berkomunikasi hingga akhir hayat sang orientalis itu.

Di tahun 1988 Prof. Zaqzuq dan Prof. Schimmel dipertemukan kembali saat keduanya terlibat dan diundang di sebuah acara muktamar yang diadakan oleh Universitas Marburg, Jerman. Keduanya pernah menjadi bagian dari universitas itu. Syekh Prof. Dr. Mahmud Hamdi Zaqzuq menempuh awal belajar di Eropa, tepatnya di Jerman di universitas tersebut. Begitupun Schimmel pernah mengajar di sana.

Seusai Prof. Zaqzuq dan Prof. Schimmel menyelesaikan rangkaian muktamar, keduanya bertolak menuju hotel yang disediakan untuk para undangan. Mereka menelepon petugas urusan mobil untuk segera menjemput. Keduanya menunggu agak lama. Bisa jadi karena waktu itu puncak macetnya jalanan kota. Prof. Schimmel berkata kepada Syekh Zaqzuq. "Mari kita berdoa bersama kepada Allah SWT. Semoga Allah SWT memberi kemudahan sehingga mobil cepat sampai."

Sykeh Zaqzuq menjawabnya, "Ayo, mari kita berdoa." Ia melihat liontin yang dipakai Schimmel bertuliskan Allah dalam bahasa Arab. Peritiwa ini yang lantas menjadi salah satu alasan sebagian orang berkata bahwa Schimmel telah memeluk Islam. Akan Tetapi, pada akhirnya Syekh Mahmud Hamdi Zaqzuq tidak bisa memastikan perkara ini sebab hanya Allah SWT yang mampu melihat isi hati seorang hamba. Begitu juga diri Schimmel sendirilah si pemilik hati yang tahu.

Sosok Annemarie Schimmel

Annemarie Schimmel lahir pada 7 April 1922. Di masa sekolah sederajat SMA, ia belajar bahasa Arab di usianya yang menginjak umur 15 tahun. Setelah menyelesaikan sekolah SMA, ia melanjutkan studi di Universitas Berlin. Di sana ia mempelajari Ilmu-Ilmu Arab dan Keislaman sampai meraih gelar doktor. Ia mendapatkan gelar profesor di tahun 1946.

Ia lantas belajar kembali dan mengambil gelar doktor di Universitas Marburg di tahun 1951 dengan disertasi berjudul Dirasah 'An Mafhum Al-Hubb fi At-Tashawwuf Al-Islami Al-Mubakkir yang disupervisori oleh Prof. Friedrich Heiler. Selanjutnya ia mengajar di beberapa universitas di Jerman dan luar negeri, seperti di Marburg, Bonn, Turki, dan Lahore. Di tahun 1967, ia mengajar di University Harvard di Amerika Serikat serta menjadi dosen terbang di beberapa universitas di dunia.

Hasil studi ilmiah dan buku-bukunya di berbagai bidang terkait tema-tema keislaman mencapai lebih dari 100 buku. Ia mendapatkan sejumlah penghargaan di berbagai bidang.

Sejarah Panjang Islam di Mata Eropa

Dalam bukunya yang berjudul Al-Islam Din Al-Insaniyyah yang akan saya ulas ini, Annemarie Schimmel membagi bukunya menjadi dua belas fasal. Pada fasal pertama, ia menjelaskan Islam dalam pandangan masyarakat Eropa semenjak abad ke-17. Agama Islam menurutnya adalah agama satu-satunya yang masuk dalam perdebatan panjang dan banyak dari agamawan selain Islam yang berusaha untuk menyerangnya. Tentu, hal tersebut tumbuh dan berkembang sebab pemahaman yang keliru terhadap Islam.

Ia mengatakan bahwa di Barat ada cerita atau dongeng berisi ancaman umat Muslim kepada dunia Barat semenjak mendekati seribu tahun. Adapun sebab tersebarnya dongeng tersebut di Barat adalah karena masuknya Arab Muslim ke Spanyol pada abad 8 Masehi, juga adanya pemblokadean Turki ke dinding-dinding Wina di tahun 1683 M. Dari kejadian-kejadian tersebut persepsi yang salah terhadap agama Islam muncul. Mereka menganggap orang Eropa adalah musuh bebuyutan Islam.

Tafsir Ar-Razi terkait Krisis Ekologi
Imam Ar-Razi menafisiri ayat Al-Quran tentang kerusakan di muka bumi sebab manusia. Bagaimana peran manusia dalam suatu krisis ekologi?

Pandangan yang salah dari bangsa Eropa terhadap Islam terwujud di abad pertengahan. Mereka memahami dan mengganggap umat muslim menyembah Nabi Muhammad. Seorang muslim berbicara dengan menggambarkan dalam hatinya sosok Muhammad tepatnya sebelum salat. Pemahaman keliru bangsa Eropa tersebut terus berangsur nyata yang tertuang dalam karya-karya puisi Eropa bahkan hingga masa romantisme. Sehingga pada masa tersebut Eropa sangat membutuhkan pengetahuan yang benar tentang bahasa Arab. Di masa pertengahan terakhir, mereka mulai mementingkan belajar bahasa Arab sebagai bahasa Islam.

Pada masa itu, para pemuka agama Kristiani mulai mempelajari bahasa Arab sebagai bahasa lisan. Mereka memahami bahasa Arab ketika bahasa itu menjadi bahasa umat muslim Spanyol. Di tahun 1143 Masehi, Rodbertus Ketenensis telah merampungkan penerjemahannya dan dianggap sebagai orang pertama yang menerjemahkan makna-makna Al-Quran. Dicetak setelah 400 tahun atas perantara Bibliander di Basel, Swiss. Dari cetakan latin ini muncul tiga terjemahan ke dalam bahasa lain, seperti terjemahan ke bahasa Italia, terjemah bahasa Jerman di tahun 1616 M yang disusun oleh Salomon Schweiger, dan terakhir terjemah bahasa Belanda.

Pengetahuan bangsa Eropa terhadap bahasa Arab dan pemahaman sejarahnya terus membaik, akan tetapi masih ada sebagian penulis Eropa yang memperdebatkan agama Islam melalui tulisan-tulisannya yang terbit di abad 16 dan 17 hingga berdampak pada bertambahnya ketakutan Eropa terhadap Islam. Takut Islam akan memperluas wilayah kekuasan dengan menyebarkan agama Islam.

Setelah masa ini, ada sebuah fase baru atau pandangan baru bangsa Eropa terhadap Islam. Seperti adanya usaha penggambaran Rasulullah SAW oleh Henri de Boulainvilliers yang mengatakan bahwa sesungguhnya Nabi Muhammad ialah orang yang mengajak kepada agama yang logis, yang diterima oleh akal. Dalam fase ini muncul kecondongan ke arah berpikir hingga mulai membuka diri terhadap Islam. Pendapat yang benar di abad 18 ini adalah pendapat objektif yang berbeda dengan masa sebelumnya.

Schimmel kuat meyakini bahwa fase klasik, yang karakteristiknya mempertentangkan dunia Barat dengan Islam, berhenti pada masa Ghoethe yang menulis buku Ad-Diwan Al-Gharbi Asy-Syarqi yang mendeskripsikan dunia Islam corak Persia, Arab, dan Islam. Schimmel menjelaskan banyaknya terjemahan dari dunia Islam yang berbahasa Arab atau Persia ke bahasa-bahasa latin di Eropa membuat Islam semakin dikenal di Barat. Misalnya, kisah Alfu Lailah wa Lailah (Seribu Satu Malam) yang diterjemahkan dari bahasa Persia pada abad ke-18 justru memberikan dampak baik dan mengilhami para seniman musik dan lukis di Eropa.

Kisah Al-Hadrami di Pasar Buku Cordoba
Bagaimana buku menjadi incaran para muslim di Cordoba. Namun sayangnya, tak semua pembeli buku benar-benar membeli dengan maksud mendarasnya.

Di akhir abad 18, sebagian karya-karya sastra klasik bangsa Timur dikenal di Eropa. Berkat Joseph Von Hammer-Purgstalls (1788-1866 M) yang menerjemahkan beberapa karya dari Timur (Arab, Persia, dan Turki), khazanah umat Islam dan ketimuran menjadi lebih dikenal di Jerman. Diwan (kumpulan puisi-puisi) Hafidz Asy-Syirazi yang diterjemahkan mengilhami sosok seperti Ghoethe dalam menulis Ad-Diwan Al-Gharbi Asy-Syarqi.

Beralih pada masa abad ke-19, Schimmel membicarakan beberapa tokoh Barat yang mempelajari Islam dan ketimuran seperti halnya Gotthold Weil (1808-1889), William Muir (1819-1905), Aloys Sprenger (1813- 1893), D. S. Margoliouth. Kesemuanya menyifati dan berkecendrungan kuat mengarah kepada penyimpangan terhadap Rasul SAW. Mereka menyifati Nabi SAW sebagai seorang Reformis Sosial bukan sebagai Nabi Allah dan utusannya.

Setelah Ignaz Goldzieher mulai mempelajari perkembangan ilmu Hadis dan membedakan sumber-sumber dengan cerdas, Schimmel menyifatinya sebagai perkembangan di dalam studi Islam. Ada kemungkinan baru memahami turats Islam dengan pemahaman yang objektif. (BERSAMBUNG)


Baca juga artikel lain di rubrik TAKARIR atau tulisan menarik Irfan Rifqi Fauzi