Sepercik Tata Krama Para Ulama Nahwu

Ilmu nahwu merupakan salah satu cabang ilmu bahasa Arab. Ilmu ini sering disebut-sebut sebagai bapak ilmu. Sementara ilmu sharaf adalah ibunya. Nahwu membahas kondisi huruf akhir sebuah kata dalam susunan bahasa Arab dari segi i'rab (berubah) dan bina' (tetap).

Sebagaimana pandangan kebanyakan ulama, ilmu nahwu lahir di Bashrah di tangan seorang Tabi’in, Abu Al-Aswad Ad-Du'ali. Ilmu ini terhitung sebagai cabang ilmu bahasa Arab yang pertama-tama muncul ke dunia wujud. Pada perkembangannya, ilmu ini semarak dikaji oleh banyak orang dari berbagai penjuru negeri. Dampaknya, lahir beberapa mazhab dalam nahwu, seperti mazhab Bashrah, Kufah, Baghdad, Maghrib, Mesir, dan yang lainnya.

Sebagai bagian dari ilmu keislaman, ilmu nahwu berfungsi untuk memahami Al-Quran dan Sunnah. Maka wajar jika para ulama memberinya hukum fardlu kifayah dalam mempelajarinya. Yakni sebuah kewajiban yang jika telah dilaksanakan oleh sebagian orang dalam kelompok tertentu, maka kewajiban ini telah gugur semisal kewajiban salat jenazah.

Perangkat Ilmu Bahasa Arab yang Wajib Dikuasai Dai
Apa jadinya jika seorang dai tidak menguasai bahasa Arab dan perangkatnya?

Dalam beberapa praktik analisis kata menggunakan ilmu ini, para pakar nahwu seringkali menampakkan bentuk tata krama terhadap Allah SWT dan Al-Quran. Di antaranya :

1- Penamaan lafaz Allah dengan sebutan Lafzhul-Jalalah. Hal ini menunjukkan adanya bentuk pengagungan terhadap asma Allah SWT.

2- Sebuah riwayat menyatakan bahwa pasca wafatnya Imam Sibawaih, sosok maestro nahwu Bashrah, ada seseorang yang bermimpi bertemu beliau. Dalam mimpinya ia bertanya, "Wahai Imam, Apa yang Allah SWT perbuat terhadapmu?"

"Allah SWT mengampuni dosaku dan memasukkanku ke dalam surga.", jawab Sang Imam.

"Apa sebabnya?", tanyanya.

"Ketika sampai pada pembahasan isim ma'rifat, yakni pembahasan lafaz Allah, aku menyebutnya sebagai A'raf Al-Ma'arif (isim yang paling ma'rifat) yang tidak bisa di-ma'rifat-kan lagi." jawab Sang Imam.

Terlepas dari seberapa kuat riwayat ini, di sini kita bisa melihat betapa Imam Sibawaih sangat menjaga tata krama kepada Allah SWT. Barangkali bentuk tata krama semacam ini tidak pernah terlintas di benak kebanyakan orang.

Ath-Thayyib An-Najjar, Suri Teladan Guru Besar Tafsir Al-Azhar
Mengenal sosok alim ulama Al-Azhar bernama Syekh Ath-Thayyib An-Najjar. Guru besar tafsir dan anggota Dewan Ulama Senior Al-Azhar di era 50-an.

3- Dalam kitab Al-Muqaddimah Al-Ajurrumiyyah disebutkan bahwa salah satu dari isim-isim yang di-i'rabi rafa' adalah al-maf'ul alladzi lam yusamma fa'iluhu (maf'ul yang fa’il-nya tidak disebut). Demikian adalah diksi yang dipakai oleh Ibnu Ajurrum Ash-Shinhaji. Beliau lebih memilih diksi ini dibanding menyebutnya sebagai Na'ib Al-Fa'il. Barangkali rahasianya adalah ketika bertemu dengan semacam ayat 28 Surat An-Nisa':

يُرِيْدُ اللّٰهُ اَنْ يُّخَفِّفَ عَنْكُمْ ۚ وَخُلِقَ الْاِنْسَانُ ضَعِيْفًا

Seorang yang meng-i'rabi ayat itu akan mengatakan bahwa lafaz خلق adalah fi'il madhi mabni lam yusamma fa'iluhu (bentuk fi'il yang fa'il-nya tidak disebut). Hal ini lebih menunjukkan tata krama dibanding menyebutnya sebagai fi'il mabni majhul yang berarti fa’il-nya tidak diketahui. Padahal, fa’il yang tersimpan dalam kata ini adalah Allah SWT.

4- Dalam kitab Al-Muqaddimah Al-Ajurrumiyyah, Syekh Ibnu Ajurrum juga membedakan antara Lam Amar dan Lam Du'a. Begitu juga denga La Nahi dan La Du'a. Hal ini menunjukkan adanya tata krama tinggi dalam bermuamalah dengan Allah SWT dan Al-Quran. Bentuk tata krama ini bisa kita lihat jika kita bertemu dengan semacam ayat 77 Surat Az-Zukhruf dan ayat terakhir Surat Al-Baqarah:

وَنَادَوْا يٰمٰلِكُ لِيَقْضِ عَلَيْنَا رَبُّكَۗ قَالَ اِنَّكُمْ مَّاكِثُوْنَ

رَبَّنَا لاَ تُؤَاخِذْناَ إِنْ نَسِيْناَ أَوْ أَخْطَأْناَ

Seorang yang telah mengkaji kitab Al-Muqaddimah Al-Ajurrumiyyah akan mengidentifikasi Lam pada lafaz ليقض sebagai Lam du'a, bukan Lam Amar. Begitu juga dengan La pada lafaz لا تؤاخذنا ia akan mengidentifikasinya sebagai La Du'a, bukan La Nahi. Hal ini merupakan bentuk tata krama yang tinggi terhadap Allah SWT dan Al-Quran.

Menyikapi Provokasi Muhammad Kace dan Yahya Waloni
Kasus-kasus penistaan atas agama sering menghebohkan netizen Indonesia. Bagaimana teladan Rasulullah SAW dalam bersikap atas penghinaan?

Ada sebuah cerita senada yang dimuat dalam Majalah Al-Azhar edisi bulan Rabiul Akhir 1443 H (November 2021 M). Suatu hari, Syekh Muhammad Al-Ghazali Al-Mishri ditanya oleh gurunya tentang i'rab dari lafaz:

رأيت الله أكبر كل شيئ

Saat itu, beliau masih menjadi pelajar di Madrasah Ibtidaiyyah. Dengan spontan Syekh Muhammad Al-Ghazali menjawab bahwa رأيت adalah fi'il dan fa'il. Sedang lafaz الله itu dibaca nashab sebab takzim (manshub 'ala at-ta'zhim). Beliau tidak menyebutnya sebagai maf'ul bih. Sontak, suasana kelas menjadi ramai. Sementara guru yang menanyainya terlihat berubah, pipinya merupa sungai yang mengalir karena deraian air mata.

Hal ini sangat wajar jika yang mendengar pemaparan i'rab yang semacam ini adalah orang yang hatinya dipenuhi dengan khasyyah (takut kepada Allah SWT). Terlebih yang memberikan i'rab adalah seorang anak kecil yang pada umumnya belum memahami maksud tersembunyi dari model i'rab-nya.

Dengan melihat sepercik cahaya tata krama dan kehati-hatian ahli nahwu dalam memosisikan kedudukan lafaz Allah SWT dan Al-Quran, mungkin orang-orang yang mengaku mempelajari Al-Quran dan mendaku melakukan tajdid pada isi kandungannya -jika mereka memahaminya- tidak akan pernah mengatakan bahwa Al-Quran adalah produk sejarah. Sebab menganggap Al-Quran sebagai produk sejarah merupakan hal yang sangat fatal. Hal ini bisa menjadikan seseorang memahami Al-Quran sesuai dengan kehendaknya sendiri. Dan pada akhirnya, pemahaman yang ada bukanlah sebuah tajdid melainkan sebaliknya, yakni tabdid (perusakan). Kesembronoan ini bisa jadi diawali oleh kurangnya nilai tata krama dalam berinteraksi dengan Allah SWT dan Al-Quran.

Semoga kita selalu diberi taufik untuk selalu bisa bertata krama dengan Allah SWT dan Al-Quran dalam segala hal.
Wallahu a'lam bishshawaab.


Baca juga artikel lain di rubrik ISLAMUNA atau tulisan menarik Munawar Ahmad Sodikin