Sikap Tegas Syekhul-Azhar Al-Quwaisini Melawan Pelacuran

Syekh Al-Quwaisini adalah seorang alim pengarang syarah kitab Sullam Al-Munauraq dalam ilmu mantik. Ia berjuluk Burhanuddin, bernama Hasan bin Darwisy bin Abdullah bin Muthawi’ Al-Quwaisini Asy-Syafi'i. Meskipun telah menyandang tunanetra sejak kecil, beliau pernah menjabat menjadi salah satu Syekhul-Azhar pada masanya. Kisah hidupnya dipenuhi dengan belajar, mengajar, dan khidmah di pangkuan Al-Azhar. Dari semua perjalanan hidup beliau, ada satu kisah yang jarang ditulis oleh para sejarawan, yaitu peran beliau dalam penutupan tempat prostitusi, biang pelacuran.

Pelacuran pernah mendapat cap resmi di Mesir di era Mamalik. Negara memperoleh pajak dan upeti dari hasil tersebut yang dalam literatur sejarah disebut dengan istilah “Dhaman Al-Maghani”. Pun ada juga beberapa sultan era Mamalik yang ingin menutup tempat-tempat tersebut, ada saja sultan lainnya yang melegalkan kembali profesi ini. Keadaan terus berlanjut seperti itu hingga di era Utsmaniyyah. Mereka memperoleh pajak dari para pekerja seks komersial (PSK) yang diberi nama “Al-Khurdah”.

Hunian Para Talib Tunanetra di Masjid Al-Azhar
Dulu, Al-Azhar mempunyai sebuah hunian khusus untuk para talib tunanetra. Para pencari ilmu yang berkebutuhan khusus itu tercatat dalam sejarah.

Tak sampai di situ, profesi ini berlanjut dan berkembang hingga zaman kepemimpinan Muhammad Ali Pasha. Bahkan dilindungi oleh pemerintah dengan diberi penanggung-jawab di setiap kompleks PSK. Jumlah PSK semakin banyak di Kota Kairo dan menyebar di tiap distriknya, tak terkecuali di distrik di mana Al-Azhar berada.

Al-Jabarti menuturkan hal tersebut dalam kitab ‘Ajaib Al-Atsar miliknya, “Sekelompok muncikari dan PSK keluar, menetap di Distrik Al-Azhar, dan berkumpul bersama masyarakat distrik tersebut. Hingga para petinggi negara, tentara, bahkan masyarakat umum menjadikan Al-Azhar sebagai olok-olokan dan melemparkan fitnah kotor dan keji kepadanya. Mereka berkata, ‘Kami melihat bahwa semua perbuatan maksiat tersebut muncul dari Al-Azhar dan masyarakat sekitarnya’. Padahal, Al-Azhar adalah sumber syariat dan keilmuan, namun, akhirnya malah mendapat kesan sebaliknya.”

Pada tahun 1250 H, di awal masa Syekh Al-Quwaisini menjabat sebagai Syekhul-Azhar, Muhammad Ali Pasha secara mendadak mengeluarkan surat resmi penutupan tempat prostitusi yang membentang dari Kairo hingga bagian selatan Mesir (Ash-Shaid) dan menghukum cambuk orang yang memprotes keputusan tersebut dengan 50 kali cambukan.

Asbab keluarnya keputusan tersebut diceritakan oleh Syekh Ahmad Al-Hadhrawi dalam Nuzhah Al-Fikr bahwa orang terpercaya yang sezaman dengan Syekh Al-Quwaisini menuturkan bahwa Sungai Nil kering kerontang pada tahun tersebut. Penguasa Mesir Muhammad Ali Pasha yang kala itu masih di Aleksandria menuliskan surat kepada wakilnya, Habib Efendi untuk melaksanakan salat Istisqa' selama 3 hari. Habib Efendi menyampaikan hal tersebut kepada Syekhul-Azhar Al-Quwaisini seraya berkata, “Kami ingin salat Istisqa' bersama semua masyarakat.”

Syekh Al-Quwaisini kemudian berdiri sembari menegur keras Habib Efendi, “Bagaimana bisa kalian ingin salat Istisqa', padahal ada banyak jual-beli khamar dan tempat-tempat pelacuran?”

Sinergi Umara dan Ulama di Masa Pandemi
Corona kian menggila, para umara, ulama, dan tokoh-tokoh publik dituntut harus lebih berperan dalam menetralisir kekhawatiran umat.

Habib Efendi dengan gelagat buruk segera mengalihkan pembicaraan untuk memperoleh rida beliau, hanya saja dengan unsur meremehkan, “Biar aku saja yang membayar semua pajak mereka (PSK) dari simpananku selama istighatsah (doa memohon pertolongan) tiga hari nanti.” Maksudnya, ia akan memberi kompensasi untuk para PSK agar tidak membayar pajak selama 3 hari yang dilaksanakan untuk salat nanti. Dan ia bersedia menanggung pajak tersebut selama 3 hari dari kantong pribadinya.

Kemarahan Syekh Al-Quwaisini semakin menjadi-jadi mendengar hal tersebut. Beliau menghardiknya seraya mengambil tongkat dan ingin memukulnya. Habib Efendi kabur dan melepaskan diri dari jabatannya di Diwan (kepemerintahan). Begitu juga semua pengurus Diwan lari ketakutan dari kerasnya sikap Syekh Al-Quwaisini terhadap mereka.

Peristiwa tersebut sampai ke telinga Raja Mesir Muhammad Ali Pasha. Ia segera bergegas pulang ke Kairo dan meminta rida Syekh Al-Quwaisini. Ia lalu memerintahkan untuk menghilangkan semua jenis arak dan menutup semua tempat prostitusi tanpa tersisa. Dan ini semua adalah peran besar Syekh Al-Quwaisini. Semoga Allah membalas kebaikan para Syekhul-Azhar di tiap masanya dalam menjaga agama, bangsa, dan kehidupan bermasyarakat.


Baca juga artikel lain di rubrik BUDAYA atau tulisan menarik lain Amirul Mukminin