Statis dan Dinamis dalam Pandangan Islam

Meski telah lama dan berkali-kali didengungkan, tema tajdid tetap saja mendapat respon hangat dari banyak khalayak. Hal ini sangat wajar, mengingat tema ini selalu segar sesegar namanya. Dengan adanya tajdid, sesuatu akan selalu tampil utuh, segar, dan menarik.

Syariat Islam yang telah ada sejak belasan abad yang lalu selalu tampil segar hingga hari ini. Hal ini karena selalu ada upaya tajdid yang dilakukan oleh para ulama yang berkompeten pada setiap masanya. Mereka sangat menyadari bahwa syariat Islam adalah syariat sepanjang zaman. Ia akan selalu relevan dengan setiap kondisi dan masa.

Di samping watak syariat Islam yang relevan, ada hal lain yang menjadikan para ulama berlomba-lomba menyambut panggilan tajdid. Hal lain yang dimaksud adalah hadis Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh sahabat Abu Hurairah RA:

إن الله يبعث لهذه الأمة على رأس كل مائة سنة من يجدد لها دينها

"Sesungguhnya Allah SWT mengutus kepada umat ini (umat Islam) pada permulaan (tengah atau akhir) setiap seratus tahun, orang yang melakukan tajdid terhadap agama mereka."

Hadis ini memberikan spirit tersendiri untuk melakukan upaya tajdid. Meski menggunakan jumlah khabariyyah (kalimat pernyataan), hadis ini mengandung himbauan untuk melakukan tajdid.

Ide Tajdid Menurut Syekh Muhammad Abu Musa
Guru Besar Balaghah Universitas Al-Azhar, Syekh Muhammad Abu Musa menulis banyak kitab. Salah satunya kitab yang membahas pembaruan dalam Islam.

Tajdid semakin menemukan momentumnya saat kondisi umat Islam dilanda bencana pemikiran. Berbagai macam pemikiran dijajakan di tengah-tengah masyarakat muslim, mulai dari yang kapitalis, sosialis, materialis dan masih banyak lagi yang lainnya. Ditambah lagi dengan munculnya isu islamofobia yang bukan hanya menyudutkan sekelompok umat Islam saja, melainkan juga menyudutkan seluruh umat Islam. Hal-hal di atas menjadikan para ulama lebih masif dalam mempromosikan upaya tajdid.

Namun sayang, banyak orang-orang yang tidak berkompeten ikut-ikutan masuk dalam gelanggang yang bukan miliknya. Sehingga hal ini menjadikan kemulusan upaya tajdid terjegal. Bahkan upaya tajdid yang dilakukan oleh orang yang tidak berkompeten tidaklah layak disebut tajdid. Yang ada, mereka malahan melakukan kebalikan dari tajdid yakni tabdid (perusakan).

Peralihan dari tajdid ke tabdid tentu disebabkan oleh beberapa hal, selain tentunya hal yang telah disebutkan di atas. Di antaranya adalah tidak adanya pemilahan antara konten-konten syariat yang bersifat tetap (statis) dan yang bersifat bisa berkembang (dinamis). Di mana upaya tajdid akan bisa berhasil jika yang ditajdid adalah konten syariat yang bersifat bisa berkembang. Mungkin hal ini yang melatarbelakangi Prof. Dr. Muhammad Abdulfadhil Al-Qushi untuk menulis buku yang berjudul "Ats-Tsabat wa At-Tathawwur, Ru'yah Islamiyyah", yakni Statis dan Dinamis dalam Pandangan Islam.

Sang Penulis

Sebelum mengulas lebih lanjut buku ini, ada baiknya kita mengenal dulu sang penulis. Prof. Dr. Muhammad Abdulfadhil Al-Qushi merupakan ulama Al-Azhar yang lahir pada bulan Februari 1944 M. Beliau berhasil mendapatkan gelar doktor di bidang Akidah Filsafat dari Univertas Al-Azhar pada tahun 1975 M. Beliau diangkat menjadi guru besar dan pernah menjadi wakil rektor Universitas Al-Azhar. Di samping itu, beliau juga merupakan mantan anggota Haiah Kibar Al-'Ulama (Dewan Ulama Senior) Al-Azhar serta pernah menjabat sebagai wakil ketua dalam Majlis Idarah (Dewan Direksi) Al-Munazhzhamah Al-'Alamiyyah li Khirriji Al-Azhar (Organisasi Internasional Alumni Al-Azhar) yang diketuai langsung oleh Syekhul-Azhar Prof. Dr. Ahmad Ath-Thayyib. Di samping kiprah-kiprah di atas, beliau juga merupakan ulama yang produktif dalam menelurkan karya tulis selain pernah juga menjadi Menteri Wakaf Mesir. Bulan Juni tahun lalu (2020), beliau telah dipanggil oleh Pemiliknya SWT.

Takarir

Buku yang berjudul Ats-Tsabat wa At-Tathawwur Ru'yah Islamiyyah pertama kali dicetak pada tahun 2014 M. Di dalam mukadimah, Prof. Dr. Muhammad Abdulfadhil Al-Qushi menegaskan bahwa syariat Islam mempunyai watak tetap (statis) sekaligus juga watak bisa berkembang (dinamis). Ia mengandung faktor-faktor yang menunjang untuk bisa berkembang sehingga bisa relevan sepanjang zaman.

Setelah itu, beliau mencoba untuk menunjukkan penampakan watak statis dan dinamis yang ada pada syariat Islam. Watak statis syariat bisa dilihat pada penjelasan tujuan yang hendak dicapai oleh syariat dan fleksibilitas dalam memilih cara yang ditempuh untuk mencapainya. Sedang watak dinamis bisa disaksikan lewat sederet problematika baru yang hukumnya tidak dijelaskan secara ekspilit dalam nas Al-Quran dan sunnah, namun problematika itu mampu dipecahkan dengannya melalui ijtihad maupun tajdid.

Setelah itu, beliau mencoba untuk memetakan pembahasan yang akan dikerjakan. Pertama, beliau terlebih dahulu mendefinisikan Ats-Tsabat (statis) dan At-Tathawwur (dinamis). Kemudian mencari perbedaan antara kedua istilah ini. Hal ini sangatlah wajar dilakukan. Karena tanpa mengetahui sesuatu yang dibahas, seseorang tidak mungkin bisa menilai (atau menghukumi) sesuatu itu. Deskripsi suatu istilah akan semakin bisa dipahami jika disertai dengan menjelaskan perbedaan antar istilah. Sehingga penjelasan perbedaan antar istilah bisa menjadi penyempurna sebuah deskripsi.

Setelah itu, beliau menjelaskan bahwa dalam diri manusia terdapat unsur tsabat dan unsur tathawwur. Sehingga dibutuhkan tuntunan-tuntunan yang mampu menuntun unsur tathawwur ini untuk bisa sejalan dengan unsur tsabat yang dimiliki. Pada akhirnya akan terjadi harmonisasi antara unsur tathawwur dan tsabat yang mampu melahirkan tawazun (keberimbangan).

Pada pembahasan selanjutnya, Prof. Dr. Muhammad Abdulfadhil Al-Qushi menyatakan bahwa ke-wasathiyyah-an Islam mengharuskan adanya tawazun (keseimbangan) antara yang tsabat dan tathawwur. Sebagaimana keniscayaan keseimbangan antara jasad dan ruh pada diri manusia, antara hubungan personal dan kelompok, serta antara masa lalu dan masa mendatang, keseimbangan antara unsur tsabat dan tathawwur dalam syariat Islam juga merupakan keniscayaan. Sebab kalau sampai tidak seimbang, maka yang akan terjadi adalah salah satu dari dua hal, yakni kejumudan atau kehilangan identitas sebagai muslim. Seandainya sifat tathawwur dalam syariat tidak diindahkan maka akan terjadi jumud. Sebaliknya, jika sifat tsabat tidak diberi ruang, yang terjadi adalah hilangnya identitas sebagai seorang muslim. Sehingga ia akan sangat mudah dibawa ke sana kemari sesuai arus pemikiran yang menggiringnya.

Mungkin Prof. Dr. Muhammad Abdulfadhil Al-Qushi sengaja mengakhirkan penjelasan unsur-unsur tsabat dalam syariat. Hal ini mungkin dimaksudkan supaya pembaca semakin penasaran dengan apa yang akan beliau sebutkan. Sehingga pembaca telah siap siaga untuk menangkap kata-kata yang akan dituturkan.

Mengapa Ahlussunnah Tetap Relevan Hari ini
Menjamurnya radikalisme dan islamofobia adalah problem terbesar dunia Islam hari ini. Ahlussunnah sanggup secara nyata merespon isu-isu tersebut.

Di penghujung akhir pembahasan, beliau menyebutkan unsur-unsur tsabat dalam syariat. Beliau menyebutkan empat hal yang menjadi pokok dari unsur tsabat. Pertama, rukun iman, rukun Islam, dan ihsan sebagaimana yang dijelaskan dalam hadis yang populer dengan nama Hadits Jibril. Kedua, al-ma'lum min ad-din bi adh-dharurah yakni sesuatu yang jamak diketahui oleh pemeluk agama Islam. Di antaranya seperti haramnya mencuri, durhaka kepada orang tua, wajibnya menghormati orang tua, wajibnya persaudaraan antar umat manusia dan yang lainnya. Ketiga, nilai kebenaran, kebaikan, dan keadilan. Keempat, sumber-sumber syariat Islam, yakni Al-Quran, sunnah, ijma', qiyas, dan dalil lain yang sering disebut dengan Al-Adillah Al-Mukhtalaf fiha.

Sebelum mengakhiri pembahasan, beliau menyebutkan faktor-faktor penunjang tathawwur. Ada tiga faktor yang disebutkan di dalam buku ini. Pertama, pandangan Islam terhadap ilmu pengetahuan. Islam tidak rela kalau para penganutnya tertimpa musibah keterbelakangan dalam ilmu agama maupun pengetahuan. Sehingga, menurut beliau, kemajuan dalam ilmu pengetahuan di zaman sekarang menjadi salah satu medan jihad ilmiah yang sebenarnya.

Kedua, ikut berkontribusi dalam membangun peradaban manusia. Hal ini merupakan PR besar umat Islam yang harus diselesaikan. Sebab, umat Islam saat ini berada dalam persimpangan. Persimpangan antara ikut berkontribusi, menolak berkontribusi, atau mundur melawan arus peradaban.

Ketiga, Al-Mashalih Al-Mursalah. Dengan ini, capaian-capaian baru dalam sebuah peradaban besar mampu dikawal. Sehingga ia bisa tetap berada dalam rel syariat.

Dalam penutupannya, Prof. Dr. Muhammad Abdulfadhil Al-Qushi menyebutkan bahwa interaksi seimbang antara tsabat dan tathawwur menjadikan umat Islam mampu berjalan di atas kedua kakinya. Sehingga ia akan semakin jelas menatap ke depan menuju masa depan yang cerah. Sebab, kebaikan umat Islam bukan saja untuk kebaikan umat Islam itu sendiri, melainkan juga kebaikan untuk seluruh umat manusia dan alam raya. Seolah beliau mengatakan bahwa umat Islam adalah jantung alam raya. Dan pada akhirnya perdamaian akan dituainya. Wallahu A'lam bishshawab.


Baca juga artikel lain di rubrik TAKARIR atau tulisan menarik Munawar Ahmad Sodikin