Syekh Ibrahim Bushailah, Tokoh Maliki Bersahaja nan Disiplin

Ia adalah sosok alim ternama Al-Azhar bernama Ibrahim bin Ibrahim bin Muhammad bin Hasan Al-Janaji Al-Asy’ari Al-Maliki Al-Azhari. Nisbah Al-Janaji yang berada di belakang namanya merujuk kepada Desa Janaj, Markaz Kafr Az-Zayyat, Provinsi Al-Gharbiyyah, Mesir sebagaimana termaktub di dalam kitab Al-Kanz Al-Jalil ‘ala Madarik At-Tanzil karangannya sendiri dan kitab Haiah Kibar Al-‘Ulama fi Siyar A’lamiha Al-Qudama yang merujuk kepada dokumen bio resmi pengabdiannya. Adapun di dalam sejumlah kitab lain yang bercerita tentang Syekh Ibrahim Bushailah, seperti Al-A’lam, Natsr Al-Jawahir wa Ad-Durar, Jamharah A’lam Al-Azhar Asy-Syarif, dan Mu’jam Al-Mufassirin dikatakan bahwa ia berasal dari Desa Janaj yang berada di Markaz Jirja. Dan pendapat sejumlah kitab terakhir itu tidaklah benar.

Benarkah Asy’ariah Terbelakang dan Membingungkan?
Sekilas mengenal Asy’ariyah yang sempat disebut terbelakang dan membingungkan oleh seorang dosen. Mazhab yang diugemi Al-Azhar Asy-Syarif, Kairo.

Adapun Al-Asy’ari ialah nisbah kepada mazhab Imam Abu Al-Hasan Al-Asy’ari dalam akidah. Al-Maliki adalah nisbah kepada mazhab fikih Imam Malik yang ia ikuti. Sedangkan Al-Azhari, merujuk kepada Al-Azhar tempat ia menimba ilmu. Selain itu, ia lebih dikenal dengan sebutan Ibrahim Bushailah. Tidak diketahui kepada apa nisbah Bushailah tersebut merujuk, sebab tidak ada satupun buku sejarah atau kamus biografi yang menyinggung hal itu.

Kelahiran dan Masa Pertumbuhan

Syekh Ibrahim Bushailah dilahirkan pada tahun 1270 H (1854 H) dari orang tua yang dikenal akan kemuliaannya. Ayahnya wafat pada tahun yang sama setelah kelahirannya. Setelahnya, ia diasuh, dididik, dan dibiayai oleh para pamannya. Mereka memasukkan Ibrahim Bushailah kecil ke dalam sebuah kuttab di bawah asuhan Syekh Abdurrahman Al-Barbari. Di bawah bimbingan sang guru, ia menyelesaikan hafalan Al-Quran beserta tajwidnya pada umur 12 tahun, yakni pada tahun 1282 H (1865 M).

Setelah menyelesaikan hafalannya, ia tak langsung dimasukkan ke jenjang belajar selanjutnya. Sebaliknya, ia bekerja terlebih dahulu bersama para pamannya di kebun milik keluarga. Selama bekerja, para pamannya melihat kecerdasan, kecakapan, dan kemampuan yang dimiliki Ibrahim Bushailah muda dalam mengatur administrasi keluarga, maka setelah salah satu pamannya Haji Abdulwahid Bushailah yang biasa mengatur semua urusan keluarga meninggal, ialah yang diminta menggantikan sang paman. Pada masa ia yang mengatur, sirkulasi keuangan perkebunan keluarga membaik, mendapatkan banyak untung, hingga penghasilan kebun keluarganya mencapai kesuksesan yang besar.

Pada akhir tahun 1288 H (1872 M), Ibrahim Bushailah muda berhenti dari dunia perkebunan dan melanjutkan jenjang belajarnya yang sempat tertunda selama 6 tahun. Ia kemudian masuk ke Al-Azhar dengan diantar oleh para keluarga. Di sini, ia menekuni mazhab Maliki dan keilmuan lainnya, seperti nahwu, sharaf, balaghah, dan ushul. Setelah berlalu 14 tahun, tepatnya pada 16 Jumadilawal 1303 H (21 Februari 1886 M) ia mengajukan diri untuk mengikuti imtihan Syahadah Al-Idzn bi At-Tadris, ujian akhir yang dibuat sesuai qanun pertama Al-Azhar pada masa Syekhul-Azhar Muhammad Al-‘Abbasi Al-Mahdi yang mengatur seputar pembelajaran di Al-Azhar, termasuk peraturan adanya imtihan.

Saat melangsungkan imtihan pada tahun tersebut, ia diuji langsung oleh Syekhul-Azhar Muhammad Al-‘Abbasi Al-Mahdi sebagai ketua lajnah imtihan beserta 5 anggota lajnah imtihan lainnya, yaitu Syekh Abdurrahman Asy-Syirbini Asy-Syafi’i (Syekhul-Azhar setelahnya), Syekh Ahmad Syarafuddin Al-Marshafi Asy-Syafi’i, Syekh Ahmad Al-Jizawi, Syekh Muhammad Al-Basyuni, dan Syekh Hassunah An-Nawawi Al-Hanafi (Syekhul-Azhar kelak). Setelah melalui imtihan, ia mendapatkan nilai tertinggi dengan Darajah Ula dan Kiswah Tasyrif Darajah Tsalitsah. Dengan nilai sempurna itu, ia bisa mengajar semua fan ilmu di Masjid Al-Azhar.

Bahaya Belajar Agama Islam Tanpa Guru
Mempelajari agama Islam menjadi berbahaya jika dilakukan secara autodidak tanpa guru. Para ulama di Al-Azhar masih menjaga betul sanad keilmuan.

Dalam buku-buku sejarah, tidak diketahui kepada siapa saja beliau belajar selama di Al-Azhar. Biografinya sangat minim, bahkan kebanyakan buku sejarah hanya saling menukil antar satu dengan yang lainnya. Namun, bisa saja ada sejumlah ulama anggota lajnah imtihan yang menjadi gurunya.

Manakib

Kisah Syekh Ibrahim Bushailah di masa setelah menyelesaikan studinya hingga menjadi anggota Haiah Kibar Al-‘Ulama juga tidak banyak terekam. Meski begitu, untungnya terdapat sejumlah kisah hidup beliau yang terekam di dalam khatimah juz 4-5 manuskrip Al-Kanz Al-Jalil ‘ala Madarik At-Tanzil, yaitu hasyiah karangan beliau sendiri atas Tafsir An-Nasafi yang disalin (nasakh) oleh Syekh Abdul’aziz Muhammad Al-Qadhi, seorang yang ikut membantu penulisan Al-Kanz Al-Jalil tersebut.

Dalam manuskrip khatimah tersebut diceritakan, bahwa Syekh Ibrahim Bushailah adalah sosok yang tidur cepat pada malam hari untuk dapat bangun pagi lebih awal. Beliau tidak banyak berkumpul bersama khalayak ramai kecuali jika terdapat kepentingan darurat dan terdapat kemaslahatan di dalamnya. Setelah bangun pagi, beliau melaksanakan salat Subuh, menyandarkan tubuhnya di kasur hingga terbit matahari, sarapan, istirahat sebentar, lalu mulai melaksanakan aktivitas mengajarnya di Al-Azhar, lalu melanjutkan pengajiannya dalam fan fikih Maliki di Masjid Sayidina Al-Husain. Setelah selesai, beliau pergi ke ruang Idarah Al-Azhar dalam rangka mengerjakan dan memperbaiki kemaslahatan serta aduan masyarakat. Kemudian, dari sana beliau kembali ke rumah untuk makan siang, salat, istirahat, jalan-jalan keluar, hingga pulang ke rumah, makan malam, salat Isya, lalu beristirahat tidur. Begitu seterusnya setiap hari. Sebab hidup yang teratur tersebut, beliau tidak pernah sakit dan pergi ke dokter, kecuali setelah berumur 60-an tahun karena penyakit tua.

Kehidupan Berkeluarga

Masih dalam khatimah manuskrip hasyiahnya, Syekh Ibrahim Bushailah memiliki dua orang putra dan enam putri. Adapun dua putranya: Pertama, Ahmad bin Ibrahim Bushailah yang berprofesi sebagai Rais Mahkamah Syar’iyyah di Damanhur (wafat 1385 H). Kedua, Abdulmajid bin Ibrahim Bushailah yang berprofesi sebagai Pengacara Syar'i (wafat 1369 H).

Syekh Ibrahim sangat mencintai anaknya. Beliau senantiasa bersikap lemah lembut tanpa menghinakan diri, keras tanpa melampaui batas, dan mendidik mereka dengan didikan agama yang baik. Ketika mereka mencapai umur baligh, beliau segera menikahkan mereka. Tak lupa, beliau juga memasukkan mereka ke jenjang pendidikan sekolah agama. Selain itu, beliau menanamkan nilai-nilai budi pekerti luhur dan berpesan agar mereka berpegang teguh kepada agama Islam hingga senantiasa melaksanakan ibadah bukan karena beliau, melainkan karena perintah dari agama yang mereka peluk. Jika beliau mendapati anaknya berada di luar dan terlambat pulang ke rumah, beliau tidak mampu beristirahat hingga beliau mendapatkan kabar pasti keberadaan sang anak.

Munakahat

Kumpulan tulisan dengan topik pernikahan dan keluarga islami dapat teman-teman temukan

di sini

Kenggotaan di Lembaga Prestisius Al-Azhar

Syekh Ibrahim Bushailah dilantik sebagai anggota Haiah Kibar Al-‘Ulama pada 21 Zulkaidah 1338 H (6 Agustus 1920 M) bersama 8 pembesar ulama lainnya, yaitu Syekh Muhammad Ismail Al-Bardisi, Syekh Abdurrahman Qarra’ah, Syekh Abdulghani Mahmud, Syekh Muhammad Ibrahim As-Samaluthi, Syekh Yusuf Nashr Ad-Dijwi, Syekh Muhammad Al-Ahmadi Azh-Zhawahiri, Syekh Mushthafa Al-Hihyawi, dan Syekh Yusuf Asy-Syubrabakhumi. Pelantikan ini adalah pelantikan kedua yang digelar semenjak berdirinya Haiah Kibar Al-‘Ulama pada tahun 1329 H (1911 M) lalu.

Selain itu, empat hari setelah dilantik sebagai anggota Haiah Kibar Al-‘Ulama, tepatnya pada 25 Zulkaidah 1338 H (10 Agustus 1920 M) beliau juga dilantik sebagai anggota di otoritas tertinggi Al-Azhar, yakni Majlis Al-Azhar Al-A’la bersama 3 ulama lainnya, yaitu Syekh Mushthafa Al-Hihyawi, Syekh Muhammad Hamudah, dan Syekh Abdulhakam ‘Atha.

Karya Syekh Ibrahim Bushailah

Syekh Ibrahim Bushailah meninggalkan sejumlah karangan dalam berbagai fan ilmu. Yang sangat disayangkan adalah bahwa mayoritas karangan beliau masih tersimpan di Perpustakaan Al-Azhar dan belum ada yang menulis atau mengerjakannya sebagai edisi teks hingga menerbitkan kitab-kitab tersebut, kecuali sebagian kecil. Adapun karangan-karangan yang dimaksud yaitu:

1)    Al-Kanz Al-Jalil ‘ala Madarik At-Tanzil wa Haqaiq At-Tawil (Tafsir)

2)    Mudhiu Azh-Zhalam Al-Halik fi Fiqh Al-Imam Malik (Fikih Maliki)

3)    Al-Mathalib As-Saniyyah fi ‘Aqaid At-Tauhid Al-Mardhiyyah (Tauhid)

4)    Taqrir ‘Ala Hasyiyah Ash-Shawi ‘ala Syarh Al-Kharidah (Tauhid)

5)    Taqrirat ‘ala Hasyiyah Ash-Shabban ‘ala Syarh Al-Mallawi ‘ala As-Sullam (Mantik)

6)    Risalah fi Mabadi An-Nahwi (Nahwu)

7)    Risalah fi Mabadi ‘Ilm Al-Ushul (Usul Fikih)

Kompleks makam tampak depan di Distrik Khalifah, Kairo, Mesir. (istimewa)

Akhir Hayat

Setelah melalui kehidupan yang sarat akan nilai keteladanan, ketekunan, dan kesahajaan, Syekh Ibrahim Bushailah wafat pada 21 Jumadilakhir 1325 H (8 Oktober 1933 M) dan dimakamkan di pemakaman keluarga yang beliau bangun 5 tahun sebelum kewafatannya. Tepatnya dibangun pada tahun 1928 M sebagaimana yang tertulis di depan dinding depan pemakamannya. Hingga hari ini, para anggota keluarga dan keturunannya turut dimakamkan di dalam pemakaman yang terletak di area Imam Asy-Syafi'i itu.

Pemakaman keluarga itu terletak di Qarafah Shughra, Kairo, tepatnya berhadapan langsung dengan makam Syekh Abdulwahhab Al-Baghdadi yang berada di jalan menuju makam Imam Asy-Syafi'i jika lewat melalui pemakaman Sadah Malikiyyah.


💡
Baca juga artikel lain di rubrik BIOGRAFI atau tulisan menarik Amirul Mukminin