Skip to content

Tafsir Ontologis Alif Lam Mim

Meski asing, tafsir ontologis Al-Quran adalah gagasan menarik. Ibnu Arabi, sang teosofi itu mampu memasukkan tema-tema filosofis dalam tafsirnya.

FOTO: Ilustrasi tafsir isyari atau sufi untuk Tafsir Ontologis Alif Lam Mim. (Ayesha Firdaus/Unsplash)
FOTO: Ilustrasi tafsir isyari atau sufi untuk Tafsir Ontologis Alif Lam Mim. (Ayesha Firdaus/Unsplash)

Membahas tentang wujud (ada) umumnya takkan lepas dari tradisi filsafat. Seperti halnya kita mengenal kata ontologi; cabang filsafat yang membahas ‘ada’ dan ‘yang ada’ secara mutlak. Selain itu, wujud juga identik dengan kata eksistensi dan esensi. Bagaimana kemudian jika pembahasan ontologi dan eksistensi dalam filsafat tersebut ditemukan dalam tafsir? Khususnya tafsir Al-Quran? Hal itu tentu menjadi lebih menarik. Adalah sosok Ibnu Arabi, sang teosofi berjuluk Al-Kibrit Al-Ahmar mampu memasukan tema-tema ontologis filosofis di dalam penafsirannya terhadap Al-Quran. Selain kitab Al-Futuhat Al-Makkiyah, Fushush Al-Hikam, ia juga dikenal memiliki karangan tafsir —meskipun di kalangan ulama diperselisihkan— tersendiri yang akan menjadi rujukan saya dalam tulisan ini.

Karena ketertarikan akan hal tersebut, dalam tulisan kali ini saya akan mengulas tafsir Ibnu Arabi atas ayat pertama Surah Al-Baqarah, Alif Lam Mim. Dari segi metodologi, Ibnu Arabi termasuk memakai metode tafsir Isyari atau tafsir sufi. Sebuah metodologi tafsir yang memakai intuisi sebagai sumber dalam penafsiran dan pentakwilan yang berdasarkan pengalaman spiritual seorang mufasir. Terlepas dari pro-kontra keabsahan metode tafsir tersebut di kalangan ulama, menurut saya pribadi tradisi tafsir ini akan tetap diterima tetapi hanya bagi golongan khusus saja (al-khawwash). Sebagaimana kehadiran tasawuf falsafi itu juga dipahami kalangan tertentu saja, bukan orang awam secara umum.

Benarkah Asy’ariah Terbelakang dan Membingungkan?
Sekilas mengenal Asy’ariyah yang sempat disebut terbelakang dan membingungkan oleh seorang dosen. Mazhab yang diugemi Al-Azhar Asy-Syarif, Kairo.

Dasar tradisi tafsir Isyari —sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Arabi— berangkat dari hadis yang berbunyi, “Tidak ada ayat yang turun dari Al-Quran pun, kecuali ia memiliki aspek zahir dan batin, dan di setiap huruf terdapat batas pemahaman (haddun), dan di setiap batas itu terdapat terdapat rahasia (mathla’).” Ibnu Arabi —yang tafsirnya akan saya ulas setelah ini— mengomentari hadis tersebut, bahwa tafsir itu adalah zahir, sedangkan takwil itu adalah batin. Kalimat haddun itu adalah pemahaman yang dihasilkan dari huruf, sedang mathla’un itu adalah pemahaman di balik huruf yang mengantarkan seseorang naik mengetahui makna-makna lain.

Termasuk sikap para sufi terhadap ayat-ayat mustasyabihat, ialah dengan memakai ta'wil. Berbeda dengan ahli tafsir generasi salaf, yang memilih jalan tafwidh (berserah). Maka yang akan saya bahas ini adalah penafsiran Ibnu Arabi terhadap ayat Alif Lam Mim. Ketiga huruf tersebut bagi Ibnu Arabi bukan hanya sekedar huruf saja, melainkan simbol ontologis. Ayat pembukaan Surah Al-Baqarah itu bukan hanya pembukaan surah saja, melainkan juga pembukaan wujud dari seluruh alam semesta.

Mengapa huruf itu tidak sekedar ukiran pena? Mengapa ada makna yang mendalam di baliknya? Dalam menafsirkan bismillah, Ibnu Arabi juga menjelaskan rahasia-rahasia ontologis dari huruf hijaiyah dalam bahasa Arab. Huruf-huruf tersebut menurutnya tidak sekadar huruf, melainkan juga terdapat simbol mistik dan makna ontologis yang terkandung di baliknya. Dalam istilah kaum sufi disebut juga dengan Al-Muthalsam. Para nabi, mereka adalah orang yang pertama meletakkan huruf hijaiyah sebagai penanda (biiza’i) hirarki wujud di alam semesta. Seluruh wujud di alam semesta ini bermula dari huruf ba’-nya bismillah. Sebab huruf ba’ itu terletak di urutan kedua setelah huruf alif yang menjadi simbol dari dzat Allah SWT. Maka huruf ba’ sejatinya simbol dari maujud (ciptaan) pertama. Sedangkan alif yang menjadi dasar huruf hijaiyah, merupakan dasar yang menggambarkan alam-alam utama (ummahat al-'awalim), yaitu: alam al-jabarut, alam al-malakut, al-'arsy, kursi, tujuh langit, empat anasir dan tiga tempat terlahirnya seluruh elemen-elemen materiil di alam semesta.

Berangkat dari penjelasan di atas, ayat Alif Lam Mim dalam tafsir Ibnu Arabi adalah simbol ontologis dari seluruh ‘yang ada’ di alam semesta. Pertama, huruf alif mengisyaratkan kepada dzat Allah yang merupakan wujud (‘ada’) yang pertama di alam semesta. Hal itu didasarkan dari penjelasan di atas bahwa alif adalah dasar dari seluruh huruf hijaiyah. Termasuk kata ‘Allah’ itu sendiri juga berangkat dari alif. Kedua, huruf lam mengisyaratkan pada Al-'Aql Al-Fa’al, yaitu malaikat Jibril. Dalam filsafat Islam, term Al-'Aql Al-Fa’al  bermakna wujud (entitas) yang memperantarai antara Tuhan dan makhluk. Sebab tidak ada entitas materiil yang mampu secara langsung bersumber terhadap dzat Tuhan yang imateriel. Maka Al-'Aql Al-Fa’al berfungsi menjadi perantara. Al-'Aql Al-Fa’al  adalah ciptaan pertama Allah, yang melaluinya Allah menciptakan alam semesta.

Selain bermakna Al-'Aql Al-Fa’al , huruf lam juga memiliki tafsir lain. Lam hakikatnya adalah dua alif yang disatukan. Hal ini bermakna huruf tersebut mulanya diletakkan sebagai simbol dzat Allah dan sifat ilmu-Nya. Sebab keduanya adalah kedua, dari tiga dunia aspek ketuhanan (Dzat, Sifat, Af’al). Dan setiap nama Tuhan itu adalah isyarat dari dzat dan sifatnya yang tertentu.

Ketiga, huruf mim mengisyaratkan terhadap Nabi Muhammad yang merupakan akhir wujud paripurna di alam semesta. Keberadaannya menjadi penyempurna dari seluruh ‘yang ada’ di dalam alam semesta. Ia juga penyambung antara awal dan akhir seluruh yang ada. Khatam An-Nabiyyin dalam perspektif Ibnu Arabi adalah Khatam Al-Wujud: akhir sekaligus penyempurna dari wujud. Sebagaimana hadis Nabi, “Sesungguhnya zaman itu berputar sebagaimana ketika Allah menciptakan langit dan bumi”. Selain itu, mim juga mengisyaratkan terhadap dzat Allah beserta seluruh sifat dan tindakan yang terhijab lalu menjelma dalam sosok Muhammad (Ash-Shurah Al-Muhammadiyyah). Sehingga Nabi Muhammad SAW tidak lain adalah tajalli paling sempurna —Insan Kamil dalam istilah Ibnu Arabi— dari Allah SWT.

Ibnu Arabi juga menukil sebuah pendapat yang menafsirkan Alif Lam Mim dengan, “Al-Qasam billahi al-‘alimi al-hakîm”. Yang artinya, “Bersumpah atas dzat Allah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. Sifat Al-'Alim itu representasinya adalah malaikat Jibril, sebab kata Ibnu Arabi, Jibrillah yang menjadi tajalli dari sifat tersebut. Sedang Nabi Muhammad menjadi representasi dari sifat Al-Hakim. Al-Hakim di sini bermakna dunia sebab-akibat (materiil), oleh sebab itu syahadat dalam Islam harus dikaitkan dengan Nabi Muhammad berdasar dari pemahaman ini.

Perangkat Ilmu Bahasa Arab yang Wajib Dikuasai Dai
Apa jadinya jika seorang dai tidak menguasai bahasa Arab dan perangkatnya?

Terakhir Ibnu Arabi memungkasi bahwa ayat “Alif Lam Mim, dzalikal kitabu la raiba fihi” bermakna: alif lam mim, itulah kitab yang dijanjikan: yaitu gambaran seluruh alam semesta yang diisyaratkan dengan kitab Al-Jufr (papan tulis Qadha’ Allah) dan Al-Jami'ah (papan tulis Qadar Allah) yang mencakup segala sesuatu. Dengan demikian, kitab yang dimaksud dalam ayat tersebut menurut Ibnu Arabi, bukan hanya Al-Quran, melainkan juga kitab semesta yang Allah tulis di dalamnya takdir seluruh umat manusia. Maka dengan hal ini, tidak ada seorangpun yang bisa membaca kitab tersebut secara hakiki, kecuali Allah. Ia-lah pembaca hakiki dari kitab semesta tersebut. Sebuah kitab yang telah mencakup sesuatu yang telah ada (Al-Jufr) dan yang akan ada (Al-Jami'ah).

Dari pemaparan di atas, saya mengambil kesimpulan bahwa Alif Lam Mim tak sekadar huruf muqatha’ah yang hanya terucap saja. Melainkan ia merupakan ayat ontologis yang melampaui makna, adalah simbol dari ketiga wujud paling esensial di dalam semesta: Allah, Jibril, dan Muhammad. Allah sebagai ‘ada’ yang paling hakiki, wujud yang menciptakan maujud. Jibril menjadi perantara dan Muhammad adalah ‘yang ada’ yang paling paripurna. Maka membacanya sama saja dengan membaca semesta. Memahaminya adalah upaya menerka tajalli Gusti Allah, seraya berharap tersingkapnya tabir yang menghalangi antara makna dan wujud. Dan usaha-usaha ini —yang benar-benar perlu diingat— hanya bisa dihayati dengan kesadaran intuitif yang utuh. Akal tidak akan mampu untuk memahaminya, maka dengan intuisi akal bisa mengarungi samudera makna ketuhanan yang tak terbatas.


Baca juga artikel lain di rubrik ISLAMUNA atau tulisan menarik Lukman Hakim Rohim

Latest