Tahun Baru, Tahun Lalu, dan Resolusi

Hiruk pikuk tahun baru 2023 masih terasa, beberapa dari kita mencoba membangun resolusi untuk menyongsong perubahan pada bulan-bulan berikutnya. Sebenarnya, apa yang spesial dari tahun baru? Mengapa banyak orang yang berusaha untuk meresolusi aktivitasnya?

Tahun baru tak lebih dari hari-hari biasa yang secara kebetulan menandai peralihan satu tahun ke tahun berikutnya. Ia tampak spesial karena di dalamnya memuat sebuah momentum kebaruan dari suatu hal yang tampak lawas. Nuansa kebaruan ini yang kemudian mendorong orang-orang untuk menerjemahkannya ke dalam berbagai perayaan, mulai dari bakar-bakar hingga pesta kembang api. Hal ini karena ‘baru’ dapat bermakna kebebasan, solusi, dan harapan, serta semangat. Sedang kata ‘lawas’ berkonotasi dengan segala hal yang bersifat rutinitas, pakem, kaku, dan membosankan.

Wajah Baru Perpustakaan di Masjid Al-Azhar
Al-Azhar kembali membuka perpustakaan di masjid. Seperti di masa awal Perpustakaan Al-Azhar Pusat, perpustakaan ini tempati 2 titik dekat gerbang.

‘Tahun baru’ dan ‘tahun lalu’,  adalah istilah mendalam yang menuntut untuk dimaknai secara tepat. Hal ini karena dua istilah tersebut tidak sekadar bermakna sekumpulan hari-hari dalam rentang 12 bulan. Tetapi juga sekumpulan momentum, aktivitas, problem yang mengisi tiap-tiap satuan detik, menit, jam, hari, minggu, hingga bulan-bulan di dalamnya. Tahun yang ‘ber-lalu’ dengan demikian berisi sekumpulan hal yang kita alami dan lalui dalam rentang satu tahun. Sedangkan tahun yang ‘baru’ adalah segenap aktivitas yang diproyeksikan ke depan. Hubungan antara dua hal ini dipertegas oleh Allah dalam Surah Al-Hasyr [59]:18:

Ya ayyuhalladzina amanuttaqullah wal tanzur nafsun ma qaddamat li ghadin wattaqullah, innallaha khabirun bima ta’malun

"Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah, dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa-apa yang telah ia lakukan sebelumnya untuk hari esok, dan bertakwalah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa-apa yang kalian perbuat."

Ayat ringkas di atas memuat pesan yang mendalam terkait bagaimana kita harus memperhatikan segala hal yang telah berlalu (ma qaddamat) untuk menentukan perbuatan yang dituju ke depan (ghad). Dalam bahasa lain, sesuatu yang hendak dicapai pada ‘tahun yang baru’ tidak akan diperoleh kecuali kita telah terlebih dahulu membangun kesadaran tentang apa-apa yang telah terjadi di ‘tahun yang lalu’. Dari serangkain momentum yang mendahului tersebut, kita dapat merancang momen di masa-masa yang akan datang.

Spirit Isra Mi’raj dalam Menyelamatkan Bumi
Di bulan Rajab yang mulia, Rasul mendapatkan hadiah Isra Mi’raj. Dari perjalanan besar ini terdapat kunci umat manusia untuk menyelamatkan bumi.

Ajaran Al-Quran ingin menegaskan, bahwa resolusi yang tepat dalam menyambut bulan-bulan yang akan datang mestinya bertolak dari apa-apa yang telah dikerjakan sebelumnya. Secara praktis, resolusi untuk meningkatkan kualitas keilmuan, misalnya, harus bertolak dari satu kondisi di mana kita merasa kurang berkualitas pada aspek tersebut. Tanpa adanya perasaan ‘kurang’ tersebut, maka resolusi atasnya tidak akan tercapai. Demikian pula dalam aspek-aspek lain dalam kehidupan yang dicoba untuk diresolusi, semuanya harus berangkat dari introspeksi mendalam serta daya kritik atas diri sendiri sehingga kita dapat melakukan resolusi yang baik. Hal ini karena resolusi tidak akan dicapai, kecuali kita mengetahui problemnya sebagai prasyarat.

Ada pula penjelasan Ibnu ‘Asyur (w. 1393 H) dalam At-Tahrir wa At-Tanwir yang mengatakan bahwa ayat ini menekankan agar seseorang memperhatikan setiap perbuatan mereka secara cermat agar memberi nilai bagi fase kehidupan yang akan datang (baca: hari kiamat). Hal ini karena kata qaddama bermakna ‘upaya mencari manfaat’ dari sebuah tindakan bagi suatu masa yang dekat. Dan di dalam Islam masa yang tersebut adalah ketika manusia kembali kepada-Nya. Dari penjelasan ini, sebuah resolusi tidak hanya proyeksi akan hal-hal yang bersifat duniawi semata, melainkan juga memiliki visi ukhrawi yang tak kalah penting.

Al-Quran

Kumpulan tulisan dengan kata kunci Al-Quran dan cabang ilmunya bisa teman-teman temukan

di sini

Dari ayat di atas, Al-Quran menghubungkan antara frasa ma qaddamat dan ghad dengan menghadirkan dua pesan takwa. Kata takwa sendiri memiliki makna ‘menghindar/bersembunyi’ dari sebuah keburukan. Menurut Ibnu Athiyyah (w. 546 H) di  dalam Al-Muharrar Al-Wajiz, perintah takwa yang pertama dalam ayat ini bermakna ketakwaan yang dapat mengantarkan seseorang untuk  melakukan penglihatan jernih atas setiap perbuatan mereka. Makna ini berbicara terkait introspeksi yang dilakukan seseorang, di mana ia harus memiliki ketakwaan sebagai dasar dalam melakukan koreksi dan penilaian atas segala perbuatan yang telah dilakukan. Dengan takwa tersebut, maka ia dapat mengkritisi diri serta melakukan resolusi atas perbuatan-perbuatan buruknya sehingga dapat terhindar dari berbagai hal yang dapat membahayakan kehidupannya.

Sedangkan perintah takwa yang kedua dalam ayat ini adalah sebuah kondisi setelah seseorang melakukan introspeksi atas segala hal yang berlalu. Dengan melakukan koreksi dan penilaian atas diri sendiri, hal ini seharusnya dapat mendorong resolusi yang dilakukan ke depan. Namun, Al-Quran menegaskan bahwa resolusi tersebut harus mampu mewujudkan nilai-nilai ketakwaan kepada Allah pada akhirnya. Dengan demikian, takwa memiliki dua fungsi sekaligus dalam proses resolusi yang hendak dilakukan oleh seseorang. Pertama, takwa sebagai pengarah dari sebuah resolusi yang diproyeksikan. Kedua, takwa sebagai tujuan akhir dari resolusi tersebut.

Menyoal Antroposentrisme dan Islam
Antroposentrisme dipandang sebagai biang keladi rusaknya lingkungan hidup. Cara pandang ekosentris pun ditawarkan. Lantas di manakah posisi Islam?

Pentingnya peran takwa di dalam sebuah resolusi di tahun baru tidak hanya bernuansa religius dalam pengertian yang selama ini dikenal luas. Tapi lebih jauh, takwa dapat dimaknai sebagai sebuah sikap memberi makna bagi segala aktivitas yang hendak dikerjakan oleh seseorang dalam waktu-waktu yang akan datang. Dalam hal ini, ketakwaan harus memiliki fungsi pengarah dan pengaruh. Dengan bahasa lain, takwa harus mengarahkan sebuah resolusi tahun baru untuk memperoleh makna takwa yang sebenarnya, yakni terlindung dari perbuatan buruk yang diakibatkan oleh kecerobohan dirinya sendiri dalam berbuat, menentukan pilihan, atau hal-hal lain yang akan dikerjakan di bulan-bulan berikutnya. Dengan demikian, resolusi terbaik di tahun ini adalah resolusi yang dapat menghindarkan kita dari keburukan dan kecerobohan diri dalam menjalani aktivitas sehari-hari. Demikian pesan tegas Al-Quran dalam Surah Al-Isra’ [17]:7:

In ahsantum ahsantum li anfusikum, wa in asa’tum falaha

"Jika kalian berbuat baik, maka perbuatan itu untuk diri kalian sediri. Demikian pula jika kalian berbuat buruk, maka keburukan itu juga kembali ke diri sendiri."


💡
Baca juga artikel lain di rubrik ISLAMUNA atau tulisan menarik M Hasani Mubarak