Teladan Kebajikan dari Syekh Ahmad Ad-Dardir, Pengarang Al-Kharidah Al-Bahiyyah

Syahdan, tersebutlah seorang ulama Al-Azhar bernama Syekh Ahmad Ad-Dardir (1127-1201 H), sosok alim nan masyhur detik ini. Karya-karya tulisnya senantiasa diajarkan dari masa ke masa, tak terkecuali di Al-Azhar dan Nusantara. Khususnya nazam anggitannya yang berjudul Al-Kharidah Al-Bahiyyah dalam ilmu tauhid. Jika melihat kehidupannya dulu dari buku-buku sejarah, ia tak hanya seorang tokoh agama, namun juga tokoh revolusioner di kalangan masyarakat setempat. Dari banyaknya perjalanan hidup yang ia lalui, ada satu kisah yang menurut penulis sangat menarik untuk ditulis pada oretan kali ini. Yakni tentang kezuhudan, kedermawanan, dan kebaikan hatinya terhadap sesamanya.

Namun, sebelum membaca kisah mengenai kebaikan yang terpatri dalam sosok bernama lengkap Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin Abu Hamid Ad-Dardir ini, alangkah baiknya kita menggali tentang kepribadiannya. Masa kecilnya, ia lalui bersama sang ayah, Syekh Muhammad Ad-Dardir. Ia dididik langsung olehnya. Kepadanya ia belajar Al-Quran, menghafal, dan menyempurnakan tajwidnya.

Ayahnya benar-benar menjadi panutan bagi diri Ahmad Ad-Dardir kecil. Kegiatan sehari-hari sang ayah diisi dengan mengajarkan Al-Quran anak-anak di kampung. Banyak yang belajar kepadanya. Ayahnya sendiri tidak mengambil upah sedikitpun dari apa yang ia ajarkan, bahkan ialah yang justru banyak memberi. Teladan ini juga tak surut kala di desa sedang terjadi krisis. Kehidupan di desa diambang kesusahan, begitupun dengan keluarganya. Kendati demikian, ayahnya tetap berusaha berbagi kepada masyarakat, sebagaimana kisah ini direkam sendiri oleh Ad-Dardir dalam kitab Aqrab Al-Masalik miliknya.

Dari didikan inilah rasanya yang menjadikan sosok Ahmad Ad-Dardir kala dewasa seperti ayahnya: dermawan, zuhud, dan mementingkan orang lain sebelum dirinya.

Sebagaimana dikisahkan oleh sejarawan Abdurrahman Al-Jabarti dalam ‘Aja'ib Al-Atsar miliknya, pada masa itu, Sultan Muhammad III, sultan Maghrib kala itu (menjabat: 1171 - 1204 H) senantiasa mengirimkan hadiah kepada ulama Al-Azhar, penjaga makam, dan penduduk Haramain. Hal ini terus-menerus ia lakukan selama beberapa tahun.

Pada tahun 1198 H, seperti biasa ia mengirimkan hadiah. Pada tahun ini, Syekh Ahmad Ad-Dardir masuk dalam daftar ulama yang mendapatkan bagian. Hanya saja, sepulangnya sultan dari ibadah haji saat itu, anaknya tertinggal. Sang anak pun menetap di Mesir selama beberapa waktu, hingga perbekalannya habis tak tersisa.

Pada saat hadiah tiba di Mesir, anak sultan juga sedang membutuhkan itu. Ia pun berusaha keras mengambil jatah hadiah dari orang-orang yang mendapatkan bagian. Namun semuanya menolak. Ia terus melakukan itu pada beberapa orang yang mendapatkannya, hingga keaadaan menjadi viral. Beberapa orang yang mendapatkan bagian kemudian melaporkan hal ini kepada Syekh Ahmad Ad-Dardir.

Bukannya mendapatkan pembelaan, Syekh Ahmad Ad-Dardir justru menjawab, “Demi Allah, hal ini sangat tidak pantas! Bagaimana bisa kita bisa bersenang-senang denga hadiah ini padahal kita orang asing bagi sultan, namun anaknya sendiri terlunta-lunta tidak mendapatkan apapun. Ia lebih berhak dariku. Berikan saja bagianku untuknya.”

Ketika orang lain lebih mementingkan dirinya sendiri tanpa menghiraukan anak sultan yang kelaparan, berbeda dengan Syekh Ahmad Ad-Dardir. Ia justru melihat dari sisi yang lain. Meski secara logika, hadiah itu sudah menjadi haknya.

Al-Azhar

Sepilihan tulisan yang mengisahkan sejarah Al-Azhar dapat teman-teman temukan

di sini

Ketika utusan sultan kembali pulang dari mengantarkan hadiah, ia lantas melaporkan apa yang telah dilakukan oleh Syekh Ahmad Ad-Dardir terhadap anaknya. Sang sultan pun sangat berterima kasih akan hal itu, memujinya, seraya meyakini akan kebaikan sosoknya. Maka pada tahun berikutnya, sultan memberikan hadiah 10 kali lipat dari sebelumnya khusus untuk Syekh Ahmad Ad-Dardir, sebagai ganjaran atas perbuatan baiknya.

Syekh Ahmad Ad-Dardir pun menerima hal itu. Dari hadiah itu pulalah ia pergi berhaji. Setelah kepulangan, ia kemudian membangun zawiyah (tempat beribadah dan khalwat)-nya dengan sisa hadiah tersebut.

Jika mengikuti cerita yang disampaikan oleh Syekh Shalih Syaraf (anggota Ha'iah Kibar Al-‘Ulama di Al-Azhar tempo dulu) dalam bukunya yang berjudul Asy-Syaikh Ahmad Ad-Dardir wa Atsaruhu fi ‘Ilm Al-Kalam, bahwa tempat berdirinya zawiyah yang dibangun pada mulanya adalah tempat pembuangan sampah, dan Syekh Ahmad Ad-Dardir tinggal di sekitaran situ. Suatu hari, ia pergi berjalan bersama gurunya, Syekh Ali Ash-Sha’idi dan berhenti di gundukan sampah itu.

“Nanti, tempat ini akan menjadi masjidmu, wahai Ahmad, bi idznillah.” ujar Syekh Ali Ash-Sha’idi.

Jika digabungkan dengan kisah sang sultan sebelumnya, akhirnya zawiyah tempat ia beribadah pun benar-benar terwujud. Hingga kini, tempat ini menjadi masjid dan dijadikan tempat salat, sekaligus tujuan berziarah, di mana ia dimakamkan kelak pada akhir hayatnya. Bisa saja, keberkahan dan kebaikannya kala hidup dahulu membuat pusaranya menjadi tempat berziarah yang selalu ramai oleh para peziarah di tiap-tiap masa. Semoga Allah senantiasa merahmatinya, begitupun kepada semua ulama Al-Azhar, yang senantiasa menjadi figur kebaikan kepada manusia.


💡
Baca juga artikel lain di rubrik BUDAYA atau tulisan menarik Amirul Mukminin