Tradisi Pernikahan Paling Tua di Dunia

Masyarakat Mesir dikenal sebagai masyarakat yang kuat memegang adat istiadat peninggalan nenek moyangnya. Sampai saat ini, mereka masih melakukan berbagai ritual adat dan kebiasaan zaman dahulu.

Suatu ketika, saya mendapat kesempatan untuk menghadiri pernikahan salah seorang teman di sebuah hotel. Saya tentu saja antusias untuk datang. Selain karena diundang oleh teman dekat saya juga penasaran seperti apa resepsi pernikahan ala Mesir.

Begitu sampai di tempat pesta, ternyata saya tidak langsung bisa duduk. Saya melihat pengantin putri didampingi oleh ayahnya berjalan menuruni tangga menuju tempat pesta di lantai dasar. Di sana pengantin pria dan keluarganya sudah menunggu. Kemudian, mereka dipertemukan, lalu bergandengan tangan dan berjalan sambil memberi salam lewat anggukan kepala kepada tamu undangan yang hadir. Terkadang kedua mempelai menari diikuti iringan musik, sesekali menghadap kamera yang tak henti-hentinya menyorot mereka. Eksis, ni ye … hehehe.

Ternyata setelah sang pengantin masuk, para tamu baru mulai dipersilakan menuju hall. Sama seperti di Indonesia juga nih. Saya yang datang bersama seorang teman asli Mesir lalu menuju salah satu meja paling depan. Di sana sudah terhidang kue ringan dan gelas kosong. Tak lama, minuman pun datang. Sambil menikmati minuman dan makanan yang ada, saya bertanya kepada seorang teman, “Di Islam, kan, tidak ada adat memakai cincin, tetapi di Mesir itu sangat populer. Memangnya, Mesir mengikuti budaya Barat?”

Teman saya terdiam sambil menatap tajam, “Berarti, kamu belum tahu banyak tentang Mesir, ya. Mesir adalah negara peradaban. Mesir sudah mengenal teknologi yang sangat maju sejak tujuh ribu tahun lalu.”

Di Balik Penamaan Masjid Al-Azhar
Sejarah Al-Azhar yang panjang menyimpan sejumlah versi di balik penamaannya.

“Ya, saya tahu, sejarah Mesir sudah maju sejak 7000 tahun yang lalu. Apa itu artinya adat pernikahan juga masih diwarisi hingga abad ke-21 Masehi ini?” sanggah saya dengan cepat.

Sambil menurunkan gelas dari mulutnya, teman saya menjawab perlahan, tetapi cukup jelas, “Jangan dikira bahwa adat pernikahan Mesir ini meniru adat bangsa lain. Tapi, sebaliknya, bangsa lainlah yang meniru adat Mesir.”

Sepertinya, dia sedikit tersinggung dengan pertanyaan saya tadi.

“Eh, ceritakan dong, sekilas adat pernikahan dari Mesir ini?” tanya saya ingin tahu.

Sambil menyodorkan kue batofore khas Mesir, dia menjawab, “Mesir adalah yang pertama mengenal ritual pernikahan dan meletakkan syarat-syarat. Zaman Firaun, pernikahan diawali dengan memasangkan cincin di jari tangan sebelah kanan. Cincin terbuat dari emas, persis seperti yang saat ini dikenal dengan pertunangan.”

“Oh, ya. Lalu, mengapa harus cincin yang dijadikan tanda pertunangan? Apa makna khususnya?”

“Cincin adalah sebuah lingkaran yang tidak berujung, tidak ada awal dan tidak juga ada akhirnya. Itu perlambang hubungan abadi yang didasari tanggung jawab dan keikhlasan.” Sambil melirik kedua mempelai yang sedang memasuki ruangan, teman saya menambahkan, “Setelah pernikahan diresmikan, cincin pindah dari jari tangan kiri ke jari tangan kanan. Itu mengikuti ajaran Tuhan yang diyakini oleh masyarakat Mesir zaman itu.”

Saya mencoba melanjutkan diskusi ini, “Kalau penghulu, itu bagian dari sejarah Mesir atau adat Islam?”

“Apa kamu pernah menemukan bahwa salah satu syarat atau rukun pernikahan itu harus ada penghulu?” dia balik bertanya. Sejenak saya mengingat-ingat, lalu saya menggelengkan kepala.

“Penghulu itu juga adat zaman Firaun. Pada zaman Mesir Kuno dulu, pendeta memerintahkan penghulu untuk memandu pernikahan suci antara kedua mempelai. Persis seperti sekarang, setelah ritual akad nikah selesai, penghulu lalu mencatat berita acara pernikahan dalam tiga rangkap, satu untuk kedua mempelai, satu untuk penghulu sendiri, dan satu lagi untuk disimpan di arsip negara.”

Kami mulai agak terganggu dengan musik yang didengungkan. Saat itu mempelai pria dan wanita sudah duduk di pelaminan didampingi oleh masing-masing keluarga dekatnya.

Asal Muasal Beragama yang Sewajarnya
Menarik benang merah penyebab terjadiya ghuluw (berlebihan) dalam kehidupan beragama.

Teman saya membisikkan, “Prosesi seperti ini juga sudah ada sejak zaman Firaun. Biasanya hiasan utamanya adalah bunga jasmine. Menurut mereka, bau bunga jasmine seperti bau surga. Biasanya bunga jasmine ditempatkan di kursi pelaminan.”

Saya menyaksikan prosesi pemotongan kue tar yang berbentuk menara. Setelah itu, kedua mempelai turun dari pelaminan. Mereka menari mengikuti irama musik bersama keluarga dan teman-teman yang hadir. Sedangkan, para undangan lainnya memberikan semangat dengan bertepuk tangan.

Budaya menari ini tergolong baru di Mesir. Dua atau tiga dekade yang lalu, pesta pernikahan, baik di rumah maupun di hotel, lebih mengutamakan keanggunan pengantin, termasuk perilaku pengantin saat pesta. Tidak sedikit calon pengantin yang melakukan gladi bersih sebelum pesta diselenggarakan. Saat itu, mereka sangat detail dalam memperhatikan cara berjalan, mengarahkan pandangan, melempar senyuman. Semuanya diperagakan dalam gladi bersih. Mereka tidak mau ada kesalahan saat pesta berlangsung. Mereka juga mengundang penari, penyanyi, dan grup musik untuk mengiringi pesta.

Akan tetapi, belakangan ini, mereka memilih tidak mengundang penari dan penyanyi karena harganya cukup mahal. Mereka juga tidak mengutamakan keanggunan lagi sehingga mempelai bisa menari sepuasnya dengan tarian mereka sendiri. Pesta ini biasanya berlangsung hingga larut malam.

Setelah beberapa kali menghadiri undangan pernikahan teman-teman di Mesir, saya melihat setidaknya ada tiga jenis pesta perayaan pernikahan.

Pertama, kalangan orang kaya, biasanya mereka masih mengikuti adat lama, yaitu diadakan di hotel berbintang, mengundang penyanyi kelas tinggi, juga penari dan pemusik terkenal.

Kami Ini Belukar yang Gegar Berkibar
Dua puisi pilihan Ahmad Muhakam Zein

Kedua, keluarga dari kelompok menengah ke bawah, mereka biasanya mengadakannya di rumah atau di hotel yang tidak terlalu megah. Mereka tidak mengundang penyanyi maupun penari, tetapi merayakan dengan musik dan tarian di antara mereka sendiri.

Ketiga, yang mereka namakan pesta secara Islami, biasanya diadakan di aula milik masjid-masjid besar di Mesir. Di sini tamu pria dan wanita dipisah, demikian juga dengan pengantin. Tamu yang hadir, kalau bisa yang pria tidak dapat mengetahui pengantin wanita, demikian sebaliknya. Mereka berpesta dengan cara mereka sendiri.

Satu hal yang menarik, bahkan waktu kali pertama saya melihatnya pun sangat surprise, yaitu ketika pengantin diarak dengan mobil, keliling kota, dan berakhir di Sungai Nil. Sepanjang jalan, mobil yang dihias bunga ini tidak berhenti membunyikan klakson. Jika pengiringnya lebih dari lima mobil, suasananya biasanya lebih ramai karena semua membunyikan klakson. Sedangkan, penumpang yang ada di dalam mobil bertepuk tangan sambil berjoget-joget. Bahkan, mereka duduk di jendela mobil sehingga mobil berjalan dengan kecepatan rendah dan lagi-lagi menimbulkan kemacetan di jalan.

*Cuplikan buku penulis berjudul Shocking Egypt, Bentang Pustaka, Yogyakarta, 2013.


Baca juga artikel lain di rubrik BUDAYA atau tulisan menarik Muhlashon Jalaluddin