Ulama Al-Azhar Pertama yang Sampai di Nusantara

Melakukan perjalanan merupakan bagian dari ajaran Islam. Hal ini dibuktikan dengan adanya perintah untuk melakukan perjalanan dalam Al-Quran. Bahkan, salah satu rukun Islam hanya bisa dilaksanakan dengan cara melakukan perjalanan, yakni ibadah haji.

Dalam masalah safar, agama Islam memberikan aturan-aturan khusus. Ia juga membagi macam-macam perjalanan sesuai dengan niat dan tujuan. Bahkan perjalanan yang didasari dengan niat dan tujuan yang baik bisa mengundang rukhshah (keringanan).

Hal-hal di atas bisa jadi adalah salah satu motivasi para pelancong dari kalangan umat Islam yang berhasil menempuh jarak ratusan ribu kilometer perjalanan. Mereka berhasil mengarungi samudera, melewati padang pasir hingga mengelilingi dunia. Setelah itu, mereka membagikan pengalaman perjalanannya lewat lisan maupun tulisan.

Bijak Bermedia di Era Kiwari
Teknologi semakin maju dan arus informasi begitu deras. Kita perlu menyiapkan formulasi agar tidak terjebak atau terbawa arus menyesatkan.

Sebut saja Ibnu Bathuthah. Ulama Maroko yang hidup pada abad ke-14 Masehi. Beliau berhasil melawat dari benua Afrika, Eropa, Asia hingga ke Asia Tenggara dan Cina. Motif utamanya adalah melaksanakan ibadah haji. Kemudian melanjutkan perjalanan hingga sampai ke berbagai benua selama 24 tahun. Setelah itu, beliau mendiktekan pengalamannya sehingga lahirlah kitab yang berjudul "Rihlah Ibnu Bathuthah".

Hal menarik yang saya tuliskan kali ini adalah perjalanan sosok Ali bin Umar Al-Qinawi. Beliau merupakan seorang ulama Al-Azhar di Mesir yang berhasil menapakkan kakinya di Kepulauan Nusantara. Bisa jadi, beliau adalah ulama Mesir pertama yang sampai di Nusantara.

Ia bernama lengkap Ali bin Umar bin Muhammad Al-Qinawi Al-Husaini (wafat 1198 H). Nisbat Al-Qinawi merujuk kepada tempat kelahirannya, yakni Kota Qina. Sedang Al-Husaini merupakan nisbat kepada Sayidina Al-Husain.

Ia lahir di Qina, sebuah provinsi di Mesir selatan. Salah satu moyangnya, yakni Syekh Abdurrahim Al-Qinawi (wafat 592 H) berasal dari Maroko. Beliau merupakan wali besar di zamannya dan nasabnya sampai kepada Sayidina Husein.

Setelah mempelajari dasar-dasar keilmuan di Qina, Ali bin Umar datang ke Kairo untuk mengarungi samudera keilmuan di Al-Azhar. Ia belajar kepada banyak ulama, di antaranya adalah Syekhul-Azhar Muhammad bin Salim Al-Hifni (1100-1181 H). Tidak hanya belajar ilmu syariat, ia juga berbaiat Tarekat Al-Khalwatiyyah kepada Syekh Al-Hifni.

Setelah dirasa cukup, beliau memutuskan untuk melakukan perjalanan. Bahkan Al-Jabarti dalam 'Ajaibul Atsar membahasakannya dengan cukup detail, "Kemudian (setelah baiat), rasa cinta untuk melakukan perjalanan menghinggapinya". Berarti perjalanan yang beliau lakukan memang dilandasi dengan kegemaran dan cinta, bukan karena terpaksa. Sementara Al-Ahdal dalam kitab An-Nafas Al-Yamani menyebutkan bahwa Syekh Ali Al-Qinawi diutus langsung oleh sang guru, yakni Syekhul-Azhar Al-Hifni untuk menyebarkan Tarekat Al-Khalwatiyyah ke penjuru dunia. Perjalanan ini bermula dari tahun 1162 H (1749 M) sebagaimana disebutkan oleh Al-Jabarti.

Mula-mula, sebagaimana disebut oleh Al-Jabarti, beliau mendatangi Al-Haramain (Makkah dan Madinah). Kemudian dari Jeddah, beliau naik kapal menuju Surat, sebuah pesisir di India yang berdekatan dengan Gujarat. Perjalanan ini dilanjutkan sampai ke Bashrah dan Baghdad. Di kedua kota ini, beliau menziarahi makam para wali terkhusus Makam Sayidina Ali bin Abi Thalib RA yang merupakan datuknya.

Setelah selesai berkelana di Tanah Arab, Syekh Ali Al-Qinawi melanjutkan lawatannya ke Khurasan. Dari Khurasan, perjalanan dilanjutkan menuju Ghaznah, Kabul, dan Kandahar. Tiga wilayah ini sekarang merupakan wilayah negara Afghanistan. Di sini, beliau menghadap kepada Sultan Ahmad Shah. Sang sultan memuliakan beliau dan memberikan banyak hadiah serta memberi perbekalan yang cukup.

Setelah cukup mengembara di Khurasan dan Afghanistan, Syekh Al-Qinawi kembali lagi ke Al-Haramain. Setelah itu, beliau naik kapal langsung menuju ke Ceylon (Sri Lanka). Beliau lalu mengarahkan perjalanannya ke India dan kawasan Asia Tenggara. Dari Sri Lanka, beliau menuju ke Banaras, sebuah kota suci bagi umat Hindu yang setara dengan Makkah bagi umat Islam. Di sini, beliau menemui sultan yang berkuasa saat itu.

Pada puncaknya, Syekh Ali Al-Qinawi melanjutkan perjalanan dari India menuju Kepulauan Nusantara. Mungkin perjalanan ini ditempuh selama 14 hari sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Ibnu Bathuthah. Diperkirakan juga beliau sempat berkunjung ke kerajaan-kerajaan Islam yang ada di Nusantara.

Dari Nusantara, Syekh Ali Al-Qinawi menuju Al-Haramain, Yaman, Shan'a, Zabid, kembali ke Al-Haramain dan kemudian pulang ke Mesir pada tahun 1182 H (1768 M). Di Zabid, beliau mengadakan halakah zikir sesuai dengan amalan Tarekat Al-Khalwatiyyah. Para pemuka Zabid juga sangat memuliakan beliau dan mereka merasakan kenyamanan dengan keberadaannya.

Tetokoh

Sepilihan riwayat hidup para tokoh dapat teman-teman temukan

di sini

Syekh Al-Qinawi melakukan perjalanan yang pertama kurang lebih 20 tahun. Hal ini dihitung dari awal perjalanannya pada tahun 1162 H (1749 M) sampai tahun 1182 H (1768 M). Pastinya beliau mendapatkan banyak sekali pengalaman dan informasi langka yang tidak diketahui oleh orang lain.

Di penghujung akhir tahun 1182 H, Syekh Al-Qinawi kembali melawat ke Sha'id, wilayah Mesir bagian selatan. Kemudian berlanjut ke Jeddah, kembali ke Mesir dan melawat kembali ke Al-Haramain. Kemudian perjalanannya dilanjutkan ke Yaman, Shan'a dan kembali lagi ke Yaman. Di Yaman dan Zabid, beliau menjadi sangat terkenal. Banyak para pemuka yang berbaiat Tarekat Al-Khalwatiyyah kepada beliau. Bahkan para muslim berpaham Zaidiyyah yang sebelumnya tidak mengenal zikir dan tarekat berbondong-bondong mendatangi majelis zikir yang diselenggarakannya.

Dari Zabid, Syekh Ali Al-Qinawi kembali ke Jeddah kemudian berlanjut ke Suez. Pada akhirnya, beliau sampai di Kairo pada tahun 1194 H. Beliau singgah dan menetap di kawasan Al-Jamaliyyah, Kairo.

Bisa disimpulkan bahwa dalam perjalanan yang kedua kali, Syekh Ali Al-Qinawi menghabiskan waktu 12 tahun. Jika ditotal dengan perjalanan pertama, seluruh waktu perjalanannya adalah 32 tahun. Waktu perjalanan ini melebihi waktu pengembaraan Ibnu Bathuthah.

Di Mesir, Syekh Ali Al-Qinawi menghabiskan hari-harinya dengan beribadah, berzikir dan membagikan pengalaman perjalanan yang telah beliau lalui. Di antara ulama-ulama terkemuka yang berkunjung ke kediamannya adalah Syekh Murtadha Az-Zabidi dan Syekh Abdurrahman Al-Jabarti. Nama terakhir adalah yang menjadi sumber utama dalamcerita perjalanan beliau ini.

Setelah menetap kurang lebih empat tahun di Kairo, Syekh Ali Al-Qinawi menghembuskan nafas terakhirnya. Beliau wafat pada malam Selasa 1 Jumadilawal 1198 H. Jenazah beliau disalatkan di Masjid Al-Azhar dan kemudian dimakamkan di Zawiyah Syekh Al-Hifni di Qarafah Mujawirin.

Dari kisah perjalanan Syekh Al-Qinawi bisa diambil kesimpulan bahwa beliau adalah sosok ulama yang sangat semangat dalam berdakwah. Di samping sebagai dai, beliau juga seorang khalifah Tarekat Al-Khalwatiyah dari Syekhul-Azhar Muhammad bin Salim Al-Hifni. Hal ini dibuktikan dengan berbondong-bondongnya ulama Zabid berbaiat kepadanya.

Kegemarannya dalam mengembara mungkin diwarisinya dari leluhurnya, yakni Syekh Abdurrahim Al-Qinawi. Beliau mengembara dari Maroko, Syam, Al-Haramain hingga bertemu dengan Syekh Majduddin Al-Qusyairi, kakek Syekh Ibnu Daqiq Al-'Id. Kemudian Syekh Majduddin membawa Syekh Abdurrahim ke Qush untuk berdakwah. Pada akhirnya, Syekh Abdurrahim lebih memilih Qina sebagai tempat dakwahnya sebab masyarakat Qina dirasa lebih membutuhkan bimbingan dibanding penduduk Qush.

Pada tahun 1162 H, tahun di saat Syekh Ali Al-Qinawi pertama kali melakukan perjalanan, Riwaq Al-Jawiyyah telah didirikan. Riwaq ini terletak di antara Riwaq Asy-Syawam dan Riwaq As-Sulaimaniyyah. Ketiganya sama-sama dibangun oleh amir bernama 'Utsman Katkhuda. Hal inilah yang mengantarkan pada kemungkinan bahwa sebelum Al-Qinawi melawat ke Nusantara, beliau telah berinteraksi dengan para pelajar dari Nusantara di Al-Azhar.

Hunian Orang-orang Jawi di Masjid Al-Azhar
Dalam sejarahnya, masjid Al-Azhar mengenal sistem hunian yang bernama riwaq. Riwaq Al-Jawiyyah untuk para pendatang dari Kepulauan Nusantara salah satunya.

Seperti diketahui juga, Syekh Abdushshamad Al-Falimbani sempat belajar di Al-Azhar kepada Syekh Al-Mallawi (wafat 1181 H), Al-Jauhari (wafat 1182 H) dan ulama yang segenerasi. Di antara ulama yang satu generasi dengan mereka berdua adalah Syekh Muhammad bin Salim Al-Hifni (wafat 1181 H). Ditambah lagi, Syekh Arsyad Al-Banjari juga sempat mengembara ke Mesir dan berguru kepada Syekh Murtadha Az-Zabidi. Jadi, sangat mungkin kunjungan Al-Qinawi ke Nusantara juga ada kaitannya dengan kunjungan sebagai timbal balik dari pelajar Nusantara tersebut.

'Ala kulli hal, Syekh Ali Al-Qinawi telah menapakkan kakinya di Bumi Nusantara. Besar kemungkinan beliau adalah ulama Mesir dan Al-Azhar pertama yang mengunjunginya. Hanya saja tidak ada bukti tertulis yang menyebutkan tempat mana saja yang beliau kunjungi.

Seandainya pengalaman perjalanan Al-Qinawi ke Nusantara dituliskan, niscaya akan membuka perspektif baru tentang Nusantara pada pertengahan abad ke-18 M. Mungkin juga akan ada informasi tentang bagaimana para pelajar Nusantara belajar di Al-Azhar. Cukuplah kedatangan sosok sayid bernama Ali Al-Qinawi ke Nusantara di abad ke-18 M menjadi bukti betapa Al-Azhar sangat memperhatikan kondisi umat Islam di seluruh pelosok negeri di dunia. Al-Azhar bukan saja memberikan semangat lewat karya-karya ulamanya, lebih dari itu, ia juga hadir dengan jiwa raganya.

💡
Baca juga artikel lain di rubrik TARIKH atau tulisan menarik Munawar Ahmad Sodikin