Umat Islam dan Identitas yang Terjajah

“Jika tidak bergerak, engkau akan tergilas oleh zamanmu.” Kata tersebut adalah adagium yang teramat mendalam bagi saya sejak di masa Aliyah dulu. Dalam sebuah komunitas santri, adagium itu terus didengungkan untuk memotivasi. Sekilas, moto tersebut terlihat sederhana, tetapi ketika saya renungi lebih jauh, moto tersebut telah melampaui makna harfiahnya. Kata ‘tergilas oleh zaman’ ternyata tetap menjadi persoalan yang bukan hanya pada diri saya, tetapi pada identitas terbesar saya: Islam. Kita mau tidak mau harus mengakui, bahwa umat Islam sekarang masih tergilas oleh zaman. Bukankah kita masih menjadi bangsa yang membebek? Terjerat konsumerisme? Latah dan mudah diadudomba oleh perkara kecil?

Benar, inilah fenomena tergilas oleh zaman. Jika dulu, kolonialisme datang menjajah Timur dan dunia Islam secara teritorial, menanamkan banyak budaya dan nilai-nilai asing, maka sekarang neokolonialisme masih ada dalam bentuknya yang lebih halus: era maya yang menawarkan kemudahan di satu sisi, tetapi menjadi momok kerusakan budaya dan moral di sisi lain. Munculnya dunia maya dan merebaknya gawai tak sepenuhnya disalahkan atas krisis ini, tetapi kembali kepada kita, umat Islam yang perlu berpikir kembali dan introspeksi.

Bijak Bermedia di Era Kiwari
Teknologi semakin maju dan arus informasi begitu deras. Kita perlu menyiapkan formulasi agar tidak terjebak atau terbawa arus menyesatkan.

Jika kita telah mengakui keterbelakangan umat Islam dan bagaimana mereka tergilas oleh zaman di masa kini, maka setidaknya kita perlu bercermin dan bertanya apa faktor-faktor umat Islam yang pernah memimpin peradaban dunia di masa lampau, bisa menjadi bangsa yang dijajah di masa kini? Apa penyebabnya? Mengapa bangsa lain menjadi aktor yang mengendalikan zaman, sementara kita objeknya?

Syahdan, Syakib Arslan, pemikir dan sastrawan asal Lebanon menulis risalah berjudul “Limadza Taakhkhara Al-Muslimun wa Limadza Taqaddama Ghairuhum?” (Mengapa Umat Muslim Tertinggal Sementara Yang Lain Maju?). Menariknya di sini, karangan tersebut adalah artikel yang dimuat  di Majalah Al-Manar sebagai respon dari pertanyaan salah seorang ulama Indonesia, Syekh Muhammad Basyuni Imran, asal Kerajaan Sambas Borneo, Kalimantan Selatan. Syekh Muhammad Basyuni Imran ini adalah salah seorang murid dari Rasyid Ridha, perintis Majalah Al-Manar dan kawan dari Syakib Arslan. Dalam suratnya yang ditujukan kepada Syakib Arslan, Syekh Basyuni bertanya, apakah sebab keterbelakangan umat Islam di dunia? Lalu mengapa umat-umat yang lain, seperti Eropa, Amerika, dan Jepang itu bisa maju dalam berbagai sisi? Terbitlah kitab tersebut yang berisi jawaban apik dari sosok Syakib Arslan.

Resensi

Kumpulan ulasan buku dan kitab menarik dapat teman-teman baca

di sini

Pertama, menurut Syakib Arslan, sebab-sebab tersebut kembali kepada internal umat Islam. Islam sebenarnya telah memiliki khazanah dan potensi yang cukup besar terhadap kemajuan peradaban. Sebagaimana di masa Nabi dan Khulafaur-Rasyidin yang berhasil menaklukan dua peradaban besar di masanya: Romawi dan Persia. Bahkan menurut Syakib keberhasilan Nabi dan Para Sahabat ini, diakui oleh Napoleon Bonaparte dan membuat kekaguman tersendiri di dalam hatinya. Maka, tidak heran jika di dalam Al-Quran,  Allah menjanjikan kemenangan dan kemuliaan bagi umat Islam. Sebagaimana dijanjikan dalam ayat, “walillahil 'izzatu wa li rasulihi walil mu'minin.” Surah Al-Munafiqun ayat 8. Begitu juga, janji Allah, “Wa kana haqqan 'alaina nashrul mu'minin.” Surah Ar-Rum ayat 47.

Akan tetapi, mirisnya, sejarah dan janji Allah tersebut hari ini hanya menjadi kenangan dan  harapan yang dibiarkan. Umat Islam hari ini hanya berpangku tangan, terlena dengan masa lalu. Tidak berusaha membuka mata pada realitas di masanya dan berupaya melakukan perjuangan. Inilah yang dikritik oleh Syakib, sikap berpangku tangan dan “gagal move on” dari masa lalu. Padahal, kemenangan di masa lalu tersebut dibarengi dengan sunnatullah di bumi ini, yaitu usaha. Hal ini berdasarkan pada ayat “Innalllaha la yughayyiru ma biqaumin hatta yughayyiru ma bianfusihim.” Surah Ar-Ra’ad ayat 11. Lalu Syakib berkomentar, “Bagaimana kamu akan melihat sebuah umat yang Allah tolong tanpa usaha, dan Allah berikan kebaikan-kebaikan kepada mereka sebagaimana diberi kepada nenek moyang mereka, sedang mereka leha-leha dan terlepas dari kemauan yang kuat sebagaimana nenek moyang mereka? Andaikan Allah itu memenangkan makhluk tanpa usaha, niscaya ia akan memenangkan Nabi Muhammad di kala itu tanpa harus berperang, berselisih, dan berjuang.

Kedua, fenomena “gagal move on” tersebut ditambah dengan berbagai krisis di dalam umat Islam di masa itu: kebodohan, sedikitnya ilmu, rusaknya moralitas, dan sikap pengecut. Datangnya penjajah di masa itu, karena bangsa Timur saat itu buta huruf, tidak bisa baca tulis. Mereka juga tidak mempelajari ilmu-ilmu politik, sosial, dll, sehingga penjajah dengan mudahnya menaklukan umat Islam. Hal inilah yang disebut oleh Syakib dengan kejumudan berpikir. Hanya bermodal ilmu agama, tetapi tidak mengerti tentang dunia. sehingga hal inilah sebab mengapa umat Islam di masa itu “pantas” — dalam istilah Malik bin Nabi Qabiliyyah Al-Isti’mar — untuk dijajah.

Kesimpulan akhir yang Syekh Syakib tulis dalam tulisannya adalah “Pada prinsipnya umat Islam itu bisa bangkit, sebagaimana bangsa-bangsa lain bangkit. Ketiadaan jiwa pengorbanan, patriotisme, dan keberanian telah meninabobokan umat Islam berabad-abad dalam kungkungan kolonialisme. Maka, umat Islam perlu sekali lagi melihat dirinya, membangkitkan usaha, tidak melulu tertidur pulas memimpikan janji-janji dan harapan yang semu, sebagaimana ayat perjuangan yang diserukan Al-Quran, “Walladzina jahadu fina lanahdiyannahum subulana wainnallaha lama’al muhsinin.” Surah Al-Ankabut ayat 69.

Mengenal Kitab Tafsir Karangan Syekh Muhammad Al-Maraghi
Tafsir Al-Maraghi sudah cukup dikenal khalayak. Namun, ada Al-Maraghi lain yang juga mempunyai sebuah kitab tafsir dan diterbitkan oleh Al-Azhar.

Gagasan Syakib Arslan di atas berada pada konteks poskolonial, sehingga lebih menyasar pada aspek politik-praktis, bukan pada teori-wacana. Dari situ, saya menarik pemahaman bahwa filsafat peradaban itu memiliki kaidah yang sama: kemajuan ada pada bangsa yang berusaha, bertindak dan berjuang, begitupun sebaliknya. Hal ini berlaku, baik pada bangsa Timur maupun Barat, baik beragama maupun ateis, Islam maupun agama lain.

Bagaimana dengan situasi modern kali ini? Ruh perjuangan Syakib Arslan saya rasa tetap relevan untuk kita ikuti dan terapkan. Kita —dalam makna umat Islam dunia ketiga— masih terseok-seok dalam penjajahan model baru: globalisasasi, kapitalisme, revolusi industri, dan dunia maya yang memorakporandakan moral dan intelektual. Bukan hanya identitas Islam yang akan dipertaruhkan, tetapi juga pada kemanusiaan itu sendiri yang sekarang berada di ujung kematiannya. Oleh sebab itu, kesadaran ini perlu kita pahami sejak dini. Kesadaran bahwa “Jika engkau tidak bergerak, engkau akan tergilas oleh zamanmu”. Kesadaran yang membuahkan usaha dan pergerakan untuk maju, melawan arus zaman, dan melampauinya. Tabik!

💡
Baca juga artikel lain di rubrik OPINI atau tulisan menarik Lukman Hakim Rohim

Keterangan Foto Utama:

Potret Syakib Arslan dalam sampul buku Murasalat Al-Amir Syakib Arslan ma'a Muarrikh Thethwan Muhammad Dawud. (Dar Al-Kutub wa Al-Watsaiq Al-Qaumiyyah)