Skip to content

Usul Fikih: Kunci Memahami Hukum Islam

Ilmu usul fikih menempati posisi penting dalam khazanah keilmuan Islam. Ia menjadi kunci untuk memahami hukum Islam langsung dari sumbernya.

FOTO Ilustrasi (Unsplash/Prateek Katyal)
FOTO Ilustrasi (Unsplash/Prateek Katyal)

Ilmu usul fikih merupakan salah satu disiplin ilmu yang menempati posisi penting. Namanya sangat lekat dengan ilmu fikih yang notabene-nya sebagai ilmu hukum Islam. Sehingga posisi penting ilmu ini pun dikaitkan dengan pentingnya posisi fikih. Di samping itu, banyak ulama yang menjadikan definisi ilmu fikih sebagai jembatan untuk mengetahui ilmu usul fikih, di antaranya adalah Imam Al-Ghazali dalam Al-Mushtashfa dan Imam Al-Haramain dalam Al-Burhan. Barangkali mereka memandang bahwa kata usul fikih merupakan bentuk susunan idhafi. Sehingga untuk mengetahui susunan, perlu terlebih dahulu mengetahui unsur yang menyusunnya. Melihat keterikatan ini, untuk mengetahui usul fikih, ada baiknya kita mengetahui terlebih dahulu definisi ilmu fikih.

Ilmu fikih merupakan ilmu yang membahas tentang hukum aktivitas seorang mukallaf (orang yang terbebani hukum) secara syara’, seperti hukum mengerjakan salat lima waktu dalam sehari semalam adalah wajib, hukum melakukan transaksi jual beli adalah boleh, dan seluruh aktivitas mukallaf yang lain. Ilmu ini tidak pernah absen dari kehidupan mukallaf, baik dalam keadaan bergerak maupun diam. Sebab, seluruh aktivitasnya tidak pernah lepas dari penilaian syara’, baik itu bernilai wajib, sunnah, mubah (boleh), haram, maupun makruh. Melihat posisi ilmu fikih yang begitu penting, para ulama menempatkan ilmu ini sebagai ilmu yang paling utama setelah ilmu tauhid.

Setelah mengetahui definisi ilmu fikih, sudah saatnya kita membahas definisi ilmu usul fikih. Sebelumnya perlu diketahui bahwa ilmu usul fikih memiliki dua pengertian, yaitu pengertian secara idhafi –sebagaimana disinggung di atas- dan definisi secara laqabi. Pengertian secara idhafi adalah pengertian usul fikih jika dipandang dari sisi bahwa ia merupakan susunan mudhaf (ushul) dan mudhaf ilaih (fikih). Sementara definisi secara laqabi artinya adalah definisi usul fikih jika dipandang dari sisi bahwa ia merupakan nama (laqab) dari disiplin ilmu tertentu. Dengan kata lain definisi secara laqabi adalah definisi usul fikih yang dilihat sebagai sebuah istilah untuk disiplin ilmu tertentu, bukan sebagai susunan dari kata usul dan fikih. Seperti kata Banyumas, kata ini bisa dipandang sebagai bentuk susunan dari kata banyu (air) dan kata mas (emas). Bisa juga dipandang sebagai nama (laqab) bagi sebuah daerah. Masing-masing memiliki makna yang berbeda, meski biasanya ada keterkaitan antara kedua makna tersebut.

Secara idhafi, usul fikih merupakan ilmu yang membahas landasan atau pondasi dari fikih. Sebab kata usul adalah bentuk jamak dari ashl. Sementara kata ashl berarti landasan atau pondasi. Jadi jika kata usul digabung dengan kata fikih, maka makna yang bisa diambil –dari susunan mudhaf dan mudhaf ilaih tersebut- adalah landasan dan pondasi ilmu yang membahas tentang hukum aktivitas seorang mukallaf secara syara’. Landasan dan pondasi fikih tidak lain adalah dalilnya. Secara sederhana bisa disimpulkan bahwa ilmu usul fikih adalah ilmu yang membahas tentang dalil-dalil fikih atau hukum Islam sehingga ia dijadikan sebagai kunci untuk memahaminya.

Adapun definisi secara laqabi, usul fikih didefinisikan sebagai ilmu yang membahas tentang dalil-dalil fikih secara global, membahas (tentang) tata cara mengolah dalil agar bisa membawa pada kesimpulan berupa hukum syara’ (fikih/ hukum Islam) dan membahas (tentang) sifat yang harus dipenuhi oleh orang yang mengolah dalil. Ada pula ulama yang mendefinisikan ilmu usul fikih sebagai ilmu yang membahas tentang kaidah yang digunakan untuk mencapai kesimpulan berupa hukum syara’ dari dalil yang terperinci. Kedua definisi ini tidaklah bertentangan, sebab keduanya sama-sama menjelaskan bahwa tujuan mempelajari usul fikih adalah untuk mengetahui hukum syara’ dari dalil atau sumbernya secara langsung. Sehingga, definisi secara laqabi ini juga mengantarkan pada posisi ilmu usul fikih sebagai kunci untuk memahami hukum Islam (fikih).

Dari pemaparan di atas bisa disimpulkan bahwa antara definisi usul fikih secara idhafi dan laqabi memiliki hubungan umum-khusus. Di mana definisi secara laqabi cakupannya lebih luas dari definisi secara idhafi. Sebab definisi secara idhafi hanya membahas tentang dalil fikih. Sedangkan dalil fikih ada yang bersifat global dan ada yang terperinci. Sementara definisi secara laqabi, pokok bahasan ilmu usul fikih mencakup tiga hal, yaitu dalil fikih, itu pun dalil yang bersifat global, tata cara mengolah dalil dan syarat seseorang yang bisa mengolahnya.

Dari definisi fikih dan usul fikih yang telah disebutkan di atas bisa disimpulkan bahwa antara kedua ilmu ini memiliki sejumlah perbedaan. Namun, yang paling mencolok adalah perbedaan di pokok bahasan (maudhu’). Jika pokok bahasan ilmu fikih adalah aktivitas seorang mukallaf, maka pokok bahasan usul fikih adalah dalil. Dari sini kita sudah bisa membedakan kedua ilmu tersebut. Sebab -sebagaimana pernyataan para ulama- perbedaan suatu disiplin ilmu dengan disiplin ilmu yang lain dilandasi atas perbedaan pokok bahasannya.

Sebagai contoh, fikih membahas tentang hukum syara’ aktivitas seorang mukallaf, seperti makan, minum, tidur, shalat, zakat, dst. Sementara usul fikih membahas tentang amar (perintah) yang ada dalam Al-Quran dan hadits menunjukkan adanya hukum wajib, nahi (larangan) menunjukkan adanya hukum haram, dst. Dari sini kita bisa memahami bahwa ushul fikih adalah landasan dari fikih. Karena ilmu fikih lahir dari rahim dalil dengan bantuan kaidah usul fikih. Tanpa kaidah analisa dalil yang ada dalam ilmu usul fikih, ilmu fikih tidak akan lahir. Sederhananya, ilmu usul fikih adalah kunci untuk memahami fikih.

Resensi

Kumpulan ulasan buku dan kitab menarik dapat teman-teman baca

di sini

Dalam menyajikan materi disiplin usul fikih, sejumlah ulama -seperti Imam Al-Ghazali dalam Al-Mushtashfa- mengelompokkannya menjadi empat bagian.

Bagian pertama berisi penjelasan tentang hukum syara’ yang bersifat umum serta macam dan karakteristiknya. Pembahasan mengenai hukum didahulukan lantaran ia adalah hasil dari usul fikih. Dengan mengenali hukum syara’, seorang pelajar usul fikih akan bisa menetapkan atau menafikannya berlandaskan dalil yang digalinya.

Bagian kedua berisi pembahasan tentang dalil. Sebab hukum lahir dari rahim dalil. Sementara dalil yang diakui sebagai sumber dari hukum syara’ adalah Al-Quran, Sunnah, Ijma’, Qiyas, dan Istidlal. Imam Al-Ghazali dalam Al-Mushtashfa mengategorikan qiyas sabagai salah satu cara untuk menggali hukum dari dalil. Sehingga menurut beliau dalam kitab tersebut, dalil hukum syara’ adalah Al-Quran, Sunnah, dan Ijma’. Dalam bagian ini definisi, jenis dan karakteristik dari masing-masing dalil dibahas dan dikupas.

Bagian ketiga berisi pembahasan tentang tata cara mengolah dalil agar bisa menghasilkan hukum. Dengan kata lain, bagian ini membahas tata cara mengambil hukum dari dalilnya secara langsung. Sehingga masing-masing dalil akan dianalisa melalui dua arah, yaitu sanad dan dalalah. Sehingga akan memunculkan empat kategori dalil, yaitu Qath’i Ats-Tsubut Qath’i Ad-Dalalah, Qath’i Ats-Tsubut Zhanni Ad-Dalalah, Zhanni Ats-Tsubut Qath’i Ad-Dalalah, dan Zhanni Ats-Tsubut Dhanni Ad-Dalalah.

Empat kategori ini sebenarnya merupakan ukuran kuat dan tidaknya sebuah dalil, baik dari segi sanad atau tsubut (orisinalitas) maupun dari segi dalalah (penunjukan terhadap hukum). Kalau qath’i berarti berarti kekuatannya full 100%. Jika berkaitan dengan sanad, berarti artinya 100% orisinal berasal dari Allah, Rasulullah, atau dari para ulama pelaku ijma’. Sehingga tidak menyisakan keraguan sedikit pun akan keasliannya. Jika dikaitkan dengan dalalah maka maksudnya adalah dalil yang berkaitan menunjukkan hukum secara 100%, tidak ada kemungkinan menunjukkan hal lain.

Adapun jika dalilnya zhanni maka kekuatannya tidak full 100%, melainkan menyisakan kemungkinan lain meski hanya 1%.

Di dalam pembahasan sanad, akan ada kategori dalil sebagai mutawatir dan ahad. Baik dalil itu berupa Al-Quran, Sunnah, maupun Ijma’. Hanya saja, dalam pembahasan Al-Quran dan Ijma’ porsinya sangat sedikit. Porsi terbanyaknya ada pada pembahasan Sunnah.

Adapun dalam pembahasan dalalah, akan ada pengategorian dalil menjadi Amar, Nahi, 'Am, Khash, Muthlaq, Muqayyad, Mujmal dan Mubayyan, Zhahir, Mu'awwal. Hal ini juga berlaku untuk Al-Quran, Sunnah, dan Ijma’. Hanya saja dalam pembahasan Ijma’ akan susah dijumpai keberadaan Amar dan Nahi.

Setelah mengetahui tiga bagian di atas, berarti seseorang telah mengenali proses lahirnya hukum dari dalil dengan kaidah operasi dalil melalui bagian ketiga. Jika hal ini sudah diketahui, maka pada bagian keempat adalah penyempurna dari tiga bagian di atas. Sebab tidak semua orang yang mengetahui proses lahirnya hukum dari dalil, ia bisa mengolah dalil. Dalam bagian ini pembahasan mengenai syarat dan keahlian yang harus dimiliki oleh orang mengolah dan mengoperasikan dalil untuk bisa mengambil hukum darinya akan dijelaskan. Sehingga materi yang ada di bagian ini adalah definisi, syarat dan hukum mujtahid, muqallid, mufti, dan mustafti.

Dalam bagian keempat ini juga berisi pembahasan tentang faktor-faktor yang menyebabkan satu dalil menjadi lebih unggul dari dalil lain yang awalnya sepadan (Murajjihat). Sehingga dengan pembahasan ini, Imam Al-Ghazali dan ulama yang mengikuti langkahnya dalam menyajikan materi usul fikih menutup kitabnya. Sebagian ulama juga ada yang menjadikan pembahasan Tarjihat sebagai bagian tersendiri, seperti Imam Al-Amidi dalam kitab Al-Ihkam.

Terlepas dari sejumlah tata cara ulama dalam menyajikan materi usul fikih, semuanya pasti akan membahas empat hal, yaitu hukum, dalil sebagai sumber hukum, tata cara menganalisa dalil agar bisa melahirkan hukum dan syarat yang harus dipenuhi oleh orang yang ingin mengalisa dalil. Hal ini sudah sangat sesuai dengan definisi usul fikih yang telah disebutkan di atas. Secara urutan proses, ini juga sesuai dengan praktik yang terjadi di lapangan. Semoga bisa membantu untuk mengenal ilmu usul fikih, sehingga kita bisa menggali lebih lanjut. Sehingga, kunci untuk memahami hukum Islam bisa digapai.


💡
Baca juga artikel lain di rubrik ISLAMUNA atau tulisan menarik Munawar Ahmad Sodikin

Latest