Zavilda dan Ketidakdewasaan Beragama

Belum lama ini, sebuah konten eksperimen menutup aurat seorang cewek seksi viral di media sosial. Konten di kanal YouTube tersebut viral dan menuai polemik karena dianggap telah melakukan pemaksaan praktik keberagamaan. Video eksperimen yang dibuat akun Zavilda TV di kawasan Malioboro, Kota Jogjakarta itu juga menuai banyak hujatan dari warganet Indonesia. Tersebab isi dari konten tersebut dianggap terdapat unsur pemaksaan, terlebih lagi lokasi kejadiannya terjadi di sebuah kota yang identik dengan kota toleransi. Meski videonya sudah langsung dihapus dan segera membuat video klarifikasi, namun akun Zavilda TV tetap banyak mendapat kecaman dari warganet. Mungkin karena warganet merasa bahwa video klarifikasi yang telah dibuat bukanlah sebuah ungkapan penyesalan dan permintaan maaf yang tulus. Bahkan isi video klarifikasi itu justru lebih mengarah pada apologi dan jawaban “ngeles” khas akhi-ukhty yang sedang tersudut atau kalah berdebat dan tidak mau disalahkan. Bagaimana tidak, dalam video klarifikasi yang beredar, si Mbak Zavilda CS hanya berputar-putar berusaha meluruskan bahwa dalam membuat video ia sudah meminta izin target untuk mendokumentasikan. Ihwal substansial terkait “kesalahan” pemaksaan keberagamaan yang mereka lakukan justru mereka tetap tak merasa dan tidak menanggapinya.

Meski kasus pemaksaan praktik keberagamaan itu seolah “lenyap” dan disenyapkan seiring dihapusnya video tersebut, namun penulis merasa kasus itu belumlah selesai dan harus tetap dituntaskan terlebih dahulu. Kasus itu tidaklah usai dan kelar cukup dengan tayangnya sebuah sebuah video apologia nan klise. Tujuannya agar kasus serupa itu tidak ditiru dan menjadi preseden buruk bagi generasi muda metropolitan. Bagaimana cara menuntaskannya, tidak lain dengan cara memberitahukan ke publik bahwa dakwah yang disertai pemaksaan seperti halnya video-video Zavilda TV tersebut tidak pernah bisa dibenarkan. Media pemberitahuannya bisa melalui apa saja, bisa melalui audio, video ataupun melalui tulisan semodel ini.

Perangkat Ilmu Bahasa Arab yang Wajib Dikuasai Dai
Apa jadinya jika seorang dai tidak menguasai bahasa Arab dan perangkatnya?

Sekadar untuk diketahui, kronologi pemaksaan itu bermula dari petikan adegan sebuah konten video eksperimental yang memperlihatkan seorang perempuan bercadar menawarkan kepada perempuan berbaju ungu seksi untuk menutup aurat. Awalnya, si perempuan berpakaian rok mini ungu itu duduk di kursi sambil memegang ponselnya. Lalu ia didatangi perempuan bercadar yang terdengar berujar, "Alhamdulillah ada target cewek seksi Malioboro." Sejurus kemudian, terjadilah adegan pemaksaan untuk menutupi aurat (paha) si perempuan seksi yang memang terlihat terbuka. "Permisi kak, boleh izin tutup auratnya nggak kak," ujar perempuan bercadar tersebut.

Tatkala si perempuan seksi berbaju ungu itu menolak tawaran tersebut. Si perempuan bercadar lantas bertanya alasannya menolak dan terus meminta perempuan seksi berbaju ungu itu untuk mau mencoba menutup auratnya barang sebentar.

Naif dan mirisnya, setelah melakukan pemaksaan secara halus sampai beberapa kali dan ditolak, si mbak perempuan bercadar itu baru belakangan bertanya kepada si perempuan seksi pengunjung Malioboro itu tentang apa agamanya. Ketika ternyata jawabannya ia seorang muslimah, si perempuan bercadar lantas menjelaskan bahwa kewajiban seorang muslimah adalah untuk menjaga auratnya. Syahdan, di salah satu video Zavilda TV, ada juga koresponden Zavilda yang ternyata bukan seorang muslimah, namun tetap ia “paksa” untuk mencoba rasanya berpakaian tertutup dengan alasan itu bagian dari toleransi beragama.

Interpretasi Kebebasan Beragama

Usai kita melihat dan mendengar masih adanya kasus pemaksaan ritual keberagamaan, bagaimana sih sejatinya interpretasi kebebasan beragama di Indonesia?

Sebagaimana kita tahu, konstitusi negara Indonesia telah menjamin kebebasan beragama. Arti dari negara hadir dan menjamin secara konstitusi bukan sekadar membebaskan warga Indonesia untuk memilih dan memeluk agamanya. Tapi negara juga harus aktif “hadir” di tengah masyarakat untuk menjaga pelaksanaan kebebasan masyarakat dalam menjalankan agamanya. Pun secara konstitusional dan konvensional, negara akan melakukan penindakan atas pelanggaran yang terjadi terkait kebebasan warganya dalam melakukan ritual-ritual keagamaan sesuai keyakinannya.

Bahaya Ekstremisme Agama, 7 Pesan Syekh Jadal-Haq untuk Pemuda
Sebuah ulasan atas buku saku yang membahas ekstremisme. Kitab karangan Syekh Jadal-Haq Ali Jadal-Haq yang menjabat Syekhul-Azhar di era 80-an.

Aturan itu tertuang dalam Pasal 28E ayat (1) yang menegaskan, bahwa setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya. Negara pun menjamin hak kebebasan beragama sebagaimana tertuang dalam Pasal 29 ayat (2) UUD NRI 1945, bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya.

Secara lebih luas, negara pun harus hadir secara preventif dalam menjalankan dan mengamankan amanah konstitusinya. Artinya negara harus mengantisipasi aksi-aksi masyarakat yang bisa mereduksi kebebasan dalam beragama. Termasuk kebebasan menjalankan laku keseharian yang sesuai keyakinan agamanya. Yakni bahwa soal berpakaian adalah hak masing-masing individu yang juga berkaitan erat dengan keyakinan seseorang. Asal masih pantas dan sopan dalam berpakaian sesuai tempat dan waktunya, model berpakaian itu termasuk kebebasan yang dijamin konstitusi. Terlebih lagi jika agamanya memang bukan agama (Islam) yang memang tidak ada keharusan berpakaian tertutup sesuai syariat Islam. Sebab kebebasan beragama dan kebebasan menjalankan laku atau ritual yang sesuai keyakinan agamanya memang merupakan hak dasar yang dijamin konstitusi dan tak boleh direduksi.

Munakahat

Kumpulan tulisan dengan topik pernikahan dan keluarga islami dapat teman-teman temukan

di sini

Bijak dan Dewasa

Islam memandang pemaksaan praktik keberagamaan kepada orang lain, meski dengan dalih dakwah dan mengajak kebaikan adalah hal yang tidak bisa dibenarkan.

Menurut Islam, kita sama sekali tidak boleh menyebarkan dan mendakwahkan ajaran Islam disertai adanya unsur kekerasan atau pemaksaan. Sebab sebagaimana kita tahu, Islam memiliki konsep “La ikraha fi ad-din; tidak ada paksaan dalam agama” yang maknanya secara umum. Selain itu Islam pun memiliki pandangan bahwa, “Lakum dinukum waliyadin; bagimu agamamu dan bagiku agamaku.”

Secara kasuistik, memaksa seseorang untuk tidak berpakaian seksi atau agar mau berpakaian syar’i adalah tindakan salah, terlebih lagi ketika itu dilakukan di ruang publik. Sebab mengajak orang lain agar mau menutup aurat bisa dilakukan dengan cara yang lebih persuasif, manusiawi dan lebih syar’i.

Pun mengajak orang lain untuk bertobat, berhijab, atau berhijrah harus dilakukan dengan cara-cara yang baik serta bijak. Begitu juga dakwah untuk mengajak orang lain menutup aurat seperti yang dilakukan Zavilda pun harus dilakukan tanpa adanya tindakan pemaksaan, tidak mengganggu kenyamanan orang lain serta tidak mengganggu ruang privasi orang lain. Ini sebagaimana arahan dalam Al-Quran Surah An-Nahl 125, “Ud’u ila sabili rabbika bilhikmati wal mau’izhatil hasanah; Ajak (seru)lah manusia kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik.”

Belajar dari Perdebatan Ibnu Buthlan vs Ibnu Ridhwan
Perdebatan dua alim di bidang kedokteran ini menjadi salah satu bukti dinamisnya tradisi keilmuan. Ilmu tumbuh subur dalam dialektika para ulama.

Wabakdu, warganet cukup banyak yang bertanya apakah konten-konten eksperimental Zavilda itu merupakan settingan atau bukan. Jika melihat penjelasan Zavilda CS saat membuat video klarifikasi, sebenarnya sudah terjawab apakah karya-karya mereka itu rekayasa (settingan) atau bukan. Sebab ternyata sebelum pengambilan video, sudah ada pengarahan (briefing) dari tim Zavilda kepada si target. Namun terlepas dari settingan atau bukan, ada hal yang jauh lebih penting dari semua itu. Yakni terkait kesadaran bersama bahwa para konten kreator dalam membuat sebuah karya harus siap mempertanggungjawabkan isinya. Jika memang isinya seputar materi keagamaan, haruslah dikonsultasikan terlebih dahulu kepada ahlinya. Jika memang isi kontennya mengandung dakwah islami, maka berdakwahlah secara bijak dan dewasa. Sebab dakwah itu adalah ajakan, bukan paksaan. Urusan mau atau tidak itu sudah ranahnya hidayah Allah SWT. Sedangkan hidayah itu merupakan hak prerogatifnya Allah SWT, sama sekali tidak bisa kita paksakan. Oleh karenanya, mari bijak bermedsos dan dewasa dalam beragama. Jangan berusaha menjadi “Allah” dalam beragama. Terlebih jika kontennya itu konten rekayasa (settingan) semata.

💡
Baca juga artikel lain di rubrik OPINI atau tulisan menarik Ahmad Muhakam Zein