Skip to content

6 Pesan Utama Imam Akbar Al-Azhar di UIN Syarif Hidayatullah

Pidato Imam Akbar di UIN Jakarta yang lalu sarat pesan untuk umat Islam. Inilah 6 pesan utama yang disarikan dari pidato Syekh Ahmad Ath-Thayyib.

FOTO Imam Akbar Syekh Ahmad Ath-Thayyib saat pidato di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
FOTO Imam Akbar Syekh Ahmad Ath-Thayyib saat pidato di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Di banyak kesempatan—sebagaimana kita saksikan— pidato Imam Akbar, Syekh Ahmad Ath-Thayyib amat berwibawa dengan penyampaian yang tegas dan pilihan bahasa yang amat mendalam. Selain mencerminkan sikap resmi Al-Azhar dan Majlis Hukama Al-Muslimin, Imam Akbar juga mewakili segenap permasalahan umat Islam di dunia ini. Ibarat kata, seolah mengajak kita semua untuk melek akan realitas dihadapi umat Islam hari ini. Selama kunjungan resmi Imam Akbar ke Indonesia pada bulan Juni ini, ada banyak momen beliau menyampaikan sambutan. Salah satu pidato yang menarik adalah saat mengunjungi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 9 Juli lalu. Pada durasi kurang lebih 20 delapan menit tersebut, terdapat enam pesan yang bisa kita simpulkan:

1.     Merefleksikan Peradaban Umat Islam

Di awal pidatonya, Imam Akbar mengingatkan kita bahwa peradaban umat Islam tetaplah luhur meski telah mengalami banyak penderitaan dan cobaan selama beberapa abad terakhir. Namun, di saat yang sama, peradaban Islam –yang dibangun berdasarkan keadilan dan sikap moderat— sanggup bertahan sampai lebih dari lima belas abad hingga kini. Hal itu karena peradaban kita tetap membangkitkan cita-cita dalam benak umatnya, akan pembenahan dan pembaharuan terus menerus. Ibarat kata, idealisme Islam seperti bara api yang terus menyala (Al-Jamrah Al-Muttaqidah) meski dihujani pasir yang tebal.

Di antara krisis-krisis peradaban tersebut, adalah kondisi umat yang mengemis pada Barat, pada filsafat, budaya, dan metodenya dalam banyak hal: pendidikan, sosial dan ekonomi. Seolah umat Islam tidak pernah punya sejarah, ilmu, dan peradaban dulunya.

2.     Perselisihan adalah Penyakit Umat Islam Hari ini

Berkaitan dengan poin sebelumnya, salah satu faktor terbesar mundurnya peradaban kita hari ini adalah perselisihan. Kata Imam Akbar, “Penyakit umat ini (Islam) adalah: perpecahan dan perbedaan pendapat, dan perselisihan internal. Penyakit buruk yang senantiasa menjadi titik sentral kelemahan yang digunakan para penjajah untuk memperalatnya di negara-negara Islam selama dua abad terakhir”.

Penyakit ini kemudian semakin kompleks dengan isu-isu yang sengaja dimunculkan Barat—sebagai bentuk neokolonialisme— di abad 21: Perang Peradaban (The Clash of Civilization), anarkisme, globalisme, dan Akhir Sejarah (The End of History).

3.     Kepedulian Generasi Muda pada Krisis Umat Islam

Imam Akbar banyak menyinggung peran pemuda dalam banyak hal di peradaban Islam. Misalnya, beliau mempertanyakan apakah generasi muda umat Islam hari ini memiliki pengetahuan yang memadai tentang Al-Quds dan apa yang dialaminya. Generasi muda juga perlu melek realitas yang dihadapi umat Islam sebagaimana mereka mengetahui pembahasan-pembahasan khilafiyah di zaman dahulu. Kurikulum yang dipelajari dalam pendidikan generasi muda juga harus selaras dan kontekstual dengan realitas umat Islam.

Imam Akbar menyayangkan generasi muda yang tidak paham apa itu persatuan umat Islam.

Lingkungan

Kumpulan tulisan yang mengangkat isu lingkungan dapat teman-teman baca

di sini

4.     Jangan Mudah Mengkafirkan Sesama Muslim

Beliau juga mengingatkan kembali fenomena yang cukup meresahkan masyarakat hari ini: mengkafirkan, mengfasik-fasikkan, dan membid’ah-bid’ahkan (Al-Jur'ah ala At-Takfir wa At-Tafsiq wa At-Tabdi’). Fenomena yang tidak hanya menghancurkan pondasi-pondasi agama Islam, tapi juga mengancam kemanusiaan: nyawa, darah dan harga diri manusia.

Maka kita harus kembali kepada prinsip yang dipegang oleh ulama Al-Azhar dalam hal ini. Yaitu sebuah Maqulah Dzahabiyah yang harus senantiasa digaungkan, “La nukaffiru ahadan min ahl al-qiblah”. Artinya, “kita tidak boleh mengkafirkan siapapun dari umat Islam, selama ia masih salat menghadap kiblat (ahl Al-Kiblah)”. Di samping itu, beliau mengutip dalil-dalil yang menguatkan hal tersebut.

5.     Kita, Umat Islam, Sudah Terlalu Banyak Beretorika Semata

Imam Akbar juga mengajak kita untuk lebih banyak pada ranah aplikatif daripada sekedar retorika ataupun wacana. “Saudara-saudara sekalian, sekarang waktunya untuk berupaya dan beramal. Bukan sekedar waktu berkhutbah dan berceramah.” Ajakan ini sebagai bentuk introspeksi kita pribadi yang kalah dengan umat lain (Barat) yang produktif dengan tanpa banyak retorika.

“Kita” dawuh beliau, “telah bosan untuk terus berhenti pada tahap wacana saja, namun tanpa dipraktikkan dalam realitas nyata”. Beliau mengutip perkataan Imam Malik, “Akrahu al-kalam fi ma laisa tahtahu ‘amal”. Artinya, “Aku tidak suka perkataan yang tidak disertai dengan praktik”.

6.     Al-Quran menegaskan perbedaan keyakinan

Di akhir pidatonya, Imam Akbar menyinggung pentingnya toleransi antar agama sebagaimana yang dijelaskan oleh Al-Quran. Dalam Surah Yusuf ayat 118, dawuh beliau adalah ayat yang menegaskan bahwa manusia secara fitrah memang cenderung berbeda-beda. Jika dalam banyak hal manusia cenderung berbeda, maka—dawuh Imam Akbar—demikian juga manusia akan memiliki perbedaan dalam keyakinannya. Oleh sebab itulah, Allah menjamin perbedaan keyakinan itu di dalam ayat yang lain, “Tidak ada paksaan dalam beragama”.


💡
Baca juga artikel lain di rubrik MOZAIK atau tulisan menarik Lukman Hakim Rohim

Latest