Skip to content

Abu Turab: Belajar dari Rumah Tangga Sayidina Ali

Publik dihebohkan oleh kasus KDRT dan perceraian. Tulisan ini mengajak kita melihat bagaimana Nabi Muhammad SAW menyelesaikan persoalan keluarga.

FOTO Ilustrasi (Unsplash/Ramin Khatibi)
FOTO Ilustrasi (Unsplash/Ramin Khatibi)

Hari ini publik dihebohkan oleh kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang menimpa selebgram Cut Intan Nabila. KDRT yang bahkan dilakukan selama lima tahun tersebut, mau tidak mau harus ditempuh jalur hukum dan perceraian. Banyaknya kasus KDRT, perceraian belakangan membuat sebagian orang merasa takut dan trauma untuk berumah tangga. Sebenarnya apa akar dari KDRT? Bagaimana seseorang seyogianya mengelola problem rumah tangganya?

KDRT dan perceraian sebenarnya berkaitan erat dengan bagaimana seseorang menyikapi problem rumah tangganya. Dalam tulisan ini, saya ingin mengajak pembaca untuk merefleksikan bagaimana Nabi Muhammad SAW memberikan contoh menghadapi problem internal rumah tangga. Terdapat satu hadits yang bercerita tentang kisah di balik julukan “Bapak Debu” (Abu Turab) Sayidina Ali. Yaitu saat Nabi Muhammad turut menyelesaikan perseteruan rumah tangga Sayidah Fatimah dengan Sayidina Ali RA. Kisah ini mencerminkan teladan bagaimana menyikapi problem rumah tangga dari tiga belah pihak: suami, istri, dan orang tua. Tiga komponen penting dalam rumah tangga.

Di dalam Majalah Al-Azhar edisi Juli 2024, Dr. Habibullah Hasan Ahmad mengangkat cerita tersebut dalam tulisannya “Mu’alajat An-Nabi Azmatan fi bait ‘Aliyyi Radhiyallahu ‘Anhu”. (Penyelesaian Nabi terhadap masalah di rumah tangga Ali). Kisah ini populer dengan dua kalimat Nabi Muhammad SAW, “Qum Aba Turab, Qum Aba Turab!” (Bangunlah wahai Bapak Debu! Bangunlah!). Dimulai saat Nabi Muhammad SAW sedang mengunjungi rumah menantunya Sayidina Ali. Sebagaimana tradisi kunjungan orang tua terhadap rumah anaknya yang sudah berkeluarga, seyogianya disambut oleh suami dan istri tersebut. Namun, beliau tidak menjumpai Sayidina Ali di rumahnya: suatu momen ganjil yang Rasul temui saat itu.

Di mana putra dari pamanmu?” tanya Nabi seketika kepada Fathimah dengan wajah yang berkaca-kaca. Kalau kita perhatikan, dalam pertanyaan tersebut Rasul memilih kata yang layak, bijak, dan penuh dengan kasih sayang. Sayidah Fathimah kemudian menjawab, “Sedang terjadi 'sesuatu' antara aku dan dirinya. Ia kemudian membuatku marah. Lalu pergi hari ini dan tidak bermalam di rumahku”. Jika kita perhatikan lagi, jawaban Sayidah Fathimah terlihat bijak dan beretika. Sayidah Aisyah tidak serta merta menceritakan problemnya, alih-alih memanfaatkan momen tersebut untuk mengadukan masalah rumah tangganya pada Rasulullah SAW. Sayidah Fathimah hanya mengatakan tengah terjadi “sesuatu”: suatu diksi umum untuk menjaga problem internal yang terjadi di dalam rumah tangganya.

Dalam hadits tersebut, Dr. Habibullah berkomentar bahwa posisi Rasulullah sama sekali tidak tahu dan tidak ingin tahu masalah yang terjadi pada anaknya. Apa persoalannya? Siapa yang memulai dan siapa yang salah? Rasullullah tidak tahu dan tidak ingin menanyakannya. Sebab pemahaman bahwa bisa jadi mengetahui hal tersebut justru akan menambah dan memperuncing problem internal rumah tangga. Di saat yang sama, dari pihak Sayidah Fathimah juga tidak bersikap ‘sembrono’ dengan serta merta mengadu kepada Rasul dan menyalahkan suaminya. Sayidah Fathimah tentu paham betul sabda Nabi, “Cukuplah seseorang menjadi pendusta, saat ia menceritakan apapun yang ia dengar”.

Munakahat

Kumpulan tulisan dengan topik pernikahan dan keluarga islami dapat teman-teman temukan

di sini

Setelah Nabi mendengar jawaban dari putrinya Sayidah Fathimah, Nabi pun mengutus para sahabat untuk mencari keberadaan Sayidina Ali. Rupanya mereka menemukan Sayidina Ali tengah tertidur di masjid. Dalam konteks ini, Dr. Habibullah berkomentar bahwa hal inilah yang menunjukkan kebijaksanaan Sayidina Ali dalam menyikapi problem rumah tangganya. Ia meninggalkan tempat terjadinya permasalahan (rumah ia sendiri) demi menenangkan diri dan memadamkan api perselisihan. Keluarnya Sayidina Ali bukan dipahami sebagai bentuk lari dari tanggung jawab, bukan juga menjadi tanda kelemahannya, melainkan sebagai salah satu cara menenangkan diri.

Mendengar hal itu, Nabi seketika pergi ke masjid untuk menemui Sayidina Ali. Sesampainya di masjid, Nabi mendapati Sayidina Ali sedang berbaring tertidur hingga selendangnya terjatuh dari bagian tubuhnya. Hal itu membuat tubuhnya dipenuhi oleh debu. Rasulullah datang tidak lantas marah-marah. Justru beliau seketika mengusap tubuh Sayidina Ali dari debu, lalu membangunkannya, “Qum Aba Turab, Qum Aba Turab!” (Bangunlah wahai Bapak Debu, Bangunlah!). Cerita ini yang menjadi asal usul dijulukinya Sayidina Ali dengan “Abu At-Turab”. Konon julukan tersebut adalah yang paling disukai Sayidina Ali karena momen di atas.

Ada tiga pelajaran utama yang bisa kita tarik dari kisah di atas berkaitan erat dengan rumah tangga: pertama, pentingnya bersikap tenang dan bijak dari tiga belah pihak: istri, suami, dan orang tua dalam menyikapi suatu problem internal rumah tangga. Sikap tenang ini mencegah seseorang untuk grusa-grusu alih-alih bersikap kasar dan menyalahkan secara sepihak.

Kedua, komitmen saling menjaga rahasia rumah tangga baik dari pihak suami istri maupun orang tua. Seperti kita belajar bagaimana Sayidah Aisyah tetap menjaga privasi rumah tangganya di hadapan Rasulullah SAW. Di lain pihak, Rasulullah juga tidak kepo dan ikut campur untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Justru Rasulullah bersikap seolah tidak terjadi apa-apa di hadapan Sayidina Ali dengan bersenda gurau: “Qum, ya Aba Turab!”

Ketiga, berani mengalah di antara kedua belah pihak suami dan istri saat menghadapi masalah. Hal ini sebagaimana dicontohkan oleh Sayidina Ali dengan memilih pergi ke masjid untuk menenangkan dan mengendalikan diri. Sebab bisa jadi maraknya masalah dalam rumah tangga berakar dari ego yang tinggi dan tidak bisa mengendalikan diri.

Wal-hasil, di tengah ramainya problem KDRT dan perceraian hari ini, kisah di atas bisa menjadi teladan untuk kita semua dalam mempertahankan rumah tangga. Komitmen untuk bersikap tenang, menjaga rahasia, dan legowo untuk mengalah adalah nilai-nilai yang perlu dipegang teguh oleh suami-istri.

Kita juga perlu belajar dari kasus Cut Intan: di mana KDRT terjadi sampai batas yang tidak wajar hingga mau tidak mau harus menempuh jalur hukum dan perceraian. Pelajaran terbesarnya adalah bahwa KDRT bisa jadi berakar dari kurangnya pengendalian diri dan ego dalam mengelola dan menghadapi problem rumah tangga. Maka sebelum menikah, orang harus betul-betul dewasa dalam mengatur dan mengendalikan emosinya terutama saat menghadapi masalah. Tabik!


💡
Baca juga artikel lain di rubrik OPINI atau tulisan menarik Lukman Hakim Rohim

Latest