Allah Ada di Mana?

Pertanyaan ini mungkin seringkali timbul di benak kita, namun kita bingung untuk menerka jawabannya. Atau yang juga sering terjadi, sebagian orang tua juga gagap menjawab pertanyaan ini ketika sang anak yang sedang penasaran-penasarannya bertanya. Pertanyaan sederhana, tapi membutuhkan jawaban yang logis dan tepat.

Para teolog (ulama pakar ilmu kalam) muslim selama berabad-abad juga mendiskusikan hal ini. Para ulama tersebut mencoba menganalisa teks-teks agama berdasar rasio dan logika yang sehat untuk menjawab hal ini. Terlebih ketika syubhat-syubhat mengenai ketuhanan bermunculan, seperti argumen-argumen yang dibangun oleh mazhab Mujassimah misalnya.

Untuk menjawab pertanyaan ini, para ulama pakar ilmu kalam Ahlussunnah mencoba memberikan premis dasar bahwa Tuhan adalah dzat yang independen dan pasti berbeda dengan makhluknya. Artinya, Tuhan tidak boleh disifati dengan sifat-sifat mahluk yang profan. Argumen atas premis ini dilandasi firman Allah dalam Surat. Asy-Syu'ara (42:11) yang artinya: “Tidak ada satu pun yang menyerupai Allah SWT.” Oleh karenanya, dalam akidah Ahlussunnah, Allah SWT disifati dengan Al-Mukhālafatu li Al-Hawādīts, dzat yang berbeda dengan makhluknya.

Mahmud Abu Daqiqah, Ulama Kontemporer Pakar Akidah
Kitab karangannya masih menjadi diktat di Universitas Al-Azhar. Tulisan ini menceritakan riwayat hidup sang mualif nan alim, Mahmud Abu Daqiqah.

Premis berikutnya yang diajukan oleh para teolog yang mengikuti mazhab Ahlussunnah adalah bahwa "bertempat" merupakan kata kerja yang sangat identik dengan makhluk. Mengapa demikian? Pertama, semua makhluk yang eksis di dunia ini pasti bertempat, butuh tempat, dan terkungkung dalam tempat. Tempatnya manusia adalah bumi, karena manusia tinggal di bumi, butuh bumi untuk dikatakan bertempat di bumi, dan terkungkung dalam tempat yang disebut bumi itu.

Kedua, bertempat adalah kata kerja yang membutuhkan pembanding untuk menentukan arah kedudukannya. Contoh sederhananya, Anda disebut “bertempat” dengan duduk di sebelah kiri dari teman Anda. Anda bisa dikatakan berada di sebelah kiri teman Anda, karena ada teman yang berada di sebelah kanan Anda. Artinya, bertempat di sebelah kiri memiliki konsekuensi logis butuhnya entitas tertentu yang berada di kanan. Begitu juga, segala sifat yang menunjukkan tempat dan kedudukan seperti di atas, di bawah, di tengah, di ujung, di pangkal, dan seterusnya. Semuanya ini butuh pembanding untuk menentukan di mana tempat dan posisi anda. Sekali lagi, butuh. Sedangkan, sifat membutuhkan adalah sifat yang sangat identik dengan makhluk. Karena Tuhan sudah pasti tidak butuh akan apa pun dan siapa pun.

Mewaspadai Hijrah Salah Arah
Banyak pelaku hijrah yang lantas keluar dari pekerjaannya usai menuruti doktrin panutan. Lalu, bagaimana sebenarnya ulama memaknai hijrah?

Dengan dimikian, ulama Ahlussunnah sudah memiliki dua premis: pertama, Allah berbeda dengan mahluknya; kedua, sifat mahluk adalah bertempat dan butuh. Kesimpulan logisnya, karena Allah berbeda dengan makhlukNya, maka Allah ada tanpa tempat, dan memang tidak butuh tempat. Inilah yang menjadi salah satu landasan akidah Ahlussunnah, Allah ada, eksis tanpa bertempat di mana pun. Bahkan, Allah ada sebelum kata ada itu ada. Jika Anda bertanya kembali, “Bukankah sesuatu yang ada pasti butuh tempat, dan jika tidak bertempat maka susah sekali digambarkan dalam nalar-imaji kita?” Jawabannya sederhana, jika Allah berada dalam jangkauan nalar-imaji Anda, berarti Allah itu sendiri yang sudah terkungkung dalam nalar-imaji Anda yang hanya seorang makhluk. Wallahu a’lam.

💡
Baca juga artikel lain di rubrik ISLAMUNA atau tulisan menarik Azuma Muhammad