Skip to content

Hikmah di Balik Fenomena Guru Gembul

Kemunculan Guru Gembul menyiratkan fenomena pesohor yang tidak memahami Islam secara baik. Meski demikian, ada hikmah di balik fenomena ini.

FOTO Guru Gembul
FOTO Guru Gembul

Melihat perdebatan Guru Gembul dengan Ustadz Nuruddin yang viral pada 9 Oktober kemarin, saya geleng-geleng kepala saat Guru Gembul melayangkan pertanyaan, “Buktikan keberadaan saya sekarang secara rasional!”. Selain menunjukkan bahwa diskusi tersebut tidak seimbang, juga menunjukkan bahwa Guru Gembul belum benar-benar memahami epistemologi dan ragam aliran di dalamnya alih-alih bisa memahami akidah Asy’ariyah.

Menurut saya polemik dan kehadiran Guru Gembul—sejak isu nasab hingga isu makna ilmiah— menyiratkan fenomena intelek pesohor (YouTuber) yang tidak memahami Islam secara baik, khususnya dalam ranah akidah. Selaras dengan kegelisahan Dr. Mohammad Yunus Masrukhin dalam bukunya, “Menjadi Muslim Moderat” yang menyaksikan banyak akademisi Ahlussunnah (para dosen dan peneliti) di Indonesia yang tidak memahami akidah Imam Al-Asy’ari secara mendalam.

Padahal ilmiahnya akidah Asy’ariyah—sebagaimana sudah dipaparkan oleh Ustadz Nuruddin— sudah dijelaskan oleh banyak ulama selama berabad-abad. Dalam istilah saya, akidah Asy’ariyah memiliki epistemologinya tersendiri. Sejauh sebuah disiplin ilmu memiliki perangkat epistemologi, maka sudah bisa dipastikan ia memiliki legitimasi keilmiahannya. Dalam tulisan ini, izinkan saya menambahkan ringkasan epistemologi akidah Asy’ariyah.

Epistemologi Teologi Asy’ariyah

Epistemologi dalam istilah ilmu kalam disebut dengan Nazhariyat Al-‘Ilm yang membahas definisi ilmu, pembagian, sumber, dan implikasinya dalam ranah ketuhanan. Menurut Syekh Ahmad Ath-Thayyib dalam karya, “Nazharat fi Fikr Al-Imam Al-Asy’ari” epistemologi dalam ilmu kalam memiliki peran penting dan topik yang sentral di antara para filosof dan teolog dalam peradaban Islam. Bab pertama buku tersebut, meringkas pembahasan panjang lebar dan rigid tentang epistemologi menurut Imam Al-Asy’ari dan Mazhab Asya’irah.

Hal ini menunjukkan bahwa sebelum memasuki ketuhanan, seseorang perlu memahami terlebih dahulu bagaimana pengetahuan itu diperoleh. Sebab hanya pengetahuan yang sahih dan akurat yang dapat menjadi dasar dari sebuah keyakinan. Tanpa pondasi ilmu, keyakinan hanya akan menjadi taklid buta.

Oleh sebab itu, Imam Al-Asy’ari terlebih dahulu berbicara apa itu ilmu. Ia mendefinisikannya dengan, “Ma bihi ya’lamu al-‘alimu al-ma’lum” artinya, Sebuah perangkat yang dengannya subjek-mengetahui dapat mengetahui objek-diketahui”. Perangkat tersebut tidak lain adalah konsep atau ‘Illah (Causa) yang membuat sang subjek dapat mengetahui objek. Kalimat ini menurut Syekh Ahmad Ath-Thayyib, menunjukkan bahwa subjek-mengetahui (kita) tidak mengetahui sesuatu dengan dirinya, melainkan dengan ‘sesuatu’ di luar dirinya yang disebut kemudian dengan ilmu.

Ilmu dengan demikian adalah aktivitas manusia dalam memperoleh pengetahuan baik melalui rasio maupun indera. Imam Al-Asy’ari kemudian memilih kata Al-‘Ilm untuk merujuk pada pengetahuan-pengetahuan rasional (Al-Ma’lumat Al-‘Aqliyyah), sedang untuk pengetahuan indrawi disebut dengan “Idrak”. Berbeda dengan definisi Muktazilah yang menyebut ilmu pada sebatas “mengindra sesuatu” (Idrak Asy-Syai').

Bahasa Arab

Kumpulan tulisan terkait bahasa Arab dan khazanah ilmunya bisa teman-teman temukan

di sini

Setelah definisi tersebut, ilmu ditilik dari subjeknya terbagi menjadi ilmu manusia yang disebut dengan Al-‘Ilm Al-Hadits (ilmu yang terbatas secara ruang dan waktu). Sementara ilmu Tuhan disebut dengan Al-‘Ilm Al-Qadim (ilmu yang melampaui ruang dan waktu). Ilmu manusia kemudian dibagi berdasarkan jenisnya menjadi dua: 1) pengetahuan butuh penalaran/dalil (kasbiy) dan (2) pengetahuan yang aksiomatik (Dharuriyyin).

Menurut Imam Al-Asy’ari, ada tiga macam sumber pengetahuan (Madarik Al-‘Ulum). Pertama, pancaindra yang lima dan sehat seperti pendengaran, penglihatan, penciuman, dan perabaan. Kedua, informasi (Khabar) yang diberikan secara akurat (Mutawatir) di mana informasi tersebut tidak bisa dijangkau oleh indra secara langsung. Seperti informasi sejarah yang diterima dari selang waktu ke waktu. Ketiga, rasio manusia yaitu dalam aktivitas berpikir, berefleksi, dan menganalogi. Seperti pengetahuan yang diperoleh melalui argumentasi logis baik bersifat induktif (Istiqra’) maupun deduktif (Qiyas).

Teologi Asy’ariyah kemudian dikenal sepanjang sejarah—sebagaimana ditulis Dr. Yunus— sebagai mazhab yang memiliki watak moderatisme. Yaitu epistemologi yang meletakkan secara seimbang antara tekstualitas dan rasional. Di saat yang sama, akidah Asyariyah juga mampu bertahan menghadapi perkembangan zaman di tengah kemunculan ragam Islamisme yang lainnya.

Ragam Epistemologi

Berdasarkan penjelasan di atas jelas bahwa akidah Asy’ariyah memiliki landasan epistemologinya. Setiap ilmu yang memiliki basis epistemologi sebagai syarat sah pengetahuan, ia akan punya legitimasi ilmiahnya. Dengan demikian akidah Asy’ariyah bersifat ilmiah: karena memiliki perangkat epistemologinya.

Dengan demikian, menurut saya, Guru Gembul jelas tidak memahami—karena memang tidak pernah belajar— teologi dalam Islam secara baik, khususnya Asy’ariyah. Di saat yang sama Guru Gembul tidak memahami ragam epistemologi. Saat ia keukeuh menganut paham bahwa yang ilmiah hanya melalui pembuktian indrawi, ia tidak tahu bahwa dalam epistemologi terdapat ragam aliran: rasionalisme, empirisme, hingga idealisme. Semua aliran tersebut memiliki sejarah, peran dan perkembangannya baik dalam peradaban Islam maupun peradaban Barat.

Akhirnya di balik hadirnya fenomena Guru Gembul, ada banyak hikmah yang bisa kita petik. Seperti orang-orang akan terdorong untuk belajar kembali akidah Islam, ilmu-ilmu keislaman kembali diperbincangkan sampai ke akar-akarnya, dan dialektika keilmuan secara sehat. Walhasil, saran saya Guru Gembul selain mengajarkan orang lain untuk berpikir kritis terhadap banyak hal, seyogianya ia juga perlu menambal dan menyempurnakan keilmuannya sendiri. Tabik!


💡
Baca juga artikel lain di rubrik OPINI atau tulisan menarik Lukman Hakim Rohim

Latest