Skip to content

Makmum Kepada Imam yang Tidak Membaca Bismillah

Potongan video ceramah seorang kiai kesohor viral soal makmum kepada imam yang tidak membaca basmalah. Bagaimana sejatinya penjelasan hukumnya?

FOTO Ilustrasi (Unsplash/Rumman Amin)
FOTO Ilustrasi (Unsplash/Rumman Amin)

Belum lama ini viral sebuah potongan video ceramah KH. Zuhrul Anam Hisyam yang berisi hukum ketentuan makmum kepada imam yang tidak membaca bismillah. Dalam video yang viral itu, kiai karismatik asal Banyumas itu mengingatkan para santri dan jamaahnya untuk tidak makmum kepada imam yang tidak membaca bismillah saat hendak membaca fatihah. Ternyata potongan jawaban beliau itu kemudian menjadi viral dan membuat kebakaran jenggot kaum sumbu pendek. Sebab dalam video yang viral itu beliau secara lugas menyatakan bahwa tidak sah hukumnya kita (Syafi’iyyah) makmum salat kepada imam yang tidak membaca bismillah saat baca Al-Fatihah. Saat itu, beliau sedang tegas menjelaskan bahwa kita jangan makmum kepada imam yang tidak membaca bismillah, karena salat kita akan menjadi tidak sah. Sayangnya, rekaman penjelasan lengkap beliau saat mengulas tuntas berbagai pendapat dalam permasalahan itu tidak ditayangkan.

Sebenarnya, bagaimana sih hukumnya seorang jamaah yang merupakan penganut Syafi’iyyah yang salatnya makmum kepada imam yang tidak mewajibkan membaca basmalah saat membaca Al-Fatihah? Dalam hal ini, jika mengikuti pendapat dalam kitab Hasyiyah Al-Jamal, jikalau jelas-jelas imamnya tidak membaca basmalah, maka hukum salatnya tidak sah, kecuali untuk orang awam (‘âmî) yang tidak tahu hukum, ini menurut pendapat yang menyatakan bahwa ‘âmî adalah orang yang tidak bermazhab. Keterangan ini sumbernya dari Hasyiyah Al-Jamal Juz I hlm. 521:

لاَ يَصِحُّ اقْتِدَاؤُهُ بِمَنْ يَعْتَقِدُ بُطْلاَنَ صَلاَتِهِ كَشَافِعِيٍّ إِقْتَدَى بِحَنَفِيٍّ-الى ان قال-وَهُوَ ظَاهِرٌ لِأَنَّ اعْتِقَادَهُ صِحَّةَ صَلاَتِهِ صَيَّرَهُ مِنْ أَهْلِ التَّحَمُّلِ عِنْدَهُ اهـ ع ش على م ر (حاشية الجمل, 1/521)

Jika menurut pendapat Abu Ishaq Al-Marwazi, Syekh Abu Hamid Al-Isfarayini, Al-Bandaniji, Al-Qadhi Abu Ath-Thayyib, dan mayoritas ulama (mazhab Syafi’i) lainnya. Mereka berpendapat bahwa jika kita mengetahui secara pasti seseorang meninggalkan sesuatu yang kita anggap sebagai syarat kesahan salat, maka tidak sah bermakmum kepadanya.

Sementara menurut Imam Muhyidin Syaraf An-Nawawi, ada empat klasifikasi hukum, yaitu:

Pendapat pertama adalah pendapat yang dikemukakan oleh Al-Qaffal. Menurut Imam Al-Qaffal, bermakmum kepada imam yang berbeda mazhab adalah sah secara mutlak. Konklusi hukum itu dilihat dari sudut pandangan imam itu sendiri. Artinya, karena imam menyakini bahwa salat yang dia lakukan adalah sah, maka salat orang yang bermakmum kepadanya otomatis juga sah, tanpa harus melihat perbedaan keyakinan keduanya dalam soal-soal furu.

أَحَدُهَا- اَلصِّحَّةُ مُطْلَقًا: قَالَهُ الْقَفَّالُ اِعْتِبَاراً بِاعْتِقَادِ الْاِمَامِ

Artinya: “(Pertama) sah secara mutlak. Pandangan ini dikemukakan oleh oleh Al-Qaffal dengan melihat pada keyakinan imam itu sendiri.” (Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab, juz, 4, h. 182).

Biografi

Sepilihan riwayat hidup para tokoh dapat teman-teman temukan

di sini

Pendapat kedua menyatakan bahwa dihukumi tidak sah secara mutlak. Ini adalah pendapat yang dianut oleh Abu Ishaq Al-Isfarayini. Alasannya karena yang ditanyakan adalah jika seorang imam melakukan apa yang kami anggap sebagai syarat atau kami mewajibkannya, padahal ia tidak menyakini apa yang dia lakukan adalah sebagai syarat sah atau kewajiban maka ia sama saja tidak dianggap melakukannya.

وَالثَّانِي- لَا يَصِحُّ اقْتِدَاؤُهُ مُطْلَقًا: قَالَهُ أَبُو إِسْحَاقَ اَلَإِسْفَرَايِنِيُّ لِأَنَّهُ وَإِنْ أَتَى بِمَا نَشْتَرِطُهُ وَنُوْجِبُهُ فَلَا يَعْتَقِدُ وُجُوبَهُ فَكَأَنَّهُ لَمْ يَأْتِ بِهِ

Artinya: “(Kedua) tidak sah secara mutlak. Pandangan ini dikemukakan oleh Abu Ishaq Al-Isfarayini karena jika imam melakukan sesuatu yang kita syaratkan atau wajibkan tetapi ia tidak menyakini kewajibannya maka ia seperti tidak melakukannya.” (Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab, juz 4, h. 182).

Pendapat ketiga yang menyatakan bahwa jika imam melakukan apa yang dianggap oleh mazhab, maka makmum telah melakukan apa yang dipandang sah menurutnya maka sah bermakmum kepada imam tersebut. Namun, apabila imam meninggalkan apa yang dianggap sebagai syarat bagi kesahan salat dalam pandangan mazhab makmum, atau makmum meragukannya maka tidak sah bermakmum kepadanya.

وَالثَّالِثُ-- إِنْ أَتَي بِمَا نَعْتَبِرُهُ نَحْنُ لِصِحَّةِ الصَّلَاةِ صَحَّ الْاِقْتِدَاءُ وَإِنْ تَرَكَ شَيْئاً مِنْهُ أَوْ شَكَّكْنَا فِي تَرْكِهِ لَمْ يَصِحَّ

Artinya, “(Ketiga) jika imam melakukan apa yang kita anggap sebagai syarat kesahihan salat, maka sah bermakmum kepadanya dan jika ia meninggalkan sesuatu yang kami anggap sebagai kesahan salat atau kita meragukan dalam meninggalkannya, maka tidak sah bermakmum kepadanya” (Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab, juz, 4, h. 182)

Adapun pendapat yang keempat menyatakan bahwa jika imam telah terbukti secara nyata meninggalkan sesuatu yang dianggap terkait dengan kesahihan salat dalam pandangan mazhab makmum maka tidak sah bermakmum kepadanya. Tetapi jika terbukti secara nyata melakukan seluruh hal yang menjadi kesahan salat menurut pendapat madzhabnya makmum atau diragukannya, maka bermakmum kepadanya adalah sah. Pendapat ini dipegangi oleh Abu Ishaq Al-Marwazi, Syekh Abu Hamid Al-Isfarayini, Al-Bandaniji, Al-Qadhi Abu Ath-Thayyib, dan mayoritas ulama dari kalangan mazhab Syafi’i.

وَالرَّابِعُ-- وَهُوَ الْأَصَحُّ وَبِهِ قَالَ أَبُو إِسْحَاقَ اَلْمَرْوَزِيُّ وَالشَّيْخُ أَبُو حَامِدٍ اَلْإِسْفَرَايِنِيِّ وَالْبَنْدَنِيجِيُّ وَالْقَاضِي أَبُو الطَّيِّبِ وَالْأَكْثَرُونَ إِنْ تَحَقَّقْنَا تَرْكَهُ لِشَيْءٍ نَعْتَبِرُهُ لَمْ يَصِحَّ الْاِقْتِدَاءُ وَاِنْ تَحَقَّقْنَا الْإِتْيَانَ بِجَمِيعِهِ أَوْ شَكَّكْنَا صَحَّ

Artinya: “(Pendapat Keempat) yaitu pendapat yang paling sahih yang dikemukakan oleh Abu Ishaq Al-Marwazi, Syaikh Abu Hamid Al-Isfarayini, Al-Bandaniji, Al-Qadhi Abu Ath-Thayyib, dan mayoritas ulama (mazhab Syafi’i). (Pendapat ini menyatakan) jika kita mengetahui secara pasti ia meninggalkan sesuatu yang kita anggap sebagai syarat kesahan salat, maka tidak sah bermakmum kepadanya. Tetapi jika kita mengetahui secara pasti ia melakukan semua hal yang menjadi syarat kesahan salat menurut pandangan kita atau kita meragukannya maka sah bermakmum kepadanya.” (Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab, juz, 4, h. 182)


💡
Baca juga artikel lain di rubrik ISLAMUNA atau tulisan menarik Ahmad Muhakam Zein

Latest