Skip to content

Manusia dalam Pandangan Syekh Mahmud Hamdi Zaqzuq

Pandangan guru besar nan filsuf Almarhum Syekh Mahmud Hamdi Zaqzuq mengenai manusia. Ia memaparkannya dalam sebuah tulisan di Majalah Al-Azhar.

FOTO: Syekh Prof. Mahmud Hamdi Zaqzuq.
FOTO: Syekh Prof. Mahmud Hamdi Zaqzuq.

Prof. Mahmud Hamdi Zaqzuq adalah pakar filsafat Islam yang selalu menarik saat ia membicarakan hal-hal mengenai pemikiran. Tulisan mengenai pemikiran yang tidak terlalu panjang namun padat itu selalu ia hidangkan ke para pembaca setia majalah Al-Azhar di setiap bulannya.

Tulisan ini berusaha mengulas beberapa poin mengenai "manusia" yang ditulis oleh Prof. Dr. Mahmud Hamdi Zaqzuq pada bulan Rabiul Awwal 1440 H (2018 M). Di majalah tersebut, ia menjelaslan mengenai pandangannya terhadap manusia ditinjau dari pemikiran Islam.

Topik mengenai manusia dianggap sebagai problematika yang rumit jika melihat eksistensinya di muka bumi ini. Bumi yang kita injak ini, seharusnya tak akan muncul problem jika tak ada manusia di dalamnya. Saat Allah SWT menghendaki penciptaan manusia, malaikat bertanya dan mendeskripsikan bahwa manusia akan merusak dan akan membunuh. Dalam arti manusia adalah biang dari sumber kerusakan seperti yang telah termaktub dalam Surah Al-Baqarah ayat 30.

Mewaspadai Hijrah Salah Arah
Banyak pelaku hijrah yang lantas keluar dari pekerjaannya usai menuruti doktrin panutan. Lalu, bagaimana sebenarnya ulama memaknai hijrah?

Keberadaan manusia di muka bumi ini menjadi sumber masalah. Bumi ini justru akan damai-damai saja tak ada problem apapun kalau tanpa hadirnya manusia.

Namun, Allah lebih mengetahui tujuan diciptakannya manusia ke muka bumi ini. Allah menciptakan manusia untuk mengenal tentang manusia itu sendiri, mengenal sesuatu yang ada di sekitar kehidupannya dan agar manusia mengetahui Allah dan menghamba kepada-Nya. Manusia ditugaskan sebagai khalifah untuk mengurus bumi ini, agar kehidupan manusia penuh akan makna. Allah SWT memerintahkan manusia ini untuk menjalankan tugasnya, yaitu beribadah kepada Allah SWT.

وما خلقت الجن والإنس إلا ليعبدون

Prof. Mahmud Hamdi Zaqzuq menafsirkan ayat tersebut bahwa manusia beribadah kepada Allah SWT, bukan hanya bertasbih dan mengagungkan Allah SWT, semata seperti yang dilakukan oleh para malaikat. Akan tetapi, ibadah yang diinginkan di dalam ayat ini adalah makna yang lebih umum dan lebih luas dari makna yang sempit barusan. Yaitu bahwa semua amal yang dilaksanakan oleh umat manusia di dalam kehidupan ini, baik amal tersebut berbentuk amal dunia ataupun amal akhirat selagi manusia bertujuan melakukan itu agar menginginkan dan mendapatkan keridhaan Allah SWT, menghidupkan bumi, menciptakan kebaikan kepada seluruh manusia dan agar seorang hamba mengenal Tuhannya dengan secara sadar. Yang paling penting bagi manusia adalah beribadah kepada Allah dengan didasarkan atas pilihannya.

Sedangkan malaikat tidak atas kehendaknya sendiri. Mereka beribadah itu mengikuti apa yang dikendaki dan diperintahkan oleh Allah SWT. Allah menggambarkan dalam Al-Quran bahwa mereka (malaikat) tidak pernah melakukan dosa sekecil apapun kepada Allah, mereka juga melakukan apapun yang diperintahkah Allah SWT kepada mereka. Sebagaimana termaktub dalam Surah At-Tahrim ayat 6.

Sedangkan bedanya, manusia berani mengatakan tidak terhadap sesuatu yang diperintahkan Allah kepadanya. Al-Quran menggambarkan dalam Surah Al-Baqarah ayat 93. Mereka mengatakan kami mendengar dan kami berdosa. Jika manusia menginginkan keimanan maka berimanlah dan jika manusia berharap kepada kekafiran maka silahkan ia memilih pada jalan kekafiran. Dengan demikian, manusia adalah makhluk yang diberi kehendak (masyi'ah) untuk menjalankan kehendak sendiri.

Resensi

Kumpulan ulasan buku dan kitab menarik dapat teman-teman baca

di sini

Syekh Prof. Dr. Mahmud Hamdi Zaqzuq menguatkan kembali bahwa sebenarnya permasalahan besar di dunia ini adalah problem mengenai manusia. Sehingga banyak dari para pemikir dan para filsuf memikirkan secara serius terkait entitas makhluk yang bernama manusia ini. Mereka meneliti tentang karakteristiknya yang membedakan manusia dengan entitas makhluk yang lain.

Sebagian filsuf Yunani pada masa awal mendefinisikan manusia sebagai hewan yang berpikir (hayawan natiq), entitas yang berakal. Para ulama pakar etika mendefinisikan manusia sebagai hewan yang berakhlak. Entitas yang mempunyai nilai-nilai baik. Manusia satu-satunya hewan yang mempunyai etika yang seharusnya ditetapkan dalam kehidupannya.

Sedangkan para tokoh sosialis, mendefinisikan manusia sebagai hewan yang bersosial atau entitas sosial. Adapun agamawan menganggap manusia sebagai hewan yang beragama. Sebab hanya manusia yang beragama di muka bumi ini.

Para filsuf modern menentukan bahwa ada lima sifat tipologis yang membedakan manusia dengan entitas yang lain.

Sifat pertama adalah teknikus. Manusia  menciptakan bentuk teknologi atau membuat sesuatu karya tertentu untuk dipakai sarana kemudahan manusia.

Sifat kedua yang membedakan manusia dengan entitas yang lain adalah turats. Manusia sebagai makhluk sosial tentu akan bisa bersosial dengan jalan warisan orang-orang sebelumnya.

Ketiga, progresif. Selalu ingin berkembang. Tentu manusia selalu ingin berprogres. Tidak mau mandek. Ia terus berusaha menjalankan kehidupannya dengan hal-hal yang baru.

Keempat, mampu berpikir murni dan pemikirannya berbeda dengan pemikiran-pemikiran entitas manusia yang lain. Bahkan manusia mampu berpikir yang sama sekali tidak bertujuan terhadap pekerjaan sedikit pun. Seperti manusia mampu berpikir untuk menciptakan ilmu untuk ranah pengetahuan.

Dan kelima, manusia mampu berpikir bahkan mengenai tentang esensi dirinya. Manusia juga merasakan kegalauan tentang dirinya sendiri. Manusia adalah makhluk yang mempunyai kesadaran yang sempurna tentang dirinya yang tidak akan hidup selamanya.

Manusia adalah Entitas yang Paradoks

Ada hal yang paradoks dari pembentukan manusia. Manusia dalam pandangan Al-Quran adalah makhluk yang lemah. Tetapi, di suatu sisi, manusia juga mampu menguasai segala hal di atas kekuatannya. Tragedi sejarah menjelaskan itu, bahwa sebagian raja merasa dirinya mempunyai kekuatan. Seperti Firaun yang bahkan dengan merasa gagah dan mempunyai kekuatan, ia merasa bahwa tidak ada yang lebih kuat darinya. Bahkan ia mengaku sebagai Tuhan alam semesta.

Menata Niat, Seribu Jalan Menghamba kepada Tuhan
Selain ibadah ritual, kita bisa beribadah kepada Tuhan dengan berbagai cara. Kuncinya ada pada niat yang ditata.

Bagaimana kita mencari penghubung antara kelemahan dan kekuatan manusia ini?

Jika dibandingkan dengan entitas makhluk yang lain, manusia bersifat lemah. Kalau kita lihat, banyak entitas makhluk selain manusia yang lebih kuat darinya. Ada sebagian entitas yang bisa mengindra lebih tajam dari manusia. Kalau kita lihat kelemahan, manusia ketika masih bayi, untuk bisa bergerak jalan dengan kakinya saja membutuhkan waktu yang panjang. Sedangkan entitas yang lain selain manusia, ada entitas makhluk yang lain yang langsung bisa menggerakkan dan berjalan dengan kedua kakinya. Tanpa harus butuh waktu yang lama.

Ada juga entitas selain manusia yang mempunyai alat untuk menyelamatkan dan menjaga dirinya. Seperti entitas yang bertaring, yang berbisa ketika melawan musuh-musuhnya. Bahkan ada juga entitas yang bisa bertahan dan kuat menahan perubahan cuaca yang ekstrim sekalipun. Sedangkan manusia jika di cuaca dingin yang ekstrim tanpa berbusana maka kemungkinan manusia tersebut mati kedinginan.

Dari keparadoksan ini, manusia juga mampu menundukkan seluruhnya yang ada di dalam alam ini dengan kehendaknya. Entitas manusia bisa menundukkan hewan seganas apapun menjadi tunduk dan baik, bahkan bisa melewati kesulitan seberat apapun dengan satu kekuatan, yaitu menggunakan akalnya. Dengan demikian, jika ditinjau dari segi badan, manusia adalah entitas yang lemah. Namun di satu sisi, ia bisa menundukkan apapun di alam raya ini dengan akal manusia. Akal ini adalah pemberian Allah yang harus dinikmati. Dengan ini, manusia mendapatkan kemulian di hadapan Allah dan keunggulan di hadapan entitas makhluk yang lain.

Kekuatan hakiki manusia ada dalam kekuatan akalnya. Kekuatan materi tidak bernilai apa-apa tanpa kekuatan akal.

Prof. Mahmud Hamdi Zaqzuq menutup tulisannya seolah menyimpulkan bahwa kekuatan fisik (atau materi) tanpa kekuatan akal adalah kekuatan yang lalim. Tak bisa mengetahui mana kebenaran dan mana kebatilan dan tak bisa membedakan mana yang benar dan yang salah.

Manusia dituntut untuk menggunakan akalnya di seluruh urusannya. Maka, selagi menggunakan akal sehat dan difungsikan dengan benar, ia termasuk manusia kuat walau lemah badannya. Wallahu A'lam.


💡
Baca juga artikel lain di rubrik OPINI atau tulisan menarik Irfan Rifqi Fauzi

Latest