Skip to content

Mari Merdeka(kan)!

Sebuah catatan reflektif di perayaan hari kemerdekaan Indonesia yang ke-76.

Foto: Ilustrasi Mari Merdeka(kan)! (Anggit Rizkianto/Unsplash)
Foto: Ilustrasi Mari Merdeka(kan)! (Anggit Rizkianto/Unsplash)

Bebaskanlah dirimu dari belenggu penjajahan siapa dan apa saja (kecuali Allah), maka engkau akan merasakan betapa nikmatnya kemerdekaan yang sesungguhnya- Gus Mus

Meski HUT (Hari Ulang Tahun) Kemerdekaan RI tahun 2021 masih di tengah-tengah masa pandemi, namun masyarakat tetap khidmat merayakannya. Jalanan, gapura, dan gerbang-gerbang desa tampak bersolek dan ceria menyambut perayaan kemerdekaan Indonesia. Yang sangat berbeda di perayaan tahun ini adalah tidak ada perayaan yang gegap gempita dan melibatkan kerumunan orang banyak.

Padahal sebelum ada pandemi, perayaan ulang tahun kemerdekaan RI setiap tahunnya selalu dirayakan secara gempita di berbagai daerah. Ragam acara massal, karnaval, dan aneka seremoni perayaan, hingga beragam perlombaan selalu semarak digelar secara swadaya. Semua digelar dengan alasan dan tujuan yang sama, yakni untuk meneladani, merayakan, dan mensyukuri karunia Tuhan berupa kemerdekaan bangsa Indonesia tercinta.

Perayaan 17 Agustus tahun 2021 kali ini, bangsa Indonesia sudah memasuki usia 76 tahun. Usia yang tidak bisa dikatakan muda lagi dan sudah cukup matang sebagai sebuah negara. Di kisaran usia 70 ini, Indonesia sudah tidak seharusnya lagi masih mengalami masa labil, galau dan gagap atas berbagai problematika yang dihadapinya. Usia 76 rasanya juga sudah cukup untuk sebenar-benar merealisasikan cita-cita para pahlawan bangsa yang telah rela berdarah-darah serta mempertaruhkan nyawa demi kemerdekaan Indonesia.

Lantas, sudahkah cita-cita para pejuang bangsa itu kita wujudkan? Bilakah dengan gempita seremonial yang kita lakukan itu termasuk kategori upaya meneruskan perjuangan kemerdekaan para pejuang? Kenapa pula setelah kesekian kali kita meneladani, merayakan dan berupaya mengisi kemerdekaan, negeri kita Indonesia masih saja berkutat di berbagai problematika kebangsaan klasik yang tak kunjung purna? Terlebih lagi usai bangsa kita dihantam wabah Covid-19, berbagai problematika dan ego personal maupun kelompok seketika menyeruak. Masih efektifkah kita secara gempita merayakan ulang tahun kemerdekaan bangsa kita?

Menelaah Makna Hijrah
Sekilas menyelisik makna hijrah dari mula-mula di era Nabi hingga dewasa ini.

Kegalauan dan pertanyaan-pertanyaan saya di atas, semacam diamini oleh JS Furnivall, pakar dan administrator asal Inggris dalam satu karyanya, Netherlands East Indies: A Study of Plural Economy (1944). Dalam bukunya itu, Furnivall menyebut Indonesia sebagai improbable nation, bangsa yang penuh problematika dan tidak mungkin (bertahan), tersebab sisi pluralitasnya dan satu karakteristik komunalnya. Masyarakat plural sendiri menurut Furnivall adalah masyarakat yang terdiri atas dua unsur atau lebih tatanan sosial yang hidup berdampingan, tapi tanpa bercampur dalam satu unit politik.

Agaknya, pertanyaan saya dan pernyataan Furnival di atas cukup layak menjadi pemantik kontemplasi dan menjadi bahan refleksi bersama di momen perayaan HUT RI kali ini.

Meski sebenarnya secara lebih lugas, Furnivall sudah tidak dalam konteks skeptis sebagaimana yang saya alami, tapi ia justru sudah memasuki level pesimistis dan naif. Bisa jadi karena ia kurang observasi dan tidak melihat ada sejumlah faktor pemersatu di tengah pluralisme Indonesia. Ada pula karakteristik khusus dari masyarakat Indonesia yang justru bisa menjadi modal besar bangsa Indonesia berbenah dan bangkit melawan krisis usai diterpa badai Corona.

Merdeka(kan) Diri

Di mukadimah, saya mengawali opini ringan ini dengan sebuah kata bijak yang saya ambil dari salah satu jejaring sosial punya Gus Mus, kiai sepuh yang juga dikenal sebagai budayawan asal Rembang. Ketika saya membaca wejangan beliau tersebut, sontak dalam pikiran saya terbersit untuk menuliskan sebuah catatan yang terkait dengan gempita perayaan 17 Agustus tiap tahunnya. Sebab, saya pribadi sangat mengamini pernyataan beliau itu dan merasa dari status itu ada semacam spirit merdeka yang patut diurai dan digelorakan.

Meski sejatinya, membincang term kemerdekaan bagi saya adalah hal yang problematis dan dilematis. Sebab, saya pribadi pun merasa sebagai manusia yang masih belum merdeka dari banyak hal. Termasuk merdeka dari kedirian, kemalasan, dan hawa. Perasaan belum merdeka semacam ini barangkali juga masih menjangkiti banyak orang. Terlebih lagi di masa-masa pandemi seperti sekarang ini. Di masa pandemi ini, kita banyak disuguhi orang-orang di sekitaran kita yang mempertontokan bila mereka masih belum merdeka (masih dijajah) oleh ego, emosi, dan ambisi pribadi.

Jika kita mau menelisik berbagai titik pedalaman di penjuru nusantara, tidak sedikit rakyat Indonesia yang masih juga belum merasakan apa itu kemerdekaan hidup. Tersebab mereka ini tidak banyak mengalami perbedaan hidup sejak ratusan tahun yang lalu. Mereka masih terus hidup terpencil di pulau-pulau kecil, terbelakang, tak tersentuh, dan hidup dalam “penjajahan” yang terus menderanya hingga sekarang. Kemerdekaan macam apa dan kemerdekaan dari apa yang harus mereka rayakan? Orang dalam hal pokok hidup (ekonomi, kesehatan dan pendidikan) saja mereka masih selalu tertekan, bahkan itu semua terkadang menjadi ancaman?

Jika melihat realitas semacam itu, adakah individu kiwari di pedalaman yang sebenar merdeka? Sungguh ironis, kasihan dan memang butuh segera ada penanganan khusus terkait “penjajahan” di era teknologi dan modern seperti sekarang. Namun meski begitu, perayaan kemerdekaan itu tetap harus ada, setidaknya ada secara fakultatif, kontemplatif, dan reflektif. Harapannya tentu saja perayaan itu tidak berhenti pada level seremoni perayaan kemerdekaan semata, tapi juga menjadi spirit positif untuk meneruskan perjuangan yang telah dilakukan para pahlawan.

Nyala Api Menara
Menara tidak hanya dipergunakan untuk mengumandangkan azan. Ada fungsi lain yang menarik untuk ditilik.

Saya tiba-tiba jadi ingat pernyataan Bung Karno dalam sebuah meme, “Bahwa perjuangan saya (Soekarno) tidak begitu berat karena yang saya lawan adalah para penjajah. Tapi perjuangan kalian para pemimpin setelah saya akan terasa lebih berat karena yang dilawan adalah bangsa sendiri. Yakni, kemiskinan yang ada dalam bangsa, korupsi, kriminalitas, krisis moralitas, dan juga soal kesejahteraan penduduk bangsa yang belum merata. Sungguh sangat benar dan relevan sekali pernyataan yang dilontarkan Bung Karno itu.

Wabakdu, semoga setiap warga Indonesia bisa memerdekakan dirinya sendiri dari belenggu penjajahan siapa dan apa saja (kecuali Allah), agar bisa merasakan betapa nikmatnya kemerdekaan yang sesungguhnya, sebagaimana dawuh Gus Mus. Jika masing-masing individu sudah berhasil merdeka secara utuh, insya Allah itu akan berkembang menjadi kemerdekaan bangsa secara kolektif. Jika sudah berhasil merdeka, niscaya apa yang dikhawatirkan pengamat asing semacam Furnivall tidak akan pernah terjadi di Indonesia. Semoga! Dirgahayu Indonesia!


💡
Baca juga artikel lain di rubrik OPINI atau tulisan menarik Ahmad Muhakam Zein

Latest