Skip to content

Memorabilia Para Santri di Masjid Al-Azhar

Mengenang hari-hari para talib yang dahulu hidup di sekitaran (mujawir) masjid Al-Azhar.

Jika berbicara tentang masjid Al-Azhar, kita tidak akan terlepas dari kisah orang-orang yang menuntut ilmu di dalamnya. Karena, ketika pembaca membuka sumber-sumber bacaan seputar hal ini, mereka akan menemukan bahwasanya masjid Al-Azhar bukan hanya sebagai tempat beribadah, melainkan juga sebagai asrama para pelajarnya.

Syahdan, para pelajar yang tinggal masjid Al-Azhar disebut dengan Mujawir, dari bahasa Arab jawara-yujawiru yang bermakna tinggal berdekatan, berdampingan, bersebelahan, dan seumpamanya.

Asrama di masjid Al-Azhar tempo dulu disebut dengan istilah Riwaq. Agar tertib, para mujawir yang berasal dari berbagai negeri dan benua dibagi sesuai dengan asal daerah mereka, seperti Riwaq Asy-Syawam (santri negeri Syam dan sekitar), Riwaq Al-Magharibah (santri negeri barat Mesir), Riwaq Al-Hunud (santri negeri India dan sekitar), Riwaq Al-Jawah (santri Nusantara), dan lainnya. Selain dinamai dengan asal daerah, riwaq juga dinamai sesuai mazhab, sebagai misal Riwaq Al-Hanafiyyah, atau sesuai nama pendiri riwaq (seperti Riwaq Al-‘Abbasi), dan riwaq lainnya yang berjumlah 29 riwaq.

Al-Minsyawi, Sang Pemilik Suara yang Tersedu
Mesir memiliki sederet nama qari kenamaan. Al-Minsyawi salah satu yang dikenal dunia. Meski 52 tahun berlalu, sosoknya tak tergantikan.

Tiap-tiap riwaq dilengkapi dengan pintu, penjaga, rak buku, lemari, dan Syekh Riwaq dan Naqib Riwaq sebagai penanggung jawab atas kebutuhan para penghuni riwaq, seperti makan-minum, kebersihan, keuangan, dan lainnya. Selain itu, Syekh Riwaq dan Naqib Riwaq juga mencatat semua hal yang berkaitan dengan para penghuni, baik data diri, asal daerah, kurikulum yang dipelajari, siapa saja guru yang mengajarinya, siapa penanggung jawab kitab-kitab yang berada di rak buku riwaq, dan sebagainya.

Hal yang juga tak kalah menarik untuk diketahui, bahwasanya Syekh Riwaq dipilih oleh hasil kesepakatan para penghuni tiap riwaq. Biasanya, yang dipilih ialah mereka yang juga berasal dari daerah yang sama sesuai nama riwaq masing-masing. Namun, ada syarat lain yakni mereka adalah pengajar di Al-Azhar. Atau bisa juga salah satu Syekh dari 4 mazhab, sesuai dengan mazhab mayoritas penghuni di riwaq itu.

Dalam masalah belajar, para mujawir dibebaskan memilih pelajaran yang ia mau. Para pengajar juga tidak terlalu mementingkan kehadiran santri di majelis keilmuan ataupun mempermasalahkan keterlambatan mereka. Mereka dibiarkan bebas. Namun, meski terlihat bebas, nilai dan tingkatan mereka akan dinilai dengan asas kerajinan dan ketekunan mereka.

Sebelum menghadiri pelajaran, para santri Al-Azhar biasanya mengulang pelajaran secara berjamaah ataupun sendirian sebelum datangnya pengajar. Bahkan, pengulangan pelajaran tersebut dipimpin oleh santri yang paling pandai di antara mereka (mu'id). Sehingga, ketika pengajar telah datang, mereka semua sudah siap untuk menerima pembelajaran baru tanpa harus merepotkan para pengajar atau menghabiskan waktu belajar dengan mengulang hal-hal yang telah lalu.

Yang Luput dari Bazar Buku Kairo
Bazar buku kali ini bertema Fi al-Qiraati Hayatun (di dalam membaca ada kehidupan). Sejumlah catatan disarikan demi mewujudkan harapan-harapan.

Jika buku pelajaran atau bacaan lainnya mahal, mereka membelinya secara berkongsi dan membacanya bersama-sama. Sehingga, tidak ada alasan untuk tidak belajar dan membaca hanya karena tidak memiliki buku. Ketika akhirnya buku yang dipelajari akan rampung, mereka mengharumkan ruangan belajar hari itu dengan kemenyan dan wewangian, buah-buahan, membaca Al-Quran, dan mencium tangan gurunya setelah khataman secara bergiliran.

Pembelajaran dalam seminggu selesai hingga hari Kamis. Di hari itu, para mujawir mengambil kesempatan tersebut untuk liburan ke Bulaq (daerah pesisir sungai Nil di Kairo) atau tempat lainnya untuk merehatkan badan, bermain bola, mencuci baju, dan sebagainya.

Jika melihat kehidupan santri di masjid Al-Azhar tempo dulu melalui sumber-sumber tulisan, kita bak menyusuri masa tersebut. Sangat banyak hal-hal menarik lainnya seputar kehidupan para mujawir, baik dari kejadian, pulang kampung, bermaulid, melayat ke rekan mujawir yang meninggal, dan masih banyak lagi. Meskipun sudah tidak ada lagi sistem asrama di dalam masjid Al-Azhar pada hari ini, Semoga semangat para mujawir tersebut dapat menjadi pembelajaran dan pengalaman bagi generasi santri Al-Azhar hingga saat ini.


Baca juga artikel lain di rubrik BUDAYA atau tulisan menarik lain Amirul Mukminin

Latest