Mengenal Kitab Hasyiah Pertama dari Al-Azhar dalam Disiplin Ilmu Fikih Mazhab Syafi’i

Para ulama merupakan pewaris para nabi. Mereka menerima warisan dan mewariskan ajaran agama bersama tafsir dan penjelasannya. Bukan hanya itu, metode dan cara mewariskan dan memahami warisan ini juga ditularkan kepada generasi setelahnya. Sehingga pada gilirannya, warisan ini dikelompokkan menjadi beberapa kelompok yang kemudian membentuk sebuah disiplin ilmu keislaman.

Dalam sejarah, Islam mengenal beragam jenis karya dalam berbagai disiplin ilmu. Dalam kitab ‘Abqariyyah At-Ta’lif Al-‘Arabi, Prof. Dr. Kamal ‘Arafat Nabhan mendata tidak kurang dari 25 jenis karya dalam tradisi keilmuan Islam. Keragaman karya ini bukan muncul secara tiba-tiba, melainkan ada faktor tertentu yang melatarbelakanginya. Di antara faktornya adalah kesadaran para ulama akan tuntutan zaman. Apapun tantangan yang dihadapinya, warisan keislaman yang mereka terima dari generasi sebelumnya harus terus mengalir kepada generasi setelahnya. Maka, dibutuhkan kreativitas dalam mengemas warisan ini agar tetap bisa diterima dan dicerna. Sehingga muncullah ragam jenis karya berupa matan, syarah, hasyiah, takrir, dan lainnya.

Dalam tulisan ini, penulis akan berusaha mengulas kitab hasyiah pertama dari Al-Azhar dalam disiplin ilmu fikih mazhab Syafi’i. Namun sebelum masuk ke pembahasan inti, kita perlu mengenal terlebih dahulu apa itu kitab hasyiah.

Hasyiah pada dasarnya adalah bagian kosong yang terletak di samping kanan dan kiri sebuah lembaran kitab. Biasanya ruang kosong ini digunakan untuk mencatat keterangan yang didapat dari seorang guru atau keterangan pribadi yang didapat saat mutalaah. Kemudian kata hasyiah digunakan untuk menyebut catatan yang ditulis di ruang kosong tadi.

Pada perkembangan selanjutnya, kata hasyiah dijadikan sebagai istilah untuk menyebut kitab yang berisi penjelasan atas syarah. Sementara syarah adalah penjelasan atas matan. Sebagai contoh, kitab Minhaj Ath-Thalibin merupakan kitab matan yang ditulis oleh Imam An-Nawawi. Kemudian kitab tersebut diberi penjelas dalam bentuk kitab syarah oleh Imam Jalaluddin Al-Mahalli. Syarah atau penjelasan Imam Jalaluddin Al-Mahalli itu lantas diberi penjelas oleh Syekh Syihabuddin ‘Amirah Al-Burullusi. Penjelas atas penjelas inilah yang kemudian disebut sebagai kitab hasyiah. Tentu masih banyak lagi hal mendasar yang membedakan antara syarah dan hasyiah selain penjelasan tadi, namun gambaran sederhana ini kiranya cukup untuk mengawali perkenalan.

Dari penjelasan di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa kitab hasyiah lahir dari kitab syarah. Namun perlu disebutkan juga di sini bahwa ada beberapa kitab membawa nama hasyiah atau hawasyi, tapi ia bukan lahir dari kitab syarah, melainkan lahir langsung dari kitab matan. Tentu meskipun membawa nama hasyiah kitab ini tidak bisa kita kategorikan sebagai kitab hasyiah dengan barometer di atas. Meskipun jika kita mengikuti barometer lain, jenis kitab ini bisa dimasukkan dalam kategori kitab hasyiah juga.

Lantas, kitab hasyiah fikih Syafi’i apa yang pertama kali lahir di lingkungan Al-Azhar?

Syekh Syihabuddin Al-Burullusi (w. 957 H) yang populer dengan nama ‘Amirah mungkin salah satu di antara yang pertama menulis hasyiah dalam fikih Syafi’i, yaitu Hasyiah 'ala Syarh Al-Mahalli 'ala Minhaj Ath-Thalibin. Ulama sezaman yang juga menulis hasyiah dalam fikih Syafi’i adalah Syekh Syihabuddin Ahmad Ar-Ramli (w. 957 H) yang memiliki Hasyiah 'ala Syarh Asna Al-Mathalib 'ala Matn Ar-Raudh Ath-Thalib. Ada pula Syekh Abulhasan Al-Bakri (w. 952 H) yang memiliki Hasyiah 'ala Syarh Al-Mahalli 'ala Minhaj Ath-Thalibin. Kitab ketiga baru terbit belakangan. Sementara dua kitab pertama telah terbit lama. Ketiganya merupakan pemuka ulama mazhab Syafi’i di Al-Azhar.

Di samping memiliki Hasyiyah 'ala Syarh Al-Mahalli, Syekh ‘Amirah juga memiliki Hasyiah 'ala Fath Al-Wahhab 'ala Manhaj Ath-Thullab karya Syekh Zakariyya Al-Anshari. Demikian juga Syekh Syihabuddin Ar-Ramli, beliau juga memiliki Hasyiah 'ala Tuhfah Ath-Thullab 'ala Matn At-Tahrir karya Syekh Zakariyya Al-Anshari. Kedua kitab ini belum terbit dan masih berupa manuskrip yang tersimpan di Perpustakaan Umum Al-Azhar.

Awalnya penulis mengira bahwa ketiga ulama di atas adalah tokoh yang pertama kali menuliskan kitab hasyiah dalam khazanah fikih Syafi’i. Ternyata dalam kitab Jami’u Asy-Syuruh wa Al-Hawasyi Dr. Abdullah Al-Habsyi menyebutkan bahwa guru mereka bertiga, yaitu Syekh Zakariyya Al-Anshari (w. 926 H) memiliki karangan berupa hasyiah atas Syarh An-Nahjah Al-Mardhiyyah 'ala Al-Bahjah Al-Wardiyyah karya Syekh Waliyuddin Al-‘Iraqi (w. 826 H). Bukan hanya itu, Syekh Syarafuddin Al-Munawi (w. 871 H) yang merupakan guru Syekh Zakariyya Al-Anshari, juga menuliskan hasyiah atas kitab syarah tersebut. Syekh Syarafuddin Al-Munawi ini merupakan murid dari Syekh Waliyuddin Al-‘Iraqi, pemilik kitab syarah yang tersebut di atas.

Syekh Jalaluddin As-Suyuthi (w. 911 H) yang merupakan ulama sezaman dengan Syekh Zakariyya Al-Anshari dan sama-sama berguru kepada Syekh Syarafuddin Al-Munawi juga memiliki kitab fikih yang membawa nama hasyiah. Kitab tersebut berjudul Al-Azhaar Al-Ghadhdhah fi Hawasyi Ar-Raudhah. Memang kitab Raudhah Ath-Thalibin karya Imam An-Nawawi banyak mendapat penjelas. Dan kitab penjelasnya membawa nama Hasyiyah atau Hawasyi. Padahal kitab penjelas tersebut tidak lahir dari kitab Syarah Raudhah Ath-Thalibin. Mungkin penamaan hasyiah ini mengikuti barometer yang telah disinggung di atas.

Biografi

Sepilihan riwayat hidup para tokoh dapat teman-teman temukan

di sini

Bukan hanya Imam As-Suyuthi, Syekh ‘Alamuddin Al-Bulqini (w. 868 H) yang merupakan guru dari Imam As-Suyuthi juga menulis bentuk hasyiah seperti ini. Begitu juga Syekh Waliyuddin Al-‘Iraqi yang telah disebut sebelumnya, juga memiliki hasyiah atas kitab Raudhah Ath-Thalibin. Sebelumnya, Syekh Jalaluddin Al-Bulqini (w. 824 H) juga menuliskan hasyiah atas kitab ini. Tokoh yang sezaman dengan mereka berdua, yaitu Syekh Badruddin Az-Zarkasyi (w. 794 H) juga memiliki hasyiah atas kitab karya An-Nawawi di atas. Bahkan guru mereka bertiga, yaitu Syekh Sirajuddin Al-Bulqini (w. 805 H) mendahului mereka semua dalam menuliskan hasyiah atas kitab tersebut.

Perlu dicatat bahwa ulama yang telah disebut di atas merupakan pemuka ulama mazhab Syafi’i yang lahir dari rahim Al-Azhar. Mereka juga berkiprah sebagai pengajar di Al-Azhar. Bahkan Syekh Sirajuddin Al-Bulqini yang dikenal sebagai mujaddid (pembaharu) abad ke-9, adalah salah satu dari tiga ulama yang menyemarakkan pengajian di Masjid Al-Azhar. Ketiga ulama yang dimaksud adalah Syekh Sirajuddin Ibnu Al-Mulaqqin (w. 804 H), Syekh Sirajuddin Al-Bulqini (w. 805 H), dan Syekh Zainuddin Al-‘Iraqi (w. 806 H).

Ketiga ulama ini juga merupakan murid dari Syekh Taqiyyuddin As-Subki (w. 756 H) dan Syekh Jamaluddin Al-Isnawi (w. 772 H). Tokoh yang disebut terakhir ini merupakan kepala Madrasah Ath-Thaibarsiyyah yang kini masuk dalam area Masjid Al-Azhar. Tokoh ini juga yang berperan aktif menggugah daya kritis para ulama saat itu lewat karyanya Al-Muhimmat. Kitab ini merupakan bentuk koreksi Al-Isnawi atas tarjih dalam mazhab yang dilakukan oleh Imam An-Nawawi dan Imam Ar-Rafi’i. Sehingga pada gilirannya, kitab ini mampu membawa kematangan fikih mazhab Syafi’i. Meski pada akhirnya, ulama sezaman atau setelahnya lebih mengunggulkan tarjih yang dilakukan oleh Imam An-Nawawi dan Imam Ar-Rafi’i.

Dari pemaparan di atas bisa kita simpulkan bahwa kitab hasyiah dalam mazhab Syafi'i dari Al-Azhar adalah Hasyiah Syarafuddin Al-Munawi 'ala syarh An-Nahjah Al-Wardiyyah 'ala Al-Bahjah Al-Wardiyyah. Namun kitab ini masih berupa manuskrip dan belum terbit, sehingga belum bisa diakses oleh khalayak umum. Adapun hasyiah yang sudah terbit yang terhitung paling tua adalah Hasyiah Abulhasan Al-Bakri, Hasyiah 'Amirah Al-Burullusi, dan Hasyiah Ar-Ramli. Ketiga kitab ini sudah terbit dan bisa dibaca oleh khalayak umum.

Kitab hasyiah dalam fikih Syafi’i terus lahir dari Al-Azhar melalui murid-murid Syekh ‘Amirah, Syekh Syihabuddin Ar-Ramli, dan Syekh Abulhasan Al-Bakri. Di antaranya adalah Hasyiah Ibnu Qasim Al-‘Abbadi (w. 994 H), Hasyiah Az-Zayyadi (w. 1024 H) dan yang lainnya. Bahkan pada generasi selanjutnya muncul Hasyiah Asy-Syubramillisi (w. 1087 H), Hasyiyah Al-Halabi (w. 1044 H), Hasyiah Asy-Syaubari (w. 1069 H), Hasyiyah Al-‘Annani (w. 1098 H), dan masih banyak yang lainnya.

Enam kitab terakhir yang disebut di atas, plus Hasyiah ‘Amirah, merupakan tujuh kitab hasyiah yang merepresentasikan mazhab Syafi’i setelah era Syekh Syamsuddin Ar-Ramli (w. 1004 H), Syekh Ibnu Hajar Al-Haitami (w. 974 H), Syekh Zakariyya Al-Anshari, dan Syekh Al-Khatib Asy-Syirbini (w. 977 H). Semoga kita diberi kesempatan memahami kitab-kitab tersebut. Wallahu A’lam bish-shawab.


💡
Baca juga artikel lain di rubrik BUDAYA atau tulisan menarik Munawar Ahmad Sodikin