Mengulik Tradisi Nyekar Menjelang Ramadan

Setiap menjelang Ramadan, kompleks makam, pesarean, atau pekuburan adalah tempat yang mendadak penuh sesak dengan orang lalu-lalang untuk berziarah. Tak hanya di komplek pesarean-pesarean para kiai atau ulama, di makam-makam pedesaan pun tampak menjadi penuh dengan orang-orang yang sedang menziarahi kuburan leluhur, guru, kerabat, ataupun handai tolannya. Di daerah saya, tradisi berziarah setiap menjelang Ramadan ini dikenal dengan istilah “nyekar”. Tapi ternyata, tradisi nyekar ini tidak hanya dilakukan sebelum Ramadan tiba, tapi juga dilakukan di hari-hari pertama lebaran atau hari raya Idul Fitri.

Istilah nyekar sendiri berasal dari bahasa Jawa “sekar” yang artinya kembang atau bunga. Sebab dalam praktik ziarah, memang acap kali disertai pula tabur bunga di atas makam-makam yang dikunjungi. Ada pula masyarakat umum yang dalam melakukan tradisi nyekar-nya menggunakan tambahan media dupa, kemenyan, atau bukhur. Namun biasanya, praktik yang semacam itu hanya dilakukan oleh orang-orang yang berasal dari luar kultur pesantren.

Bagi sebagian masyarakat, tradisi nyekar juga dilakukan tatkala seseorang hendak meminta restu atas peristiwa besar yang hendak dijalani. Misalnya seseorang yang hendak menikah, biasanya ia akan nyekar terlebih dahulu ke makam orang tuanya yang sudah meninggal, makam gurunya, bahkan hingga ke makam leluhurnya.

Di sebagian daerah, tradisi berziarah yang persis seperti nyekar dikenal dengan istilah besik ataupun nyadran. Menariknya, tidak hanya terdapat di Indonesia, tradisi nyekar setiap menjelang Ramadan atau minggu pertama Idul Fitri juga ada dan berlaku di Republik Arab Mesir. Bahkan, tradisi itu pun masih dijalankan oleh sebagian masyarakat Mesir hingga sekarang. Bisa jadi, tradisi nyekar juga dapat dijumpai di setiap negara-negara yang penduduknya ada yang beragama Islam. Terutama negara-negara yang ideologi penduduk muslimnya mayoritas menganut Ahlussunah wal Jamaah.

Terkait legalitas hukum syariatnya, bagaimana sebenarnya hukum orang-orang yang nyekar setiap menjelang Ramadan dan nyekar di hari-hari pertama lebaran? Benarkah orang-orang yang berani ikut melakukan tradisi nyekar akan otomatis dimasukkan neraka karena ia telah melakukan perbuatan bid’ah? Sebab, konon setiap pelaku bid’ah adalah tersesat dan ahli neraka?? Ataukah justru sebaliknya???

Sebelum spesifik membahas hukum praktik nyekar, alangkah baiknya jika kita ulas terlebih dahulu hukum dari berziarah secara umum. Sebagaimana sudah jamak diketahui, ziarah adalah suatu kesunahan, bahkan merupakan amaliah yang diperintahkan. Mulanya, ziarah kubur memang suatu amaliah yang dilarang oleh Nabi Muhammad SAW karena khawatir terjadinya kemusyrikan pada umat Islam kala itu. Tersebab umat Islam masa itu masih amat dekat dengan zaman jahiliyah, sehingga Nabi pun menutup semua celah (syaddun li dzari’ah) yang bisa menghantarkan pada kemusyrikan. Kemudian setelah keimanan umat Islam dianggap kuat, lantas Nabi mengizinkan ziarah, bahkan memerintahkannya mengingat ziarah dapat mengingatkan pada akhirat. Hukum perintah ziarah kubur ini diperkuat pula dengan adanya Ijmak ulama. (Syarh Riyadh Ash-Shalihin juz 1 halaman 610).

Penggambaran suasana umat Islam yang awalnya dilarang berziarah kemudian dianjurkan bahkan diperintahkan untuk ziarah kubur itu sebagaimana bunyi sebuah Hadits Nabi Muhamad SAW yang diriwayatkan Imam Muslim, Abu Dawud, dan At-Tarmidzi: “Dahulu aku telah melarangmu berziarah kubur, maka sekarang berziarahlah, karena sesungguhnya ziarah kubur itu mengingatkan akhirat.” (HR. At-Tirmidzi).

Dalam sebuah Hadits Nabi yang lain, beliau Rasulullah menuturkan tentang manfaat dari ziarah kubur yang dapat mengingatkan akan akhirat. Bahwasannya beliau bersabda:

فإنها تذكر الموت / فإنها تزهد في الدنيا وتذكر الآخرة

Adapun Hadits yang menuturkan kesunahan Ziarah Kubur yaitu, bahwasanya Rasulullah SAW suatu waktu juga melakukan ziarah, hal ini jelas dan valid sebagaimana diriwayatkan Sayidah Aisyah RA yang disampaikan oleh Imam Muslim dalam Ṣaḥīḥ-nya dan Imam An-Nasa’i dalam Sunan-nya:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلَّمَا كَانَ لَيْلَتُهَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْرُجُ مِنْ آخِرِ اللَّيْلِ إِلَى الْبَقِيعِ فَيَقُولُ السَّلَامُ عَلَيْكُمْ دَارَ قَوْمٍ مُؤْمِنِينَ وَأَتَاكُمْ مَا تُوعَدُونَ غَدًا مُؤَجَّلُونَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللَّهُ بِكُمْ لَاحِقُونَ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِأَهْلِ بَقِيعِ الْغَرْقَدِ

"Rasulullah SAW itu saat giliran malam beliau di tempatnya (Aisyah RA), beliau SAW keluar pada akhir malam (berziarah) ke makam Baqi', kemudian mengucapkan; "Keselamatan atasmu semua hai perkampungan kaum Mukminin, akan datang padamu semua apa-apa yang engkau semua dijanjikan esok, yang saat ini masih ditangguhkan waktunya. Sesungguhnya kita semua ini Insya Allāh akan menyusul kalian, Yā Allāh, ampunilah para penghuni makam Baqi' Al-Gharqad ini.”

Biografi

Sepilihan riwayat hidup para tokoh dapat teman-teman temukan

di sini

Sebagai dalil lain, saya hadirkan Hadits tentang Sayidah Aisyah RA yang suatu waktu mengikuti baginda SAW tatkala keluar malam-malam dari kamar Sayidah Aisyah menuju ke Baqi’, beliau lantas bersabda:

فَإِنَّ جِبْرِيلَ أَتَانِي حِينَ رَأَيْتِ فَنَادَانِي فَأَخْفَاهُ مِنْكِ فَأَجَبْتُهُ فَأَخْفَيْتُهُ مِنْكِ وَلَمْ يَكُنْ يَدْخُلُ عَلَيْكِ وَقَدْ وَضَعْتِ ثِيَابَكِ وَظَنَنْتُ أَنْ قَدْ رَقَدْتِ فَكَرِهْتُ أَنْ أُوقِظَكِ وَخَشِيتُ أَنْ تَسْتَوْحِشِي فَقَالَ إِنَّ رَبَّكَ يَأْمُرُكَ أَنْ تَأْتِيَ أَهْلَ الْبَقِيعِ فَتَسْتَغْفِرَ لَهُمْ قَالَتْ قُلْتُ كَيْفَ أَقُولُ لَهُمْ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ قُولِي السَّلَامُ عَلَى أَهْلِ الدِّيَارِ مِنْ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُسْلِمِينَ وَيَرْحَمُ اللَّهُ الْمُسْتَقْدِمِينَ مِنَّا وَالْمُسْتَأْخِرِينَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللَّهُ بِكُمْ لَلَاحِقُونَ

Artinya: Jibril tadi datang padaku, saat dia melihatmu, maka dia memanggilku perlahan-lahan sehingga tidak terdengar olehmu. Aku menjawab panggilannya tanpa terdengar pula olehmu. Dia tidak masuk ke rumah, karena kamu telah menanggalkan pakaianmu, aku pun mengira bahwa kamu telah tidur, oleh sebab itu aku segan membangunkanmu khawatir engkau akan merasa kesepian. Jibril berkata padaku; “Allah SWT memerintahkan agar datang ke Baqi' dan memohonkan ampunan bagi para penghuninya.” Saya kemudian berkata; “Lalu apa yang harus kubaca sesampai di sana wahai (Jibril) sang Utusan Allah?” Jibril menjawab, “Ucapkanlah: ‘Semoga keselamatan tercurahkan untuk penduduk kampung orang-orang mukmin dan muslim, semoga Allah memberi rahmat kepada orang-orang yang telah mendahului kami dan orang-orang kemudian, dan kami Insya Allāh akan menyusul kalian semua.’”

Dalam riwayat lain, Imam Abu Syaibah secara marfū‘, sebagaimana dikutip oleh Syekh As-Samhudi dalam Khulāṣat Al-Wafā / Al-Wafā Al-Wafā bi Akhbār Dār Al-Muṣṭafā, juga Imam Ath-Thabari kala menafsiri ayat Surah Ar-Ra‘d: 23 menjelaskan bahwa:

أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يأتي قبور الشهداء بأحد على رأس كل حول فيقول : السلام عليكم بما صبرتم فنعم عقبى الدار. قال: وجاءها أبو بكر، ثم عمر، ثم عثمان رضي الله تعالى عنهم

Artinya: “Sesungguhnya baginda Nabi Muhamad SAW itu mendatangi makam Syuhadā’ Uḥud di setiap awal tahun dan beliau kemudian berdoa; “Semoga keselamatan tercurahkan untuk kalian sebab kesabaran kalian, maka sebaik-baiknya tempat kembali itu Surga.  (Ibnu Abi Shalih) berkata; Kemudian Abu Bakar, lalu Umar dan Usman ikut juga mendatangi pemakaman Uhud (setiap awal tahun sebagaimana yang baginda Nabi Muhamad SAW lakukan).”

Dalam Hadits yang cukup populer di kalangan kita, disebutkan bahwa Rasulullah SAW bersabda “Barang siapa berziarah ke makam bapak atau ibunya, paman atau bibinya, atau berziarah ke salah satu makam keluarganya, maka pahalanya adalah sebesar haji mabrur. Dan barang siapa yang istiqamah berziarah kubur sampai datang ajalnya, maka para malaikat akan selalu menziarahi kuburannya.”

Dari sisi sosiologisnya, tradisi nyekar setiap menjelang Ramadan boleh jadi adalah sebentuk upaya apologetik dan upaya “pembersihan” diri dari setiap individu sebelum memasuki Ramadan kepada setiap orang, termasuk kepada leluhur, guru, dan handai tolan yang telah berpulang. Harapannya, setelah dimaafkan segala kesalahannya, maka mereka akan memasuki bulan Ramadan yang muliah dengan bersih, suci, serta kuat secara mental dan spiritual.

Secara histori, sulit untuk dilacak, kapan tradisi nyekar atau nyadran ini pertama kali muncul. Namun diyakini bahwa tradisi ini diperkenalkan oleh para wali yang menyebarkan Islam di Indonesia. Syahdan, tradisi nyekar atau nyadran adalah salah satu tradisi dan upaya meneruskan tradisi penghormatan kepada roh leluhur di kalangan masyarakat Jawa yang masih menganut ajaran Hindu-Budha saat Islam belum datang. Jadi bisa dikatakan, nyekar yang sekarang merupakan suatu bentuk asimilasi dan pribumisasi Islam atas tradisi lokal yang berkembang di Indonesia sebelum Islam datang.

Sedangkan secara teologisnya, tradisi ziarah nyekar ini memang masih memiliki hubungan dengan akidah Islam tentang kematian. Yakni Islam menuturkan bahwa setelah manusia meninggal, rohnya akan meninggalkan jasad dan akan berada di alam barzakh sampai nanti hari kebangkitan atau hari kiamat tiba.

Nah, selain dari dalil Hadits-hadits tentang ziarah kubur di atas, secara spesifik tentang hukum berziarah (nyadran) ke makam para ulama atau para aulia di suatu waktu, Syekh Ibnu Hajar Al-Haitami tatkala beliau ditanya tentang hukum berziarah ke makam para wali pada waktu tertentu dengan melakukan perjalanan khusus ke makam mereka. Syekh Ibnu Hajar Al-Haitami lantas menjawab, berziarah ke makam para wali adalah ibadah yang disunahkan. Demikian pula dengan perjalanan ke makam mereka. (Al-Fatawi Al-Kubra Al-Fiqhiyyah, juz II, hal 24).

Adapun anjuran bacaan dari Rasulullah SAW kepada seorang yang hendak berziarah yaitu untuk membaca Al-Quran atau bacaan-bacaan baik lainnya. Bahwasanya Ma’qil bin Yasar meriwayatkan Rasulullah SAW bersabda: “Bacalah surat Yasin pada orang-orang mati di antara kamu.” (HR Abu Daud).

Walhasil, ziarah kubur itu (entah saat nyadran atau lainnya) memang Sunah Rasulullah yang dianjurkan dalam agama Islam, pun membaca Al-Quran atau bacaan baik lainnya adalah termasuk amaliah positif yang dianjurkan dalam Islam. Bahkan Rasulullah sendiri (sebagaimana dalil-dalil di atas) beliau senantiasa menyempatkan diri untuk menziarahi makam ahli Baqi dan ahli Uhud serta mengucapkan salam maupun doa keselamatan pada ahli kubur di tempat tersebut. Bahkan tidak hanya berziarah ke makam Baqi dan Uhud, Rasulullah SAW dalam satu riwayat yang lain juga pernah diceritakan berziarah ke makam ibunda beliau (Sayidah Aminah binti Wahb). Dari sini, tak aneh kiranya jika kemudian mayoritas ulama dalam empat madzhab mu’tabar telah membolehkan dan bahkan menghukumi sunah berziarah kubur, termasuk di waktu-waktu tertentu. Tentunya dengan catatan, tidak dibatasi harus dilakukan di hari tertentu atau hanya dilakukan di hari tertentu. Wallahu a’lamu.


💡
Baca juga artikel lain di rubrik ISLAMUNA atau tulisan menarik Ahmad Muhakam Zein