Menilik Kehidupan Syekh Ahmad Ath-Thayyib dan Keluarga

“Saya senantiasa menempatkan sosok wanita ini di tempat seharusnya, yaitu sebagai seorang istri yang juga mempunyai hak. Saya betul-betul ingat, bahwa saya tidak pernah sekalipun menghujatnya dengan kata-kata selama hidup saya ataupun melayangkan tangan saya kepadanya.” Begitulah jawaban Syekh Ahmad Ath-Thayyib kala diwawancarai pada tahun 2002 oleh Surat Kabar Al-Ahram Mesir mengenai sosok sang istri, yang kemudian wawancara itu dimuat dalam sebuah buku berjudul Min Dafatiri Al-Qadimah (Dari Catatan Lamaku).

Pada paragraf sebelum ini, disebutkan bahwa beliau menikah dengan sang istri pada umur 18 tahun, yakni pada tahun 1965. Artinya, selama 37 tahun beliau senantiasa berlaku harmonis dengan sang istri. Bahkan jika dihitung hingga hari ini, 59 tahun telah berlalu dengan langgengnya hubungan rumah tangga yang beliau bina.

Jika kita tilik lebih dalam, umur 18 tahun adalah umur di mana gelora dan gejolak emosional seseorang masih dalam tahap pertumbuhan. Harus memahami pentingnya kesabaran dan komitmen dalam pernikahan. Bukankah artinya terdapat rahasia besar di mana seorang yang belum menginjak umur 20 tahun sudah memahami arti dewasa dalam berumah tangga dan menjalani kehidupan? Untuk mencari jawabannya, tentu saja itu semua tak terlepas dari peran keluarga besar beliau dalam mendidik sang buah hati ketika masa pertumbuhan.

Keluarga Ahmad Ath-Thayyib

Syekh Ahmad Ath-Thayyib yang kini menjabat sebagai pemimpin tertinggi Al-Azhar hari ini berasal dari keluarga yang masyhur dengan sebutan “Ath-Thayyib”. Saking masyhurnya, hingga kini semua anak cucu keluarga ini juga disematkan nisbah Ath-Thayyib di belakang nama mereka. Keluarga ini pada mulanya berasal dari Fes, Maroko, lalu pindah ke Kafr Asy-Syaikh, Mesir. Setelahnya, salah satu keturunan keluarga ini yang bernama Ahmad Ath-Thayyib bin Mahmud (kakek Syekh Ahmad Ath-Thayyib) pindah ke Al-Uqshur (Luxor) untuk menyebarkan Tarekat Al-Khalwatiyyah dan menetap di sana.

Berbeda dengan umumnya kegiatan tarekat kala itu, sang kakek menyebarkan ajaran tasawuf dengan membangun sahah, sebuah tempat singgah untuk siapapun yang datang, mengingat Luxor adalah tanah gersang yang belum banyak dihuni orang-orang. Di sahah ini, ia menyediakan makan-minum gratis setiap hari. Ditambah dengan tempat menginap gratis bagi para musafir. Selain itu, sang kakek yang juga alumni Al-Azhar ini juga menjadi tempat keluh-kesah dan fatwa masyarakat sekitar, baik dalam urusan pribadi, keluarga, maupun permasalahan pemerintah setempat. Hal ini terus ia lakukan hingga wafat pada tahun 1954, kala sang cucu, Syekh Ahmad Ath-Thayyib masih berusia 8 tahun.

Meski ditinggal sosok panutan sejak kecil, Ahmad Ath-Thayyib muda dianugerahi seorang ayah bernama Muhammad Ath-Thayyib yang meneruskan apa-apa yang telah dilakukan oleh sang kakek sebelumnya. Bahkan juga hingga wafat. Hal ini membuat Ahmad Ath-Thayyib muda merasa terpupuk oleh ajaran Islam yang dibawa oleh kakek dan ayahnya. Bagaimana memuliakan para tamu dan musafir, menyelesaikan problematika masyarakat sekitar, dan masih banyak lagi. Ditambah, keluarga yang menganut Tarekat Al-Khalwatiyyah ini selalu mengenalkan kepada masyarakat bahwa amal ibadah di dalam Islam bukan hanya sebatas ritual seperti salat, puasa, zakat, haji, dan seumpamanya, namun bekerja dan bersosial juga termasuk amal ibadah jika diniatkan dengan baik.

Munakahat

Kumpulan tulisan dengan topik pernikahan dan keluarga islami dapat teman-teman temukan

di sini

Hal ini juga dibarengi dengan kegigihan sang ayah untuk menyekolahkan Ahmad Ath-Thayyib muda di institusi Al-Azhar sejak Sekolah Dasar hingga Doktoral. Bayangkan bagaimana sang ayah sangat ingin membentuk karakter sang anak agar mengenal lebih dalam agama Islam dan dapat mengimplementasikannya dalam beribadah dan bersosial.

Karena itu, khususnya bagi para pelajar di Al-Azhar, mereka sudah tidak asing dengan sosok Imam Akbar ini. Meskipun sibuk dengan urusan Al-Azhar, beliau tetap rutin kembali ke kampung halamannya 3-4 kali setiap bulan untuk bersilaturahmi, mendengarkan keluh-kesah masyarakat setempat, hingga membantu finansial jika memungkinkan. Padahal, jarak kampung halamannya (Luxor) dengan kantor Al-Azhar (Kairo) berjarak 600 km lebih. Artinya, didikan keluarga telah mendarah daging bahkan ketika telah menjadi pimpinan tertinggi Al-Azhar yang jadwalnya begitu padat.

Potret Sang Ibu

Di samping peran ayah dan kakek yang mendidik Syekh Ahmad Ath-Thayyib, peran ibu juga sangat penting dalam mendidik beliau. Hal ini salah satunya bisa dilihat dari wawancara TV Mesir ketika beliau masih menjabat sebagai Mufti Agung Mesir (2002-2003). Yaitu kala pembawa acara meminta izin untuk bertanya seputar kehidupan privasi beliau, khususnya yang berkenaan dengan sosok sang ibu.

“... Meskipun ibu saya bukan orang yang berpendidikan sebagaimana umumnya ibu-ibu di masa itu, tetapi mereka (ibu-ibu) sadar sepenuhnya akan pendidikan anak. Saya rasa tidak berlebihan jika saya katakan bahwa mereka tidak kalah perhatiannya kepada anak, atau bisa jadi lebih disiplin dalam mendidik anak ketimbang ibu-ibu yang berpendidikan.” Jawab sang mufti yang kini menjadi Imam Akbar Al-Azhar tersebut. “Tidak ada dalam ingatan saya bahwa saya menyalami ibu tanpa mencium tangannya. Tidak pernah sekalipun seumur hidup saya. Tentu saja, begitu pun kepada ayah saya.”

Dari jawaban ini, terlihat dengan jelas bahwa sang anak begitu menghormati kedua orang tuanya. Tentu saja hal ini adalah hasil dari apa yang orang tua itu sendiri ajarkan kepada anaknya. Orang tua akan memanen benih yang mereka tanam. Lihatlah fenomena hari ini, di mana banyak orang tua ingin dihormati oleh anaknya, namun mereka sendiri tidak menjadi figur dan pendidik yang baik. Akhirnya banyak kejadian di mana anak durhaka kepada kedua orang tuanya, meski kita tidak menafikan adanya faktor lain.

Syekh Ahmad Ath-Thayyib juga bercerita bagaimana ia bersikap di depan sang ibu ketika sang ibu keliru dalam suatu pembahasan.

“Saya tentulah pernah berkuliah, berpendidikan, dan berwawasan. Saya tahu bahwa dalam suatu perbincangan ibu tidaklah benar, tapi saya tidak mampu untuk berkata (membenarkan). Saya lebih memilih diam membisu. Ibu saya paham dengan diam saya ini bahwa ia sedang berada dalam posisi tidak benar dalam perbincangan ini. Tapi saya tidak bisa bersuara. Saya tidak bisa berkata, misalnya, ‘Ibu keliru.’ Hal seperti ini tidak pernah terjadi walaupun sekali. Alhamdulillah, Allah menggariskan saya selalu berada di bawah kakinya.”

Lihatlah semua pendidikan moral yang dibangun oleh sebuah keluarga yang memahami ajaran agama Islam dengan “baik dan benar”. Interpretasi surga berada di bawah telapak kaki ibu dapat diterapkan sesuai dengan tempat dan waktunya. Begitu pun kedudukan perempuan dalam Islam.

Implementasi dari ajaran keluarga yang baik ini juga terus beliau gaungkan sepanjang karier hidupnya. Bahkan halakah televisi “Al-Imam Ath-Thayyib” selama bulan Ramadan tahun 2023 lalu juga difokuskan pada tema besar “PEREMPUAN”; bagaimana kedudukan perempuan dalam Islam, hakikat kesetaraan gender, bagaimana rumah tangga dibangun sesuai ajaran Islam, hakikat memukul istri, poligami, dan masih banyak lagi. Didikan keluarga sejak kecil dulu untuk menghormati perempuan sebagaimana ajaran Islam telah menjadi akar yang kuat lagi kokoh, sehingga membuat beliau terus menyuarakan hak-hak perempuan yang terus disalah-tafsirkan oleh oknum pemuka agama atas nama Islam.

Melihat kehidupan Syekh Ahmad Ath-Thayyib dari sudut pandang keluarga, kita dapat memahami bahwa keberhasilan seseorang tidak terlepas dari fondasi agama dan lingkungan sejak kecil. Didikan yang diterima dari ayah, kakek, dan ibu tak hanya membentuk beliau menjadi sosok ulama besar dunia, namun juga menjadi sosok yang bijaksana dan berbudi luhur. Semoga beliau senantiasa diberikan kesehatan dalam moderasi Islam, khususnya dalam isu kemanusiaan dan perdamaian dunia. Tabik!


💡
Baca juga artikel lain di rubrik BUDAYA atau tulisan menarik Amirul Mukminin