Menjawab Polemik Sertifikasi Halal Indonesia

Belakangan jagat maya Nusantara dihebohkan dengan permasalahan sertifikasi halal yang diambil alih kepengurusannya oleh Kementrian Agama dari Majelis Ulama Indonesia. Beragam komentar dari para ahli, baik pro maupun kontra, dapat kita temui di sana-sini. Ada yang mendukung proyek Kemenag ini dengan alibi agar memberi kemudahan birokrasi bagi para usahawan untuk mendapatkan sertifikasi halal bagi produknya, sehingga mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia. Adapula yang menentang habis-habisan dengan alasan Kemenag menaungi seluruh agama, sedangkan perihal halal dan haram merupakan hak prerogatif umat Islam dengan syari’atnya. Bahkan ada pula yang malah kembali mempertanyakan urgensi dari sertifikasi halal tersebut, dengan dalih Indonesia merupakan mayoritas umat muslim, maka seharusnya produk yang tersebar juga produk halal, sehingga yang dibutuhkan adalah sertifikasi haram bukan halal.

Polemik ini merupakan hal yang menarik untuk ditelaah lebih dalam, mengingat hal tersebut menarik atensi yang besar dari umat muslim di Indonesia. Setidaknya ada beberapa poin yang harus diketahui terlebih dahulu agar hal ini dapat ditelaah dengan pikiran yang jernih dan mendalam, di antaranya: Bagaimana halal dan haram itu dalam Islam? Apa itu sertifikasi halal dan apa urgensi keberadaannya khususnya bagi masyarakat muslim Indonesia? Dan Siapa sebenarnya yang berhak untuk menerbitkan sertifikat tersebut?

Menjawab Tuduhan Terhadap Al-Quran
Kitab suci Al-Quran dituduh buatan Nabi Muhammad belaka. Alim kabir Syekh Muhammad bin Abdulllah Diraz menjawabnya melalui buku An-Naba Al-’Azhim.

Halal dan Haram di dalam Islam

Islam merupakan agama samawi yang telah menjabarkan secara paripurna cara hidup dan bermasyarakat bagi pemeluknya. Penjabaran ini secara kongkrit telah termaktub di dalam Al-Quran dan Sunnah. Bahkan ulama sebagai pewaris para nabi pun telah menyarikan nas Al-Quran dan Sunnah dalam bentuk kaidah-kaidah sederhana agar umat mudah menerapkannya dalam keseharian.

Di dalam Al-Quran terdapat puluhan ayat yang secara eksplisit menyebutkan halal maupun haram. Jumlah ini belum lagi ditambahkan dengan ayat yang menyiratkan halal dan haram secara implisit. Sebagai contoh di dalam Surah Al-Baqarah Ayat 168:

"Wahai manusia! Makanlah dari (makanan) yang halal dan baik yang terdapat di bumi dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagimu".

Begitupula di dalam hadits Nabi SAW, banyak sekali hadits yang menggambarkan halal dan haram, baik secara sharih maupun secara khafi. Sebagai contoh di dalam kumpulan hadits pilihan yang sering dihafalkan kalangan pesantren dari kitab hadits Al-Arba’in An-Nawawiyyah, karangan Imam An-Nawawi pada hadits nomor 42.

Syekh Jadal-Haq Ali Jadal-Haq, Syekhul-Azhar ke-42 yang menjabat sejak 1982 M hingga akhir hayatnya pada 1996 M, pernah menuliskan sebuah risalah kecil yang bertajuk Simat Al-Halal wa Al-Haram (Tanda-tanda Halal dan Haram). Di dalam risalah ini, Syekhul-Azhar kelahiran Ad-Dakahliyyah, Mesir ini menjelaskan secara ringkas 7 pondasi halal dan haram di dalam Islam yang disarikan dari Al-Quran dan Sunnah, yaitu:

1.     Hukum asal dari segala hal yang diciptakan oleh Allah dan memberikan manfaat adalah halal. Sedangkan menjadi haram apabila terdapat nas yang sahih dan jelas.

2.     Menghalalkan dan mengharamkan itu khusus bagi Allah saja.

3.     Mengharamkan yang dihalalkan dan menghalalkan yang diharamkan itu seakan-akan berbuat syirik kepada Allah SWT.

4.     Asas dari pengharaman itu adalah keburukan dan bahaya yang dapat ditimbulkan dari segala yang diharamkan.

5.     Dalam suatu hal yang dihalalkan terdapat hal yang lebih berguna daripada yang diharamkan.

6.     Segala hal yang dapat menuju kepada hal yang haram maka hukumnya haram.

7.     Menyiasati hal yang diharamkan (agar terlihat halal) adalah haram.

Sertifikasi Halal dan Urgensinya

Sertifikasi Halal atau Prosedur Sertifikasi Halal adalah rangkaian tahapan yang harus diikuti oleh perusahaan untuk mendapatkan Sertifikat Halal. Sertifikat Halal adalah fatwa tertulis yang dikeluarkan MUI melalui keputusan sidang Komisi Fatwa yang menyatakan kehalalan suatu produk berdasarkan proses audit yang dilakukan oleh LPPOMMUI. (Buku Panduan Olimpiade Halal LPPOMMUI, 2014)

Adanya Prosedur Sertifikasi Halal ini merupakan bentuk reaksi MUI dari merebaknya isu “lemak babi” yang beredar di tengah masyarakat pada tahun 1988. Dibentuklah LPPOMMUI (Lembaga Pengakajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia) sebagai solusi dari masalah tersebut. LPPOMMUI bertugas untuk mengkaji produk-produk konsumsi agar terbebas dari kandungan maupun produk turunan dari yang diharamkan dalam Islam seperti alkohol, babi, dsb.

Adapun prosedurnya secara garis besar dimulai dari mendaftarkan produk dan memenuhi segala keperluan administrasi, lalu dilakukan audit oleh pihak LPPOMMUI, selanjutnya hasil audit dievaluasi oleh auditor dan Komisi Fatwa MUI. Apabila produk yang didaftarkan memenuhi segala persyaratan sebagai produk halal, maka diterbitkanlah Sertifikat Halal bagi produk tersebut dan produk tersebut berhak menerapkan logo tanda tersertifikasi halal di kemasannya.

Munakahat

Kumpulan tulisan dengan topik pernikahan dan keluarga islami dapat teman-teman temukan

di sini

Dari latar belakang keberadaan Sertifikasi Halal di Indonesia ini, setidaknya dapat diketahui bahwa tujuan keberadaannya adalah untuk menenangkan masyarakat dengan jaminan kehalalan produk konsumsi yang tersebar. Dengan terjaminnya kehalalan suatu produk, maka produk tersebut dapat menghindari isu miring yang dihembuskan kompetitornya tentang kehalalan produk tersebut. Selain itu, efek jangka panjang yang ditimbulkan adalah tentu produk yang sudah mendapat jaminan halal dan berhak mencantumkan logo halal di kemasannya akan menjadi pilihan utama umat muslim, khususnya yang tinggal di daerah minoritas Islam seperti di luar negeri. Tentu setiap muslim ingin hidup dengan mengonsumsi produk halal yang sesuai tuntunan syari’at Islam. Maka, jelas sekali bahwa Sertifikasi Halal ini memiliki urgensitas yang sangat besar.

Polemik Sertifikasi Halal Saat Ini

Polemik yang timbul di tengah masyarakat saat ini seputar pemindahan kebijakan kepengurusan prosedur tersebut dari LPPOMMUI di bawah naungan MUI kepada BPJPH (Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal) di bawah Kemenag RI dan masalah bentuk logo tersertifikasi halal terbaru terbitan BPJPH.

Untuk menyelesaikan masalah ini, sebagai anak bangsa ada baiknya sama-sama berinsaf diri, sehingga dalam menghadapi masalah apabila besar maka diperkecil, dan apabila kecil maka dapat dihilangkan. Sikap seperti ini dapat menghidarkan dari konflik yang tidak perlu dan menjaga kerukunan dan kedamaian dalam berbangsa dan bernegara.

Masalah pemindahan pemangku kebijakan seharusnya tidak dilihat dari siapa yang melaksanakan, namun dari bagaimana proses tersebut dilaksanakan. Merujuk kepada halal.go.id sebagai website resmi BPJPH, maka akan ditemui bahwa pola Prosedur Sertifikasi Halal masih sama dengan yang dilakukan oleh LPPOMMUI. Prosedur tetap melibatkan Komisi Fatwa MUI sebagai pemberi fatwa kehalalan suatu produk. Maka, pemindahan tersebut rasanya bukanlah hal yang layak untuk diperdebatkan sehingga harus menggadaikan nilai persatuan kebangsaan.

Adapun perihal bentuk logo terbaru yang bertuliskan halal dalam bahasa Arab yang dibentuk sedemikian rupa sehingga menyerupai lurik gunungan pada wayang kulit, harus dilihat sebagai suatu bentuk inovasi yang mencoba menyelaraskan dengan budaya Nusantara. Penyelarasan budaya dan agama ini sendiri bukanlah hal yang baru, sebagaimana Firman Allah SWT dalam Surah Ibrahim ayat 4.

“Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun, melainkan dengan bahasa kaumnya, agar dia dapat memberi penjelasan kepada mereka. Maka, Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. Dia Yang Mahaperkasa, Mahabijaksana.”

Asal Mula Tradisi Berziarah Saban Jumat di Al-Azhar
Para talib Al-Azhar mempunyai tradisi ziarah saban Jumat. Guru besar Al-Azhar Syekh Fathi Hijazi mengisahkan riwayat ini dari gurunya.

Selain itu, Islam memandang sebuah budaya sebagai bentuk keberagaman yang harus diketahui dan dilestarikan. Sebagaimana Firman Allah SWT di dalam Surah Al-Hujurat ayat 13.

"Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal."

Oleh sebab itu, bentuk logo yang mengadopsi lurik gunungan wayang kulit tersebut bukanlah hal yang patut untuk diributkan. Islam sendiri mengajarkan pemeluknya untuk mengenali dan melestarikan budaya yang dimiliki kaumnya. Adapun perihal bentuk khat kaligrafi yang katanya masih belum sempurna sehingga membentuk makna lain, cukuplah bagi para ahlinya untuk menyelesaikannya dengan melakukan evaluasi dan perbaikan yang dibutuhkan. Apalagi sekelas organisasi nasional, tentulah memiliki tim ahli yang khusus mengkaji hal tersebut sebelum dipublikasikan ke hadapan publik. Wallahu a’lam.

💡
Baca juga artikel lain di rubrik OPINI atau tulisan menarik Muhammad 'Auf Al Hariri