Moderasi Berbasis Tasawuf

Beberapa peneliti menganggap bahwa radikalisme disebabkan oleh faktor kekecewaan masyarakat atas dinamika politik dan ekonomi yang tidak berpihak kepada mereka, sementara di sisi lain, ada yang menganggap hal itu disebabkan oleh kesalahan mereka dalam menginterpretasi ajaran-ajaran fundamental agama. Kedua alasan ini tampaknya dapat dibenarkan, karena sikap radikal adalah puncak dari ‘sakit hati’ yang dialami seseorang karena merasa dirampas hak-haknya. Sementara juga dapat dimaklumi, bahwa sikap radikal itu juga disebabkan oleh kesalahan mereka dalam memahami ajaran substansial agama yang dianut. Namun, di samping alasan-alasan itu semua, ada juga penyebab yang tidak kalah dominan dalam membentuk mental berpikir radikal, yakni kondisi jiwa (bathin) yang berbeda-beda tiap individu.

Kondisi psikologis sangat menentukan bentuk mentalitas seseorang dalam menyerap nilai-nilai agama. Kisah Dzul Khuwaishirah yang mempertanyakan keadilan Nabi Muhammad SAW dengan nada marah, “Ya Rasulullah, bersikap adil lah!” merupakan ciri-ciri dari nalar radikalisme yang disebabkan oleh kekeringan jiwanya akan makna keadilan yang direpresentasikan oleh Nabi SAW. Ketika Sayidina Umar meminta izin untuk membunuhnya, Nabi SAW justru melarang seraya mengabarkan bahwa ia memiliki teman-teman yang begitu rajin dan tekun dalam melaksanakan ibadah mulai dari salat hingga puasa. Hanya saja dari rangkaian amal ibadah yang mereka kerjakan tidak satu pun mengantarkan mereka pada satu capaian spiritual. Dalam bahasa lain, mereka mendewakan ibadah sebagai satu-satunya standar untuk mencapai Tuhan.

Membumikan Tasawuf di Era Digital
Tasawuf hari ini belum merambah sektor dakwah Islam dan masyarakat secara luas. Hal itu karena dakwah Islam masih dikuasai nuansa Fikih-Oriented.

Motivasi untuk melaksanakan ibadah yang menggebu-gebu kerap membawa manusia lupa, bahwa tujuan dari ibadah yang mereka kerjakan sejatinya hanyalah sebuah perantara, ia bukan tujuan, sehingga ibadah harus benar-benar dilaksanakan dengan penuh kesadaran akan kehambaan diri. Jika ibadah sudah tidak membawa seorang hamba kepada pengenalan akan status kehambaannya (‘ubudiyyah) di hadapan Tuhan, maka hal itu akan berbalik arah justru membawa mereka untuk mendaulat diri sebagai seorang yang paling bertuhan, dan tentu saja mengklaim yang paling benar. Syekh Mushthafa Al-Ghalayini mengabarkan dalam kitabnya ‘Izhatun Nasyi’in, bahwa ‘segala sesuatu yang melampaui batas, pasti akan berbalik menghancurkannya’. Praktik beribadah semacama ini, paralel dengan cara beragama yang diidealisasi oleh mereka yang terpapar virus radikalisme. Hasrat besar untuk melaksanakan tuntunan ajaran Islam misalnya, telah demikian kuat, sehingga mereka melupakan Tuhannya. Walhasil, agama sudah tidak lagi dipahami sebagai jalan menuju-Nya, tapi justru menjadi labirin di mana mereka tersesat di dalam agama itu sendiri.

Tinggalan Syekh Azh-Zhawahiri dalam Jagat Tasawuf
Mengenal kitab berjudul Risalah Al-Akhlaq Al-Kubra. Kitab tinggalan sang mursyid nan fakih Syekhul-Azhar Azh-Zhawahiri yang sempat menjadi diktat.

Untuk itu, tasawuf penting untuk dihadirkan sebagai sebuah wawasan dalam ajaran Islam yang dapat menghadirkan kembali sisi spiritualitas dari agama. Dalam tasawuf, Islam tidak hanya dipahami sebagai sekumpulan doktrin, kaidah maupun ritual, tetapi sebagai sebuah jalan terang nan lurus untuk mencapai Allah SWT. Dalam hal ini, seorang mengandaikan Islam sebagai satu-satunya jalan untuk mencapai Allah, mengenal-Nya dan membentuk segala apa yang ia miliki. Dia akan berpasrah dan terus berupaya untuk terus dekat dengan-Nya. Sehingga apapun tindakannya, baik berupa ibadah mahdhah atau pun ghairu mahdhah adalah semata-mata untuk-Nya.

Pemikiran

Kumpulan tulisan bertopik pemikiran dan keislaman bisa teman-teman temukan

di sini

Dengan menghasrati Allah sebagai satu-satunya tujuan dalam hidup, seorang salik (penapak tangga spiritual) tidak akan menjadikan sisi ajaran atau pun doktrin dalam Islam lebih dari sekadar ketentuan yang bersifat temporal. Dalam kasus politik misalnya, ia tidak akan memandang bahwa seorang pemimpin haruslah seiman, yang kemudian harus didukung bahkan dengan menggunakan ayat-ayat Al-Quran. Hal ini karena ia memandang bahwa kepemimpinan di dunia adalah perkara yang hanya menjadi wasilah dari sebuah tujuan tinggi yang ingin dicapai. Dan manakala tujuan itu dapat tercapai tanpa adanya ‘pemimpin’ sebagaimana dipahami dalam terminologi politik saat ini, maka ia tidak akan memperjuangkannya secara mati-matian, seolah dunia akan kiamat besok harinya.

Salah satu tawaran penting yang dimiliki tasawuf dalam membangun narasi moderasi beragama adalah kemampuannya dalam menghadirkan kembali sisi spiritual Islam. Dengan tasawuf, Islam ditampilkan sebagai sebuah agama yang benar-benar menjadikan Allah sebagai tujuan tertinggi dari segalanya. Inilah mengapa Islam menjadi satu-satunya agama yang benar di sisi-Nya (Surah Ali Imran ayat 19). Dengan demikian, Islam laksana tali yang menghubungkan antara seorang hamba dan Tuhan-nya. Dengan pola seperti ini, Islam terus tampak sisi subtansialnya bagi manusia. Ketika sisi substansi menampak, di situlah moderasi dalam meresap dan menghayati nilai-nilai agama untuk kemudian diaktualisasikan dalam perilaku kehidupan bermula. Dengan demikian, moderasi adalah kemampuan untuk melihat tujuan tertinggi agama (Al-Maqashid Al-'Uzhma) sehingga luruh segala macam perbedaan, kemudian upaya menerima kehadiran perbedaan itu dalam kehidupan sosial.

Benarkah Islam Ajarkan Terorisme dan Radikalisme?
Guru besar Al-Azhar alim filsafat ini menjawab persoalan keislaman melalui banyak karangan. Al-Muslimun fi Muftaraq Ath-Thuruq ini salah satunya.

Ekspresi beragama yang diperagakan oleh kelompok radikal adalah ‘beragama untuk agama’, sesuatu yang begitu kuat tertolak dalam tradisi tasawuf. Guru bijak Aleksandria, Imam Ibnu Atha’illah As-Sakandari (wafat 1309 M) telah mengajarkan jauh-jauh dalam aforisme terkenalnya Al-Hikam Al-'Athaiyyah, bahwa ‘mendewakan amal atau pun sisi zahir dari ajaran agama’ merupakan kesalahan dalam memahami agama itu sendiri. Lebih jauh, beliau menegaskan bahwa ajaran zahir agama adalah bentuk yang tidak akan memiliki makna, kecuali ada ruh ikhlas di dalamnya. Sampai di sini, seorang salik tidak akan memberikan prioritas apapun terhadap sisi zahir agama di luar batas kemampuan dan kesempurnaan pelaksanannya. Hal ini berbeda dengan kelompok radikal yang terus menjadikan sisi zahir ajaran agama sebagai sesuatu yang harus ditegakkan setegak tujuan agama. Demikian ini tampak dalam jargon-jargon mereka, seperti Islam kaffah, NKRI Bersyariah dan lain-lain yang mereka dengungkan di pinggir-pinggir jalan.

💡
Baca juga artikel lain di rubrik ISLAMUNA atau tulisan menarik M Hasani Mubarak