Risalah Ghurbah Al-Gharbiyyah dan Keterasingan Manusia

Di tengah kemajuan gadget, infrastruktur, revolusi industri dunia, ke manakah arah tujuan manusia? Di tengah wacana-wacana filsafat, agama, dan teori-teori kontemporer: pluralisme, intersubjektifme, hingga neoliberalisme, apakah tujuan akhir yang diharapkan manusia? Kenyataannya sebagian wacana-wacana di atas buntu dalam menyelesaikan problem manusia yang kompleks. Ketidakmampuan dan ‘kegagapan’ wacana tersebut bisa jadi akibat memperhatikan sisi ‘luar’ manusia, padahal bisa jadi problem manusia adalah pada dirinya. Dengan demikian agaknya peradaban manusia semakin ke sini bukan kemudian mencerahkan, melainkan kerap kali membuat manusia terasing dan jauh dari diri sendiri.

Khususnya dalam wacana keagamaan, sebagian cendekiawan mengira hanya bisa dengan pembaharuan aspek pemahaman dan rasionalitas belaka (misalnya wacana intersubjektifme). Mereka lupa bahwa ada aspek yang lebih mendalam: pembaharuan dari dalam, dari kedirian umat Islam itu sendiri. Yaitu jalan sunyi tasawuf yang selalu hadir sebagai ban serep yang memperbaharui manusia dari innersubjektif –sebagai tandingan intersubjektif. Hadir bak Cahaya di kegelapan dunia, meski ia menampilkan sinar yang semu. Karena bisa jadi di tengah panorama kemajuan tersebut manusia tetap terjebak pada batas-batas, dimensi, yang justru keluar dari fitrah dirinya. Kemajuan tersebut akhirnya hanya berjalan di tempat. Manusia tetap kehilangan dirinya, terasing dalam dunianya, kehilangan nilai luhur dari kehidupannya.

Medsos, Islam, dan Seni Untuk Diam
Kebebasan berkomentar di media sosial adalah akar dari segala kegaduhan. Kemampuan menahan diri, khususnya untuk diam, hari ini sangat diperlukan.

Berangkat dari momentum itu, menurut saya, spiritualisme —berikut kedirian dan eksistensi—manusia adalah satu-satunya pelabuhan terakhir perjalanan manusia di tengah keterasingannya. Dalam perbincangan itu, ada salah satu karangan  Suhrawardi —salah satu teosof Islam, pendiri Mazhab Isyraqiyyah— yang bisa direfleksikan. Sebuah karangan yang menggambarkan betapa terasingnya manusia di dunia. Yaitu risalah Qishshah Ghurbah Al-Ghurbiyyah (keterasingan dalam dunia yang asing). Sebuah kitab yang senada dengan Hay bin Yaqzhan karangan Ibnu Thufail dan Ibnu Sina: yaitu sebuah narasi —sebagian menyebut novel— yang menghadirkan cerita fiksi filosofis sekaligus bermuatan sufistik.

Ghurbah Al-Gharbiyyah dan Simbol Keterasingan Manusia

Meski sama-sama hadir dengan gaya Hay bin Yaqzhan, yang sebagian akademisi menyebutnya tretalogi Hay bin Yaqzhan, tetapi Ghurbah Al-Gharbiyyah ditulis penuh dengan simbol dan majaz sufistik sehingga teramat sukar untuk memaknainya. Lebih-lebih jika dibandingkan dengan Hay bin Yaqzhan milik Ibnu Thufail yang lebih sistematis secara alur dan pemakaian bahasa yang terpilih dan mengandung unsur sastrawi. Sebagaimana judulnya, Ghurbah Al-Gharbiyyah bisa bermakna dua: “Keterasingan di wilayah yang asing” atau “keterasingan di wilayah Barat”. Meski dalam terminologi filsafat Suhrawardi, timur adalah simbol pencerahan ‘cahaya’ dan barat adalah simbol jauh dari cahaya alias kegelapan, namun membawa makna tersebut —sebagaimana makna kedua— di judul masih diperdebatkan akademisi. Makna inti yang lebih penting adalah ‘keterasingan manusia’ yang tersarikan dari judul tersebut.

Belajar dari Perdebatan Ibnu Buthlan vs Ibnu Ridhwan
Perdebatan dua alim di bidang kedokteran ini menjadi salah satu bukti dinamisnya tradisi keilmuan. Ilmu tumbuh subur dalam dialektika para ulama.

Lalu bagaimana kisah itu bermula? Di manakah letak keterasingan manusia itu? Di sini saya tidak bisa menghadirkan kisah tersebut secara keseluruhan, sehingga saya akan persingkat dalam tiga destinasi cerita Ghurbah Al-Gharbiyyah yang juga menjadi simbol perjalanan sufistik di kala Hay bersama saudaranya terjebak di sebuah daerah yang bernama Al-Qairawan di belahan barat dunia Islam. Singkatnya, Suhrawardi menggambarkan Hay dipenjara dalam sebuah sumur yang gelap dan begitu dalam di tengah megahnya istana dengan berbagai menara yang menjulang. Hay dipenjara berkat masyarakat tahu ia dan saudaranya adalah keturunan Syekh Al-Hadi Ibnu Al-Khair Al-Yamani. Terpenjaranya Hay ini tidak lain adalah simbol terpenjaranya manusia di dunia. Menurut analisis Ahmad Amin, Al-Qairawan dijadikan simbol sebab letaknya di wilayah barat Islam yang jauh dari cahaya ketika matahari terbit. Sumur yang gelap itu sejatinya dunia tempat manusia hidup hari ini.

Kemudian di tengah kesulitan dan kesengsaraan tersebut, Hay tiba-tiba didatangi oleh Burung Hud-Hud Nabi Sulaiman dari Negeri Saba’ yang membawa surat di paruhnya, persis sebagaimana yang dikisahkan pada Ratu Bilqis. Surat itu datang dari sang ‘Ayah’ berisi pesan untuk menyelamatkan Hay dan saudaranya, Asim, dari gelapnya sumur tersebut. Syarat utama agar bisa selamat adalah memutus ‘kotoran-kotoran’ indra dan hawa nafsu sehingga ia sanggup melakukan perjalanan laut menuju Gunung Sinai. Burung Hud-Hud dan surat yang ia bawa tidak lain adalah simbol akal dan intuisi yang sama-sama hadir sebagai ‘petunjuk’ Tuhan. ‘Ayah’ yang digambarkan Suhrawardi adalah simbol Tuhan, sebagaimana majaz kata Al-Jaddu dalam ayat “wa Annahu Ta’la Jaddu Rabbina” dalam Surah Al-Jin.

Setelah mendapatkan petunjuk tersebut, Hay melakukan perjalanan laut dengan menyaksikan berbagai kejadian di sana. Ia mengalami peristiwa spiritual yang terjadi antara Nabi Musa dengan Nabi Khidr selama perjalanan di laut. Di perjalanan itu pula Hay menyaksikan bagaimana kaum yang terkerangkeng dalam penjara dunia mendapatkan azab Allah, sama dengan yang menimpa kaum ’Ad berupa gempa bumi yang begitu dahsyat. Hay juga melakukan perang melawan Ya’jud Ma'juj sebagaimana yang dilakukan Iskandar Dzul Qarnain dalam membangun benteng raksasa.

Lingkungan

Kumpulan tulisan yang mengangkat isu lingkungan dapat teman-teman baca

di sini

Kisah Hay kemudian berakhir dengan sampainya ia di destinasi terakhir, yaitu Gunung Sinai. Tempat yang menjadi simbol ‘pertapaan’ ayahnya. Seketika Hay melihat ayahnya berupa seorang syekh yang besar bersinar hingga kilatan sinarnya hampir membuat langit dan bumi terbelah. Hay seketika pucat, bingung di hadapannya. Ia berjalan menemuinya, menyalaminya, lalu bersujud padanya. Hingga hampir saja Hay binasa akibat sinarnya yang berkilau. Ia mengadu sejadi-jadinya akan penderitaannya selama di Al-Qairawan. Sang Ayah menjawab demikian,

Sekarang, engkau harus kembali. Akan tetapi aku memberimu kabar kembira dengan dua hal: pertama, jika engkau kembali ke penjara, engkau dapat mendatangi kami kembali, menaiki surga kami dengan mudah kapanpun engkau mau. Kedua, engkau sungguh akan terbebas di akhir nanti berjalan menuju kami seraya meninggalkan negara keterasingan secara keseluruhan dan mutlak” (Qishshah Ghurbah Al-Gharbiyyah, hal. 582).

Alam Spiritual: Tanah Air Sejati Manusia

Terlepas dari berbagai kurang jelasnya alur, makna dan simbol dari cerita di atas, pesan utama yang dapat kita ambil,menurut saya, adalah soal keterasingan manusia di dunia. Seorang sufi harus menyadari betul keterasingannya dan temporalitasnya di dunia. Jika di abad ke-19 Karl Marx yang berbicara alienasi dan keterasingan manusia akibat determinasi ekonomi, di abad ke-11 M Suhrawardi sudah mengatakan keterlemparan (faktisitas) —yang bisa kita lihat dalam cerita terlemparnya Hay di Al-Qairawan— dan keterasingan manusia di dunia. Tetapi bagi Suhrawardi faktor keterasingan tersebut terletak di dalam diri manusia itu sendiri: keterikatan pada materi, indra, dan dunia temporal materiil ini. Jiwa kemudian menjadi gelap dan tenggelam pada sumur bernama modernitas dan kerlap kerlipnya yang memesona. Untuk kembali mendapatkan cahaya, jiwa butuh arahan akal (burung Hud-Hud) dan intuisi (kertas yang berisi wahyu). Hanya cahaya yang bisa mengantarkan jiwa dan kedirian manusia untuk kembali kepada identitas sejatinya: makhluk spiritual, teofani Tuhan, pun kepada tanah airnya: dunia para kekasih Tuhan.

Berpuasa dari Perilaku Konsumtif di Bulan Ramadan
Budaya konsumtif kerap mengalami peningkatan drastis selama bulan Ramadan. Padahal ibadah puasa membawa nilai-nilai luhur dalam kehidupan sosial.

Makna tersebut kemudian diperkuat dengan komentar Corbin dalam History of Islamic Philosophy, bahwa kisah Suhrawardi ini adalah bentuk ekpresi imajinasi sufistik akan perjalanan subjektif —Heriohistory dalam istilah Corbin— Suhrawardi. Di mana seorang sufi harus menyadari dan menghasrati untuk kembali ke tanah airnya, yaitu alam spiritual (‘Alam Al-Arwah). Di mana mereka di sana berkumpul dengan para wali dan para nabi. Atau yang dibahasakan oleh William C. Chittick dengan ‘negara yang abadi’ untuk menjelaskan pengakuan spiritual Ibnu Arabi.

Cerita Ghurbah Al-Gharbiyyah Suhrawardi akhirnya merupakan bentuk ejawantah dari Mi’raj Nabi Muhammad SAW: perjalanan spiritual seorang sufi di dunianya, yang hanya bisa dialami, dirasakan dalam kedalaman refleksi dan kebersamaan bersama Tuhan. Juga sebuah aktualisasi akan sabda Nabi Muhammad tentang orang mukmin yang digambarkan “Abir As-Sabil” yang berarti “musafir/orang asing “ yang hanya numpang lewat di dunia. Di sisi lain, di akhir perjalanan cerita tersebut —sebagaimana pesan yang tersurat di sana— kita mengambil pelajaran bahwa meski dunia itu ‘penjara’ bagi kaum sufi, ia tetap harus ditinggali: “engkau harus kembali ke penjara...”. Pengembaraan sufistik akhirnya akan selalu berporos pada dua dunia sekaligus: zahir boleh saja di bumi tetapi hatinya harus di langit sebagaimana firman Allah: “Kasyajaratin thayyibatin ashluha tsabitun wa far’uha fi as-sama’”. (Surah Ibrahim: 24). Tabik!


💡
Baca juga artikel lain di rubrik ISLAMUNA atau tulisan menarik Lukman Hakim Rohim