Skip to content

Risalah Nabi Melawan Domestikasi Perempuan

Tradisi jahiliah memandang perempuan sebagai makhluk kelas dua, kotor, dsb. Risalah Nabi Muhammad SAW datang dengan pandangan yang berlainan.

FOTO: Ilustrasi perempuan muslimah. (Gamze Şentürk/Unsplash)
FOTO: Ilustrasi perempuan muslimah. (Gamze Şentürk/Unsplash)

Tradisi jahiliah dalam domestikasi perempuan bisa kita baca dan saksikan melalui buku-buku sejarah selama berabad-abad. Kita bisa melihat betapa perempuan di Barat mau pun Timur terbelenggu oleh adat-adat yang ada, terisolasi dari sosial-masyarakat, dan terpenjara dari kemerdekaannya. Dalam tradisi jahiliah suku Quraisy sendiri yang sudah mapan selama ratusan tahun, perempuan sering kali dipandang sebagai makhluk kelas dua, yang kotor, bebal, benalu, dan sekedar menjadi pemuas hasrat seksual. Kita 'kan temukan di zaman itu ada tradisi pengasingan perempuan ketika mengalami siklus menstruasi karena dianggap kotor. Perempuan tidak memiliki kemerdekaan finansial, bahkan tidak bisa menerima dan memiliki hak waris. Perempuan waktu itu tidak memiliki tempat untuk berbicara dan menyampaikan gagasannya.

Tradisi Quraisy dalam memandang perempuan dan memperlakukannya —yang bisa dikatakan patriarkis 24 karat— yang sudah mapan selama berabad-abad itu kemudian melakukan perlawanan secara tegas atas risalah yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW, yang untuk waktu itu bisa dikatakan sangat radikal dengan makna asal. Bagaimana tidak? Perempuan yang sebelumnya terdomestikasi sebegitu rupa kemudian dimerdekakan oleh risalah Nabi SAW yang jelas menabrak tatanan yang sudah ada. Dari sebelumnya dianggap kotor, perempuan menajadi sosok yang sangat mulia —yang bahkan dalam sebuah hadis, Nabi SAW menyebut kemuliaan ibu tiga kali lipat dibanding bapak. Dari sebelumnya tidak merdeka secara finansial, risalah Nabi SAW menjamin hak kemerdekaan itu beserta hak mendapatkan warisan. Dari sebelumnya perempuan tidak bisa menunjukkan eksistensi di ruang publik dan juga di hadapan pria, risalah Nabi SAW menjamin kemerdekaan itu, bahkan dalam kasus Sayyidah Khaulah binti Tsa'labah yang mendebat Nabi SAW atas perkara dzihar Allah menurunkan ayat yang mengadvokasinya.

Sikap Tegas Syekhul-Azhar Al-Quwaisni Melawan Pelacuran
Al-Azhar pernah dipimpin oleh syekh penyandang tunanetra. Al-Quwaisni namanya. Tulisan singkat ini mengisahkan ketegasannya melawan pelacuran.

Dalam hal ini, risalah Nabi SAW datang membawa angin segar kebangkitan perempuan. Kebangkitan yang bahkan belum pernah dilakukan zaman-zaman sebelumnya. Kebangkitan yang datang dari gurun gersang dan dinilai miskin peradaban itu. Gagasan luar biasa yang dibawa Nabi SAW entah mengapa seolah menguap begitu saja seiring berjalannya waktu. Di banyak tempat, perempuan kembali didomestikasi oleh laki-laki. Mereka kembali terkungkung oleh nilai dan norma yang begitu mengerdilkan.

Imam Akbar Prof. Dr. Ahmad Thayyib, Syekhul-Azhar dalam kanal YouTube CBC Egypt menyebutkan bahwa salah satu penyebab utama timbulnya masalah ini adalah banyak dari umat Islam gagal membedakan mana tradisi mana agama. Beberapa tradisi yang sangat patriarkis dan merugikan wanita kemudian dipaksakan oleh para laki-laki dengan apologi dan dalih agama. Mereka mencoba mengadvokasi tradisi-tradisi ini dengan dalil agama.

Dalam tradisi Timur di Indonesia saja, kita bisa melihat betapa domestikasi perempuan sebenarnya sangat aneh jika kita bandingkan dengan gagasan brilian dari risalah Nabi SAW tentang perempuan. Contoh sederhananya, tradisi Timur yang meyakini lelaki adalah kepala keluarga yang argumen dan keputusannya pantang diganggu gugat. Sedang Islam sendiri datang membawa risalah pernikahan yang berlandaskan musyawarah dan mufakat. Begitu pula tradisi, norma, dan nilai lain yang sebenarnya cukup aneh jika kita bandingkan dengan ruh dan spirit Islam itu sendiri.

Mewaspadai Hijrah Salah Arah
Banyak pelaku hijrah yang lantas keluar dari pekerjaannya usai menuruti doktrin panutan. Lalu, bagaimana sebenarnya ulama memaknai hijrah?

Islam sebagaimana yang dibawa oleh Nabi SAW tentu membawa paradigma kesetaraan. Jika muslim di sekitar kita masih memperlakukan perempuan tidak semestinya, tentu itu bukan hasil olah-analisis atas agamanya, namun ia yang terkungkung oleh tradisi dan kepentingan ego-nafsunya sendiri. Dengan demikian, kita dapat bersikap adil dengan merenungkan kembali, apakah laku, nilai, dan norma yang selama ini kita yakini berbasis dogma agama atau sebatas tradisi yang coba kita advokasi mati-matian. Wallāhu a’lam.


💡
Baca juga artikel lain di rubrik OPINI atau tulisan menarik Azuma Muhammad

Latest