Sampai ke Baitullah Tapi Gagal Menuju Rabbul Bait

Dalam Ihya’ Ulumiddin, Bab Asrar Al-Haj terdapat satu cerita menarik dari pengalaman spiritual Ali bin Muwaffaq saat melakukan ibadah haji. Singkat cerita saat wuquf di Arafah, ia bermimpi menyaksikan dua malaikat sedang berbicara satu sama lain. Salah satu malaikat di situ menjelaskan bahwa tiap tahunnya terdapat enam ratus ribu umat Islam melakukan ibadah haji di Makkah. Namun dari jumlah enam ratus ribu tersebut, Allah hanya akan menerima ibadah haji enam orang saja.

Sontak mimpi itu membuat Ali sedih amat mendalam sebab khawatir hajinya tidak diterima. Seusai wuquf di Arafah ia kemudian bermukim di Masy’aril Haram. Ia pun merenungi lautan manusia yang sedang berhaji seraya bergumam betapa sedikitnya jumlah orang yang akan diterima ibadah hajinya.

Kala itu, ia kembali tertidur dan bermimpi dua malaikat tadi. Mereka melanjutkan percakapan tersebut dan menjelaskan maksud dari enam orang. Ternyata atas kemurahan Allah SWT, Allah melimpahkan di setiap pada satu orang (dari enam orang yang diterima hajinya), pada enam ratus ribu orang yang tidak diterima hajinya. Menyaksikan tersebut, kegundahan Ali hilang lalu ia berdoa agar pahala hajinya diberikan pada orang yang tidak diterima.

Cerita tersebut dapat menjadi refleksi di momen haji hari ini bahwa ibadah haji bukan ibadah main-main yang dilakukan sekedarnya tanpa penghayatan. Alih-alih hanya menjadi ibadah traveling untuk menaikkan status sosial, naudzubillah. Sehingga seseorang hanya raganya saja sampai Baitullah namun gagal sampai pada pemiliknya (Rabbul Bait).

Al-Quran selain menjelaskan aturan-aturan syariat haji, ia juga menekankan pada kehadiran dan kesadaran seseorang dalam haji. Sebagaimana di Surah Al-Hajj, “Dan serulah manusia untuk mengerjakan haji... agar mereka menyaksikan berbagai manfaat untuk mereka dan agar mereka menyebut nama Allah..”

Kata “Liyasyhadu”—merujuk pada penjelasan Syekh Salamah Dawud— dalam ayat di atas tidak sekedar menyaksikan dalam bentuk penampakan mata, melainkan bermakna “Hudhur” alias hadirnya kesadaran seseorang dalam melakukan sesuatu. Sehingga orang-orang yang haji tidak lalai atas apa yang ia saksikan. Kata Liyasyhadu dalam ayat tersebut membawa qarinah ‘agar’ yang menunjukkan tujuan dari disyariatkannya haji di ayat sebelumnya.

Keluarlah Dari (Ego)mu, Agar Bisa Masuk ke Rumah-Nya

Dalam tafsirnya ketika mengomentari ayat Surah Al-Imran, “Dan (di antara) kewajiban manusia kepada Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke baitullah, yaitu bagi orang-orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana”, Imam Al-Qusyairi mengajak kita untuk tidak terjebak dalam simbolisme Baitullah.

Tasawuf

Kumpulan tulisan bertema tasawuf dapat teman-teman baca

di sini

Jika untuk menuju “Rumah Allah” saja—kata Imam Al-Qusyairi— seseorang membutuhkan usaha berupa: perjalanan jauh, biaya yang tak sedikit, kesehatan dan mentalitas, maka bagaimana bisa kita menuju pemilik rumah tersebut (Rabbul bait) dengan berleha-leha (tanpa menanggung jerih payah). Jika Allah menyebut Baitullah sebagai Awwali Baitin Wudhi’a Linnas (rumah ibadah pertama yang dibangun), maka bagaimana kita lalai kekasih pertama (Allah) yang diletakkan untuk kita. “Terdapat perbedaan yang jauh antara orang yang bertawaf di rumah saja (dengan hati yang lalai), dengan orang yang benar-benar bermulazamah pada pemilik rumahnya (meski raganya tidak bertawaf).”

Lebih mendalam lagi, menurut Imam Al-Qusyairi seseorang perlu meletakkkan ‘ego’ kediriannya terlebih dahulu untuk masuk pada “rumah Allah”.“Engkau tidak disebut memasuki suatu rumah, jika engkau belum keluar dari dirimu” sebutnya. Seseorang yang berada di dua tempat (dimensi nafsu dan ilahiah), tidak mungkin bisa dalam satu kondisi (ketaatan). “Maka engkau tidak akan pernah memasuki ‘rumahnya’ (baitullah) sementara engkau masih terjerembab dalam wilayahmu dan tempatmu (egomu)”.

Berkaitan dengan hal ini, Ibnu Arabi mengajarkan kepada kita bahwa ada yang lebih mendalam dari Baitullah. Dalam kitab Al-Futuhat Al-Makkiyah, tepatnya bab haji, Ibnu Arabi memberikan analogi baitullah pada hati seorang mukmin. Pada hakikatnya, hati seorang mukmin adalah rumah Allah dan tanah haram yang mulia. Sebab hati adalah tempat yang dapat menampung samudera makrifat Allah—yang tidak bisa ditampung oleh langit dan bumi sekalipun.

Maka Ibnu Arabi berani mengatakan “Hati seorang mukmin itu lebih mulia dari rumah Allah”. Dengan bahasa lain, hakikat dari simbol baitullah adalah kembali pada hati manusia itu sendiri. Karena hati itu sama dengan baitullah, maka Allah jadikan Khawathir (gerak hati, setiap yang terlintas dalam hati) sebagai permisalan dari orang yang bertawaf mengitarinya. Maka dari sekian macam orang yang tawaf: ada yang sadar, paham akan ibadahnya, sehingga ia betul-betul memaksimalkan ibadahnya. Ada juga yang tidak sadar sehingga mereka bertawaf dengan hati yang lalai, lisan yang tidak menyebut nama Allah. Demikianlah juga gerak hati, ada yang terpuji dan tercela, ada yang baik dan buruk.

Barangkali inilah satir dan pesan yang tersirat cerita Ali bin Muwaffaq di atas: fenomena di mana orang sudah sampai di Baitullah tapi gagal menuju Rabbul Bait. Oleh sebab itu,— terutama zaman sekarang—seseorang jangan sampai sembrono dan salah niat dalam berhaji. Ibadah haji yang jamak disebut “panggilan” yang tersirat dalam syiar Labbaikallahumma Labbaik sudah seharusnya menambah kedekatan kepada Allah, ujuan utama dari ibadah haji adalah Allah, sang Rabbul Bait. Itulah maksud dari doa Allahumma ij’alhu Hajjan Mabruran, wa Sa’yan Masykura, wa Tijaratan Lan Tabur. Amin. Tabik!


💡
Baca juga artikel lain di rubrik OPINI atau tulisan menarik Lukman Hakim Rohim