Skip to content

Sang Wali Negeri Murid Syekh Hasan Al-Jabarti

Kisah wazir utusan Usmaniyyah yang akrab dipanggil Kur. Dahaga ilmu eksakta membawanya bertemu alim nan pakar Syekh Hasan Al-Jabarti di Al-Azhar.

FOTO: Masjid Al-Azhar Kairo dan jam matahari atau mizwalah. (Saif Amr/Unsplash)
FOTO: Masjid Al-Azhar Kairo dan jam matahari atau mizwalah. (Saif Amr/Unsplash)

Pada awal Muharam 1162 H (22 Desember 1748 M) datanglah seorang wali negeri baru untuk Mesir utusan Kesultanan Utsmani. Ia bernama Ahmad Basya yang akrab dipanggil dengan tambahan nama Kur karena matanya yang agak sedikit juling. Wali negeri yang setingkat wazir ini dikenal menggemari ilmu-ilmu eksakta seperti matematika dan falak. Sejak awal kedatangan ia sudah bertanya mencari sosok alim Al-Azhar untuk menimba ilmu.

Dalam jilid pertama kitab 'Ajaib Al-Atsar fi At-Tarajim wa Al-Akhbar, Syekh Abdurrahman Al-Jabarti sang muarikh mengisahkan dengan rinci kedatangan wazir yang kelak menjadi murid ayahnya ini. "Ia (Ahmad Basya) termasuk pejabat terpandang dan mempunyai kecenderungan belajar ilmu-ilmu hitung. Setelah ia sampai di Kairo, ia menetap di Al-Qal'ah (Benteng Shalahuddin, Kairo)."

Setelah seremoni penyambutan dan pawai, Wazir Ahmad Basya berbincang dengan para ulama besar saat itu, seperti Syekhul-Azhar Abdullah Asy-Syubrawi Asy-Syafi'i (wafat 1171 H / 1758 M), Syekh Salim An-Nafarawi Al-Maliki (wafat 1168 H / 1754 M), dan Syekh Sulaiman Al-Manshuri Al-Hanafi (wafat 1169 H / 1755-1756 M). Lama mereka terlibat pembicaraan tentang banyak hal hingga akhirnya sampai pada topik terkait ilmu hitung yang disampaikan Wazir Ahmad Basya. Sebagaimana etika para alim dalam berterus terang saat mendapati sesuatu yang tidak diketahui, ketiga ulama besar itu menyatakan, "Kami tidak menguasai ilmu-ilmu (eksakta) ini."

Sepercik Tata Krama Para Ulama Nahwu
Laku ulama yang penuh tata krama patut menjadi teladan bagi masyarakat muslim. Dalam memilih istilah, para ahli nahwu menjaga betul sikap santun.

Mendengar jawaban itu, Wazir Ahmad Basya terdiam dan terheran. Namun, ia tidak langsung berterus terang sebab apa yang membuatnya demikian.

Di lain kesempatan, di hari Jumat, sebagaimana Jumat lain yang menjadi rutinitas Syekhul-Azhar Abdullah Asy-Syubrawi adalah menjadi khatib resmi Masjid As-Sarayah (Istana) di masa itu. Terungkaplah apa yang dipikirkan sang wazir. Di momen pertemuan dengan Syekh Abdullah Asy-Syubrawi di hari Jumat, Wazir Ahmad Basya berkata, "Yang terdengar oleh kami di Ad-Diyar Ar-Rumiyyah (Negeri Turki), Mesir itu sumber banyak kemuliaan dan keilmuan. Dulu saya begitu ingin mendatanginya. Namun begitu sampai, saya mendapati laksana ungkapan (yang berbunyi) mendengar Al-Mu'aidi lebih baik daripada melihatnya."

"Sebagaimana yang Anda dengar, Ya Maulana, Mesir memanglah pusat banyak ilmu dan pengetahuan.", jawab Syekhul-Azhar Abdullah Asy-Syubrawi.

"Kalau memang demikian, mana (buktinya)? Anda toh ulama yang paling agung dan saya sudah bertanya kepada Anda perihal ilmu (eksakta) yang saya cari. Saya tidak mendapati apapun terkait ilmu-ilmu eksakta pada diri Anda. Pencarian ilmu Anda hanya terhenti pada fikih, al-ma'qul (yakni seperti ilmu mantik dan tauhid), al-wasail (seperti ilmu nahwu dan sharaf), sementara kalian meninggalkan al-maqashid (yakni ilmu-ilmu eksakta).", kata Wazir Ahmad Basya.

"Kami bukanlah ulama yang paling agung. Kami hanyalah yang bersedia di depan (tashaddur) untuk berkhidmah kepada mereka (alim ulama) serta memenuhi kebutuhan mereka melalui kerjasama dengan pejabat-pejabat negara dan para penguasa. Kebanyakan pelajar di Al-Azhar tidak menyibukkan diri dengan ilmu-ilmu eksakta kecuali untuk memenuhi secukupnya dalam penguasaan ilmu faraid yang mengatur warisan, yakni seperti al-hisab [al-maftuh] (hitungan sederhana) dan al-ghubar (hitungan kompleks)." terang Syekh Abdullah Asy-Syubrawi.

Ahmad Basya Kur menimpali, "Ilmu (untuk mengetahui) waktu itu termasuk dalam ilmu-ilmu syar'iyyah bahkan ia termasuk syarat sahnya ibadah, seperti untuk mengetahui masuknya waktu, arah kiblat, waktu puasa, bulan baru, dll."

"Na'am, iya, menguasai ilmu-ilmu itu masuk dalam fardu kifayah. Yakni apabila sudah dilaksanakan oleh sebagian, maka sebagiannya lagi telah gugur dari kewajiban. Ilmu-ilmu (eksakta) ini pun membutuhkan perkakas dan syarat-syarat, alat-alat khusus, dan keterampilan yang bersifat khusus..." kata Syekh Abdullah Asy-Syubrawi. Beliau juga menjelaskan bahwa mayoritas pencari ilmu di Al-Azhar adalah para fakir serta berasal dari pelosok-pelosok desa sehingga sedikit sekali ditemukan kesiapan untuk mendalami ilmu itu.

Etika Lingkungan dalam Islam
Etika lingkungan di era Industri 4.0 menjadi hal yang perlu dipahami masyarakat muslim. Nilai-nilai terkait hal ini sudah tertanam dalam Islam.

"Mana sebagian yang lain?", tanya Wazir Ahmad Basya dengan maksud menanyakan siapa yang telah menunaikan dengan menguasai ilmu eksakta.

"Ada. Mereka ada di rumah masing-masing dan menjadi tujuan para pencari ilmu.", kata Syekh Abdullah Asy-Syubrawi sebagaimana dikutip langsung dalam 'Ajaib Al-Atsar.

Syekhul-Azhar Abdullah Asy-Syubrawi lalu menceritakan ulama sepuh di Al-Azhar saat itu, yakni Syekh Hasan Al-Jabarti yang memang menguasai ilmu-ilmu eksakta, dari ilmu hitung sederhana hingga ilmu waktu, falak, dlsb.

"Saya mohon Anda mengutusnya ke saya.", kata Wazir Ahmad Basya.

Syekh Abdullah Asy-Syubrawi menolak dengan halus, "Ya Maulana! Beliau (Syekh Hasan Al-Jabarti) itu sosok yang agung. Juga tidak di bawah kuasa saya."

"Lalu bagaimana caranya supaya ia datang?"

"Anda bisa menuliskan surat resmi untuk dikirimkan. Beliau mungkin akan berkenan datang.", saran Syekh Abdullah Asy-Syubrawi.

Benar saja. Wazir Ahmad Basya Kur akhirnya melaksanakan saran itu. Ia kirimkan surat kepada Syekh Hasan Al-Jabarti. Lalu, beliau datang menemui. Terjadilah pertemuan yang mengubah 180 derajat cara pandang Wazir Ahmad Basya. Sang wazir begitu terpesona, bahagia dengan sosok alim besar yang mampu mengobati dahaga ilmu eksaktanya.

Sinergi Umara dan Ulama di Masa Pandemi
Corona kian menggila, para umara, ulama, dan tokoh-tokoh publik dituntut harus lebih berperan dalam menetralisir kekhawatiran umat.

Sejak pertemuan itu, Wazir Ahmad Basya mengkhususkan dua hari dalam sepekan untuk menemui Syekh Hasan Al-Jabarti. Ia belajar ilmu-ilmu eksakta kepada ulama sepuh Al-Azhar itu setiap hari Sabtu dan Rabu. Ia mulazamah (belajar secara kontinu) kepada Syekh Hasan Al-Jabarti sepanjang masa jabatannya di Mesir. Banyak permasalahan dalam ilmu eksakta yang membuatnya kebingungan kemudian berhasil terpecahkan setiap bertemu sang guru.

Ia berguru kepada Syekh Hasan Al-Jabarti dari ilmu hitung yang sederhana hingga ilmu falak yang penuh dengan praktik baik menghitung maupun membuat perkakas khusus terkait ilmu astronomi itu. Saking besarnya kekagumannya kepada sang guru, Wazir Ahmad Basya menyatakan, "Andai saja saya tidak dapat apapun selama (menjabat) di Mesir kecuali berupa pertemuan saya dengan guru besar ini, maka itu sudah cukup."

Dengan kepakaran yang diraihnya dalam ilmu-ilmu eksakta itu Ahmad Basya tercatat membuat banyak mizwalah atau jam matahari dengan berbagai jenis. Dua di antaranya berada di Masjid Al-Azhar. Dua lagi terpasang di Masjid Imam Asy-Syafi'i dan Kompleks Makam As-Sadat Al-Wafaiyyah, Kairo.

Satu karyanya yang masih terpasang dan bisa kita lihat hari ini berada di sebuah tiang di ruang terbuka Masjid Al-Azhar. Ada di sisi kanan jika kita masuk dari arah gerbang utama Bab Al-Muzayyinin. Mizwalah berbahan pualam itu berhiaskan tiga bait syair yang mengabadikan tarikh pembuatannya. Bagian akhir syair itu ditulis dan bisa dibaca dengan ilmu Hisab Al-Jummal.

مِزْوَلَةٌ مُتْقَنَةٌ # نَظِيْرُهَا لَا يُوْجَدُ
رَاسِمُهَا حَاسِبُهَا # هَذا الوَزِيْرُ الأَمْجَدُ
تَارِيْخُهَا أَتْقَنَهَا# وَزِيْرُ مِصْرَ أَحْمَدُ

Setelah lafal tarikhuha (تَارِيْخُهَا) adalah rangkaian kalimat yang tiap hurufnya menyimpan angka. Sehingga bila kita rincikan menjadi:

أتقنها  senilai 553
وزير senilai 223
مصر senilai 330
أحمد senilai 53
dengan total 1163 Hijriah (1750 Masehi).

Sebab rangkaian peristiwa itu, tiap bertemu Syekh Hasan Al-Jabarti, Syekhul-Azhar Abdullah Asy-Syubrawi berkata, "Semoga Allah SWT menyelamatkan Anda sebagaimana Anda telah menyelamatkan kami di depan Basya itu. Sungguh kalau saja tidak ada Anda, tentulah kami semua adalah keledai (hamir) di hadapannya (wazir)." Ungkapan ini kerap disampaikan oleh beliau kepada Syekh Hasan Al-Jabarti, sebagaimana dikenang oleh sang putra, yakni Syekh Abdurrahman Al-Jabarti mualif kitab 'Ajaib Al-Atsar fi At-Tarajim wa Al-Akhbar.


*Foto: Jam matahari yang ada di Masjid Al-Azhar.


💡
Baca juga artikel lain di rubrik BUDAYA atau tulisan menarik Mu'hid Rahman

Latest