Skip to content

Solusi Maraknya Kasus Pemerkosaan di Pesantren

Kasus pencabulan dan rudapaksa banyak terjadi belakangan. Mirisnya aksi itu dilakukan oknum pengajar agama. Kontrol sosial ialah jalan keluarnya.

FOTO: Ilustrasi untuk tulisan Solusi Maraknya Kasus Pemerkosaan di Pesantren (Joshua Hoehne/Unsplash)
FOTO: Ilustrasi untuk tulisan Solusi Maraknya Kasus Pemerkosaan di Pesantren (Joshua Hoehne/Unsplash)

Belum usai proses persidangan kasus pencabulan dan rudapaksa (pemerkosaan) yang dilakukan Ustadz Herry Wirawan, terjadi pula kasus serupa yang terbaru di OKU Sumatera Selatan. Kali ini pelakunya seorang pengasuh dan pengajar pondok pesantren Darul Ulum yang bernama Moh. Syukur. Adapun korbannya adalah santriwati berumur 19 tahun yang dirudapaksa Ustadz Syukur sejak April 2021 lalu. Hampir sama dengan kasus yang dilakukan Ustadz Herry, kasus ini terbongkar setelah santriwati yang menjadi korban itu melahirkan secara prematur di kamar mandi pesantren pada tanggal 21 Desember 2021 lalu. Masyarakat pun lantas curiga, hingga akhirnya, terbongkarlah aksi bejat yang dilakukan Ustadz Syukur. Sebelumnya, sekitar bulan November 2021 lalu, salah satu ustadz pondok pesantren di daerah Musi Rawas Sumatera Selatan berinisial IM juga kedapatan mencabuli beberapa santriwatinya.

Sungguh miris dan meresahkan. Seakan tiada habisnya berita pencabulan dan pemerkosaan yang dilakukan oleh oknum pengajar agama dan oknum pengasuh pesantren yang kemudian hampir selalu menjadi berita utama media-media mainstream kita. Semua itu sungguh sangat memalukan dan teramat memilukan, tersebab aksi itu dilakukan oleh figur-figur yang dianggap tahu akan ilmu-ilmu agama. Dari sederet kasus-kasus rudapaksa yang dilakukan oknum ustadz, yang paling heboh adalah kasus rudapaksa oknum pengasuh dan pengajar sebuah pondok pesantren di Ngoro Jombang berinisial SB (49) terhadap 15 santriwatinya dan juga kasus rudapaksa yang dilakukan Ustadz Herry Wirawan di Bandung terhadap 21 santriwatinya. Alasan hebohnya tidak lain karena status para pelaku yang sebagai pengajar sekaligus pengasuh pesantren, di sisi lain faktor para korban yang dirudapaksa itu mencapai belasan, bahkan hingga dua puluhan lebih.

Perempuan dalam Lintas Sejarah Peradaban Islam
Ulasan singkat atas karangan seorang alamah Syekh Ali Jum’ah. Buku tipis ini menyajikan bagaimana perempuan dalam lintas sejarah peradaban Islam.

Terkait aksi bejat Si Ustadz Herry Wirawan, setelah proses peradilan berjalan, fakta-fakta yang sangat biadab kini mulai terungkap. Agaknya tiada kata yang bisa tepat untuk menggambarkan kebejatan perilaku si ustadz hidung belang bernama Herry Wirawan itu. Bagaimana tidak, seorang yang notabene dianggap sebagai pengasuh pondok pesantren, tapi ia justru merenggut kehormatan dan menghancurkan masa depan santriwatinya sendiri.

Sebagaimana data dari P2TP2A (Pusat Pelayanan Terpadu Perlidungan Perempuan dan Anak) Garut, bahwa ada 21 santriwati yang telah dirudapaksa Si Herry Wirawan, delapan di antaranya sampai hamil, sebagian telah melahirkan, bahkan sampai ada yang dua kali melahirkan. Jadi total semuanya ada sembilan bayi yang telah lahir dari aksi bejat Ustadz Herry Wirawan kepada para santriwatinya. Di antara para santri yang menjadi korban Herry Wirawan itu, termasuk sepupu dari istri Herry sendiri. Biadabnya, aksi asusila Herry itu ternyata sempat dipergoki istrinya, tapi justru sang istri yang ditekan dan diancam untuk tidak ikut-ikutan atas apa yang telah dilakukan Herry. Lebih ironisnya, sang istri kemudian disuruh ikut “ngopeni” (merawat) bayi-bayi hasil hubungan paksa Herry Wirawan terhadap para santriwatinya. Gilanya, bayi-bayi yang dilahirkan oleh para santriwati itu kemudian didaku Herry Wirawan sebagai anak yatim piatu dan dijadikan alat untuk meminta bantuan dana kepada sejumlah pihak.

Mencuatnya kasus-kasus asusila yang dilakukan oleh para oknum ustadz itu begitu memilukan dan menyayat-nyayat nurani, terutama bagi kita sebagai generasi yang lahir dan tumbuh kembang dari rahim pesantren. Terlebih lagi setelah kita tahu lebih detail tentang aksi-aksi biadab dan bejat mereka (pelaku) yang umumnya beraksi dengan dilabeli dalih-dalih agama. Bahkan ada dalih dari pelaku yang mendoktrin santrinya bahwa yang dilakukan oleh ustadz bejat itu agar si santri mendapat keberkahan, agar auranya positif atau untuk mengusir hawa jahat setan yang terdapat di tubuh si santri. Ada pula aksi si oknum ustadz yang kemudian merekayasa dalil bahwa yang dilakukan ustadz, ajengan, atau kiai cabul itu bisa dibenarkan oleh agama Islam. Karena saking polos, lugu, dan berprasangka baik, modus rekayasa dalil agama ini acap berhasil memperdayai si korban.

Umat Islam dan Krisis Berpikir Kritis
Menghadapi karut-marut dunia maya era hiper-reality, umat Islam perlu bersikap kritis. Sebab tradisi kritik adalah bagian dari kemajuan Islam.

Kontrol (Sosial) Bersama

Sebagai generasi produk pesantren, fenomena-fenomena asusila di lingkup pesantren semacam itu memang sangat memilukan, menggeramkan, dan mencemaskan. Tersebab kasus serupa itu terus saja terjadi dan terus berulang dengan modus dan dalih-dalih para pelakunya yang kerap identik. Kiranya perlu ada kesadaran untuk menanggulangi bersama dan adanya “kontrol sosial” dari kita secara bersama-sama. Baik itu dari pihak ulama sebagai penanggung jawab pesantren, umara sebagai pihak pemangku kebijakan publik, serta dari pihak masyarakat sebagai bagian inti dari ruang sosial yang pasti bersinggungan dengan keberadaan pesantren.

Para pemangku pesantren ketika mendapati maraknya kasus asusila di lingkup pesantren juga harus melakukan muhasabah dari dalam dan dari sisi luar pesantren. Artinya bila dianalisa, termasuk pemicu banyaknya kasus asusila di lingkungan pesantren adalah karena faktor dewasa ini begitu mudahnya seseorang mendapat label ustadz, ajengan, kiai, atau sebutan-sebutan sejenis lainnya. Padahal secara kualitas dan kapabilitas, sejatinya mereka itu masih banyak yang tidak layak. Autokritik ini berlaku juga untuk para gus (putra kiai) yang tidak alim dan labil psikisnya, tapi kebanyakan begitu berambisi menjadi seorang ustadz atau kiai baru. Mestinya orang-orang seperti itu harus sadar diri dan memilih profesi selain menjadi ustadz, ajengan, atau kiai. Sebab, ketika nantinya yang menjadi pengajar atau pengasuh pesantren adalah orang-orang yang tidak layak, tentunya ini riskan menjadi bom waktu yang siap “meledak” kapan saja, utamanya meledak bila ada “kesempatan” untuk menekan pemicunya. Nah, jangan sampai sikap kita atas kasus asusila yang terjadi malah justru membuat orang apatis dan bersikap defensif dengan tidak mengakui bahwa para pelaku itu adalah termasuk ustadz atau kiai pesantren. Sebab, bagaimanapun juga mereka di mata masyarakat adalah ustadz dan pengajar pesantren, meski pesantren mereka itu masih belum berizin dan jenis “boarding school” atau biasa disebut sekolah berasrama.

Dari sisi umara, entah itu dengan membuat tim/lembaga pengontrol khusus atau bisa dengan memberikan wewenang kepada lembaga-lembaga yang sudah ada (Kemenag misalnya), pesantren-pesantren yang sudah ada di Indonesia ini juga harus selalu di-monitoring, bahkan harus diberi “pepeling” (peringatan) jika memang teridentifikasi ada penyimpangan-penyimpangan. Terutama untuk pesantren-pesantren yang tidak berizin serta ideologi atau kegiatan-kegiatannya terindikasi menyimpang. Menyikapi kasus asusila terbaru yang terjadi di Bandung dan OKU Sumatera Selatan, apa yang telah dilakukan oleh Kemenag dengan mencabut izin pesantren itu sudah tepat, bahkan kalau bisa lebih dipertegas dan ditingkatkan lagi dengan upaya-upaya preventifnya. Misalnya saja dengan membuat semacam sertifikasi atau uji psikologis dan uji kapabilitas untuk calon-calon ustadz atau pengasuh pesantren. Tujuannya bukan untuk mempersulit birokrasi atau merendahkan atau merecoki ranahnya pesantren, tapi untuk daf’ul mafsadat (antisipasi keburukan) atas munculnya figur tokoh agama yang tidak layak.

Membumikan Akidah Asy’arian ala Abah Cipulus
Bagaimana Alm. KH. Adang Badruddin mampu membumikan ajaran akidah Asy’ari di tengah masyarakat.

Selain mengadakan uji kelayakan, harus ditentukan pula standar minimal seseorang bisa masuk kualifikasi sebagai ustadz atau pengasuh pesantren. Jika tidak ada standar minimal, akan sangat riskan jika melihat perkembangan fenomena yang sekarang. Terlebih lagi, di era kiwari ini, di saat mulai marak pesantren-pesantren yang didirikan oleh orang-orang kaya atau artis kaya yang mempunyai dana besar. Sementara untuk pengajar dan pengasuhnya dicarikan orang-orang yang sanggup mengasuh, tanpa begitu melihat kapasitas dan kapabilitasnya. Ataupun fenomena mudahnya seseorang berafiliasi dengan donatur luar negeri, kemudian mendapat dana besar untuk mendirikan pesantren yang sesuai “pesanan” sang donatur. Jika sudah begini, potensi timbul aksi-aksi penyimpangan juga akan sangat besar.

Nah, di sinilah peran masyarakat yang hidup berdampingan dengan pesantren-pesantren harus pula melakukan kontrol sosial. Salah satu manfaatnya terlihat jelas pada kasus pencabulan dan rudapaksa yang terjadi di OKU Sumsel. Di mana dalam kasus pencabulan dan rudapksa yang dilakukan oleh Ustadz Syukur bisa terbongkar akibat kejelian masyarakat melihat dalam mengamati gerak-gerik santriwati muda yang hamil dan melahirkan tanpa adanya suami. Kecurigaan masyarakat itu lalu dikembangkan dalam sebuah laporan polisi untuk diselidiki lebih lanjut, hingga akhirnya terbongkar. Barangkali, jika kontrol sosial dan kontrol bersama antara ulama, umara, dan masyarakat sudah terjalin lebih harmonis, niscaya kasus asusila yang dilakukan oleh Herry Wirawan sejak 2016 itu pun bisa terbongkar lebih cepat lagi.


💡
Baca juga artikel lain di rubrik OPINI atau tulisan menarik Ahmad Muhakam Zein

Latest