Skip to content

Sudah Saatnya Alumni Al-Azhar Aktif Berdakwah di Medsos

Ada tantangan seorang Azhari atau alumnus Al-Azhar di zaman ini yang terkesan sepele namun tidak mudah: mengisi ruang dakwah di media sosial.

FOTO: Ilustrasi khalayak dengan gajet masing-masing. (Camilo Jimenez/Unsplash)
FOTO: Ilustrasi khalayak dengan gajet masing-masing. (Camilo Jimenez/Unsplash)

Dalam masa beberapa tahun ke belakang, dakwah Salafi Wahabi terkesan masih belum marak dan menyebar seperti halnya fonemena militansi dakwah mereka sekarang ini. Penyebaran pemahaman doktrinal teologis mereka hanya terbatasdi daerah-daerah tertentu dan tidak semasif seperti halnya hari ini. Semenjak maraknya pengguanaan paltform media sosial semisal YouTube, Instagram, Facebook, Tiktok dan lainnya menjadi fokus sarana dakwah kaum yang memiliki kecenderungan fundamentalisme agama ini. Dakwah mereka saat ini semakin ramai dan menjadi rujukan tontonan dalam bidang wacana keagamaan bagi generasi muda bahkan kalangan lanjut usia yang masih tergolong awam.

Apalagi aplikasi-aplikasi yang menjadi sarana media di atas, baik berupa kemasan video ataupun tulisan pendek khas racikan dakwah Salafi Wahabi mulai tersebar luas sampai ke grup-grup WhatsApp keluarga. Yang tadinya tidak menanggapi pun, akhirnya terbawa oleh ajakan dakwah teologis mereka. Apalagi yang mereka dakwahkan sering kali mempertentangkan antara tradisi berikut perspektif keislaman. Lalu apakah kita akan tetap diam saja sebagai alumni Al-Azhar yang notabenenya sebagai barometer kiblat Islam Ahlus-Sunnah wal-Jamaah di seluruh penjuru dunia?

Padahal secara kuantitas jumlah kalangan penganut paham Salafi Wahabi itu cenderung lebih sedikit jika dibandingkan dengan mayoritas umat Islam berpaham Ahlus-Sunnah wal-Jamaah di dunia ini. Namun, perihal manajemen penyebaran dakwahnya terkesan lebih baik lantaran tersistematis. Lewat manajemen dakwah tersebut menjadikan mereka eksis dan hadir di lingkungan kita. Pemahaman berikut jargon ‘Kembali ke Al-Quran dan Sunnah’ sering kali digaungkan dan menjadi tren di media sosial, khususnya mobilitas gaungan dakwah komunitas hijrah para artis ibukota. Kalau meminjam perkataan Sayyidina Ali, “Perkataannya benar namun yang dikehendaki keliru.” Pemahaman dangkal terkait jargon tersebut berakibat merongrong dan merusak akidah generasi muda kita. Ya, kita harus kembali ke Al-Quran dan Sunnah karena keduanya pedoman utama kita, namun dengan pemahaman orisinal yang berdasarkan pandangan para ulama yang muktabar. Bukan melalui reduksi dan distorsi pemahaman orang awam negeri ini.

Mewaspadai Hijrah Salah Arah
Banyak pelaku hijrah yang lantas keluar dari pekerjaannya usai menuruti doktrin panutan. Lalu, bagaimana sebenarnya ulama memaknai hijrah?

Di antara perkara yang penulis cukup khawatirkan adalah ketika sebagian alumni Al-Azhar cenderung memilih diam dan tidak ikut terlibat aktif mengisi ruang media sosial sebagai sarana berdakwah. Maka, akibatnya yang seringkali dijadikan rujukan oleh anak-anak muda awam negeri kita nanti adalah mereka yang selalu muncul di gawainya. Semisal ketika mencari solusi keagamaan lewat pendakwah berpaham Salafi Wahabi yang ramai di kanal YouTube. Oleh sebab kecenderungan hari ini, anak muda kita mulai malas mengaji di langgar-langgar perkampungan. Padahal surau ataupun masjid merupakan sarana efektif untuk mengaji kepada kiai atau ustadz kampung yang kredibel dan transmisi keilmuannya bisa dipertanggungjawabkan. Model mengaji dan pembelajaran keagamaan yang demikian tentu lebihsistematis sekaligus dapat menghindari pemahaman keagamaan yang distorsif. Memang sebagian anak muda kita menganggap kalau ada yang lebih mudah mengapa harus mengaji di langgar atau masjid yang mewajibkan hadir setiap hari dan membutuhkan waktu berjam-jam. Selain itu, anak muda kita cenderung malas membaca apalagi membaca wacana pemikiran keagamaan yang reflektif dan komprehensif. Pemuda muslim kita hari ini baik disadari atau tidak lebih asyik menonton daripada melakukan aktivitas literasi.

Mengurai Benang Kusut Hubungan Agama dan Budaya
Budaya bisa sangat berbeda antara satu daerah dengan yang lain. Mode berpakaian salah satunya. Bagaimana ajaran Islam melihatnya?

Kendati demikian, tantangan seorang Azhari (alumnus Al-Azhar) sekarang dan akan datang tidaklah mudah. Amanah Al-Azhar dengan manhaj Islam damai dan moderat hendaknya dapat tersampaikan hingga seluruh pelosok negeri. Kalau tidak secara cepat kita merespon Islam yang seringkali disalahpahami oleh kelompok Islam fundamentalis juga radikalisme yang mengatasnamakan Islam, maka wajah Islam yang rahmat dan menghargai kebhinekaan ini akan luntur dan surut dalam kepribadian kita.

Sudah saatnya para Azhari, mengisi ruang media sosial sebagai sarana dakwah untuk menyebarkan nilai-nilai ajaran Islam yang moderat dan toleran di tengah-tengah kemajemukan masyarakat Indonesia.


💡
Baca juga artikel lain di rubrik OPINI atau tulisan menarik Irfan Rifqi Fauzi

Latest