Skip to content

Akar Bencana Kemanusiaan

Kemanusiaan perlu mendapat perhatian dan perenungan yang mendalam di tengah tragedi Palestina. Sebuah tragedi kemanusiaan terbesar pada abad ini.

FOTO Dome of the Rock di Jerussalem, Palestina. (Unsplash/Levi Meir Clancy)
FOTO Dome of the Rock di Jerussalem, Palestina. (Unsplash/Levi Meir Clancy)

Sepanjang sejarah manusia, tragedi peperangan dan penjajahan menciptakan perenungan mendalam akan identitas ‘manusia’. Secara dialektis, kecemasan, kegelisahan, dan penderitaan menggugah nurani manusia untuk memikirkan kembali dirinya. Apa yang salah dalam dirinya sehingga dunia begitu menakutkan. Persis seperti saat Muhammad Iqbal—Sang Filosof Islam asal Pakistan—menyerukan untuk kembali pada khudi (diri) pada masyarakat India yang dilanda “kepalsuan hidup” di tengah kungkungan kolonialisme. Oleh sebab itu, di tengah tragedi pilu terbesar abad ini: problem Israel dan Palestina, “kemanusiaan” menurut saya harus dibicarakan dan direnungkan kembali.

Ketika orang-orang berbicara jauh pada konteks pengaruh politik, ekonomi, dan agama dalam konflik Israel-Palestina, hakikatnya konflik tersebut menyiratkan problem kemanusiaan terbesar abad ini. Konsistensi Israel untuk terus menyulut kebencian, kebengisan dan genosida menggambarkan kesadaran kolonial yang jauh lebih kejam di banding kolonialisme Eropa abad 18-19 M. Israel sudah tidak pantas membawa-bawa Yahudi sebagai agama abrahamik. Bahkan, Israel sebagai entitas negara maupun identitas Yahudi, sudah tidak ‘pantas’ eksis di peradaban manusia hari ini.

Dengan bahasa lain, menurut saya akar dari tragedi kemanusiaan adalah “problem manusia dengan dirinya”. Israel yang berada dalam genggaman kepentingan personal Benjamin Netanyahu telah menguatkan pemahaman di atas. Netanyahu adalah sosok politikus sayap kanan konservatif Israel yang membawa kepentingan Zionis di balik keputusan-keputusannya. Ia selalu membawa-bawa identitas agama—lebih tepatnya pseudo-agama— untuk melegitimasi serangan-serangan brutalnya. Netanyahu adalah gambaran manusia yang hidup dalam kepalsuan bayang-bayang kekuasaan dan kepentingan. Bahkan, kepentingan itu dapat mengontrol negara sepenuhnya dan menciptakan konflik internasional. Tak hanya pada kasus Israel-Palestina, bahkan problem-problem kemanusiaan terbesar sepanjang sejarah kemanusiaan nyaris bermuara pada sebab musabab yang sama.

Apa yang menyebabkan manusia tak selesai dengan dirinya? Sebagian besar menurut saya kembali pada bayang-bayang kepentingan duniawi: kekuasaan, ekonomi, dan hasrat-personal. Kepentingan itu kemudian mengontrol seseorang untuk melakukan tindakan di luar batasnya. Bayang-bayang kepentingan tersebut akhirnya menjatuhkan manusia dalam jurang ‘kepalsuan hidup’. Karena itu, manusia kerap kali hilang kesadaran dan jauh dari dirinya. Itulah menurut saya awal mula bencana kemanusiaan dalam fenomena Netanyahu dan negara-negara neo-imperial abad ini dengan banyak kepentingan masing-masing.

Palestina

Kumpulan tulisan yang mengangkat isu dan perjuangan Palestina dapat kalian temukan

di sini

Sekali lagi, saya ingin menekankan bahwa perang dan pembunuhan tidak akan pernah mendapatkan legitimasinya di dalam agama manapun—sebagai kritik pada Netanyahu yang selalu membawa-bawa dalil agama. Bahkan, manusia sejauh ia manusia dalam kesadarannnya yang paling dalam tidak akan mungkin berhasrat peperangan dan pembunuhan pada sesamanya. Dengan demikian, pelanggaran terberat dan dosa terbesar Israel adalah pada 2 hal: dosa pada kemanusiaan dan agama sekaligus.

Zikir dan Penjajahan Diri

Berdasarkan kematian manusia dalam jurang ‘kepalsuan hidup’ di atas, kita akan semakin mengerti mengapa Tuhan menghadirkan agama di dunia ini. Apa gerangan hal itu? Yaitu fungsi agama untuk “membebaskan” jiwa manusia dari belenggu bayang-bayang tadi. Agama juga akan mengembalikan, mengafirmasi, dan menghidupkan ‘diri’ manusia melalui ketenangan dan kedamaian jiwa. Itulah visi agama yang memanusiakan manusia. Agama yang menjunjung humanisme. Dikuatkan dengan apa yang Haidar Bagir ulas dengan penuh perenungan panjang dalam “Islam Tuhan, Islam Manusia”. Menurutnya, Agama bukanlah Evil yang menjadi sumber belenggu manusia sebagaimana salah dipahami sebagian orang. Sebaliknya, hakikat agama adalah sumber “cinta” yang membawa risalah kemanusiaan. Itulah makna pesan kedamaian dan ketenangan di dalam agama yang akan selalu dibutuhkan oleh umat manusia.

Karena itu para Sufi sudah jauh-jauh hari meyakini bahwa “Manusia yang kenal dirinya, Ia akan kenal Tuhannya”.  Sebuah logika paralel antara diri, Tuhan, dan kedamaian yang merujuk pada firman Allah, “Ala Bidzikrillahi Tathmainnu al-Qulub” yang bermakna “Hanya dengan mengingat (berzikir) Allah, hati (manusia) akan tentram”.Zikir adalah upaya membersihkan kotoran-kotoran jiwa sehingga ia bisa menjadi netral dan murni. Jiwa yang murni akan melahirkan kesadaran transendental di mana sikap dan tindakannya akan mulia. Berzikir dengan demikian adalah bentuk pembebasan jiwa sekaligus tindakan kembali kepada Tuhan. Zikir bukanlah sikap fatalistik dan berpangku tangan, melainkan bentuk start point bagi diri untuk melihat dunia dan segenap persoalannya secara jernih. Kesimpulannya, zikir adalah merawat kesadaran (kedirian) manusia agar tetap murni dan luhur.

Berdasarkan hal itu, saya ingin mengatakan—bersama dengan miliaran zikir dan doa masyarakat muslim dunia— kepada masyarakat Palestina. Sebuah perkataan tulus berdasar pada perenungan dan nurani terdalam. Bahwa meski air mata mereka mengucur deras, jasad mereka terluka, rumah-rumah dan wilayah mereka dibombardir, merekalah—masyarakat Palestina—pejuang kemanusiaan dan pemenang abadi. Sebab hati mereka selalu berzikir di tengah kegentingan, perasaan mereka penuh pasrah pada Tuhan, sikap mereka rida pada takdir Allah. Di saat itulah, Allah telah membuka kebebasan pada jiwa dan diri mereka dari segenap penjajahan. Sebab penjajahan hakiki terletak pada hati (diri) manusia, bukan sekedar pada jasadnya.

Sebaliknya, apa yang dilakukan Israel pada Palestina sejak awal hingga hari ini sebenarnya merupakan tindakan “menjajah” diri mereka sendiri dengan menampilkan kebengisan, kebiadaban, dan sikap-sikap antihumanisme. Sebab dengan itu, jiwa mereka terbelenggu. Jiwa mereka terjajah. Jiwa mereka berakhir mati dan lenyap dalam kegelapan iblis bernama kolonialisme. Nahasnya, mereka tetap bangga dengan keterjajahannya. Mereka sejak detik itu, bukan lagi ‘manusia’: hilang dan terasing dalam bayang-bayang pseudo-kemenangan. Allahumma Asyghil az-zhalimin bi az-zhalimin. Wallahu a’lam.


💡
Baca juga artikel lain di rubrik OPINI atau tulisan menarik Lukman Hakim Rohim

Latest