Skip to content

Buku Saku Ilmu Tafsir Karya Syekh Adz-Dzahabi

Guru besar ilmu tafsir Syekh Muhammad Husain Adz-Dzahabi mewariskan banyak kitab. Salah satunya buku kecil yang cocok dibaca pemula maupun ulama.

FOTO Sampul buku Ilmu Tafsir karya Syekh Muhammad Husain Adz-Dzahabi.
FOTO Sampul buku Ilmu Tafsir karya Syekh Muhammad Husain Adz-Dzahabi.

Tersebutlah seorang guru besar ilmu tafsir Al-Azhar pada abad 20 silam bernama Syekh Muhammad Husain Adz-Dzahabi. Ia dilahirkan pada tahun 1915 M di sebuah desa bernama Mathubas, desa sekaligus markaz yang secara administratif masuk ke dalam Provinsi Kafr Asy-Syaikh, Mesir. Figur guru besar yang menghibahkan hidupnya untuk Al-Azhar selama 62 tahun, hingga wafat pada tahun 1977 M dan dimakamkan di Qarafah Imam Asy-Syafi’i, Kairo.

Ia adalah sosok pionir yang banyak menginisiasi lahirnya berbagai pembagian cabang keilmuan tafsir. Sebut saja seperti At-Tafsir wa Al-Mufassirun miliknya, sebuah karya monumental yang menjadi awal kodifikasi (tadwin) metodologi para mufasir (manahij al-mufassirin). Begitu pun dengan karyanya yang berjudul Al-Israiliyyat fi At-Tafsir wa Al-Hadits sebagai awal kodifikasi kajian seputar israiliyyat.

Meneguk Spirit Optimisme Lafal Basmalah
Islam mengajarkan kita mengucap basmalah kala beraktivitas. Dalam Tafsir Al-Qusyairi, terdapat pemaknaan yang menarik tentang optimisme basmalah.

Selain dua contoh kitab yang masyhur di Indonesia di atas, mantan Menteri Wakaf Mesir yang bernama lengkap Muhammad bin As-Sayyid bin Husain Adz-Dzahabi ini juga mempunyai karya tipis seputar ilmu tafsir yang berjudul ‘Ilm At-Tafsir. Sebuah buku saku kecil yang sangat bagus untuk mengenal ilmu tafsir, baik sebagai pelajaran dasar bagi para pemula, maupun sebagai buku murajaah bagi para alim ulama.

Buku ini pertama kali dicetak pada tahun di mana beliau meninggal dunia, yakni pada tahun 1977. Dicetak di Maktabah Dar Al-Ma’arif, Kairo, dalam silsilah #Kitabuka Ke-9 dengan Anis Manshur sebagai pimpinan redaksinya. Isinya sesuai dengan peruntukan bukunya, mengambil inti sari konsep seputar ilmu tafsir yang begitu luas dan panjang, lalu meringkas hal tersebut dalam buku saku ini.

Dalam perjalanannya, buku ini tidak pernah lagi dicetak, hingga kemudian anaknya yang bernama Mushthafa Adz-Dzahabi kembali mencetaknya pada tahun 2005 silam dalam satu jilid besar bersamaan dengan kumpulan karya tulis Syekh Muhammad Husain Adz-Dzahabi lainnya. Kumpulan karya ini berjudul Buhuts fi ‘Ulum At-Tafsir wa Al-Fiqh wa Ad-Da’wah dan dicetak di Maktabah Dar Al-Hadits, Kairo.

Beliau mengawali buku 80 halaman ini dengan sebuah mukadimah, “Ini adalah rangkuman singkat supaya mengenal ilmu tafsir. Di dalamnya, saya menerangkan esensi ilmu tafsir, tahapan-tahapan yang dilaluinya, aliran-aliran di dalamnya, serta faktor-faktor yang mempengaruhi dan membawanya keluar dari jalur normal menuju jalur yang bercabang-cabang. Hal ini—selain tafsir yang dapat diterima—juga terdapat tafsir yang tertolak, tidak dibenarkan oleh akal dan tidak pula diterima oleh syariat.

Di sini, saya mencoba meletakkan sebuah metode yang tepat bagi mereka yang ingin menafsirkan kitabullah, supaya tidak terbuai oleh hawa nafsu. Saya juga menyebutkan syarat-syarat menafsir yang harus dipenuhi oleh setiap orang yang berkecimpung di dalam penafsiran kitabullah, supaya tidak terpeleset dan tersesat. Begitu juga, saya memberi peringatan atas sejumlah kitab tafsir yang di dalamnya terdapat rekaan-rekaan agar tidak tertipu olehnya.”

Al-Quran

Kumpulan tulisan dengan kata kunci Al-Quran dan cabang ilmunya bisa teman-teman temukan

di sini

Dari sejumlah isi mukadimah kitab, selain menjabarkan tujuan penulisan kitab ini serta pengertian-pengertian seputar tafsir, beliau juga menekankan sebuah inisiasi akan lahirnya kodifikasi di masa selanjutnya yang pada hari ini dikenal dengan nama dakhil fi at-tafsir (susupan dalam tafsir), kajian komprehensif yang di dalamnya mencakup berbagai bahasan, salah satunya adalah israiliyyat.

Dalam kitab ini, beliau menyebutkan pentingnya ilmu tafsir dan keharusan umat Islam, khususnya bagi setiap ulama yang berkecimpung di dalamnya untuk senantiasa memperhatikan tafsir, kaedah, dan pondasinya. Terlebih di zaman yang terus maju dan berkembang, serta orang-orangnya yang mulai banyak menyusup ke dalam ilmu yang bukan ranahnya, lalu membuat banyak kerusakan dan syubhat di dalamnya.

Selain itu, dikarenakan subjek ilmu tafsir adalah kitabullah, Syekh Muhammad Husain Adz-Dzahabi menekankan wacana (malakah) bagi mereka yang memasuki ranah tafsir. Terlepas apakah nantinya tiap mufasir memiliki kecondongannya masing-masing. Di sini, beliau memberikan sejumlah permisalan, “Ilmu balaghah misalnya, ia menjadi sarana untuk menyingkap retorika Al-Quran dan rahasia i’jāz-nya. Ilmu fikih dan usul fikih menjadi sarana untuk menyingkap legislasi dan hukumnya. Ilmu nahwu dan sharaf menjadi sarana untuk kesesuaian lafaz dan memahami kandungan maknanya. Ilmu teologi dan dialektika menjadi sarana untuk menyingkap ideologi dan sokongannya dengan argumen yang tajam dan absolut.”

Mari Merayakan Ultah Nabi!
Perayaan maulid nabi menjadi momen bahagia umat Islam sedunia. Tapi, kenapa hari lahir Sang Nabi yang diperingati, alih-alih hari wafatnya?

Hal yang menarik dari pemaparan beliau dalam buku saku ini adalah pemaparan seputar marhalah dan tahapan tafsir dari masa ke masa, bagaimana cara penafsiran di masa Nabi Muhammad SAW dan sahabatnya, di masa tabiin, hingga masa kodifikasi ilmu tafsir sampai detik beliau hidup. Hal yang kelihatannya simpel, namun dapat berakibat fatal bagi pembaca kajian tafsir jika sampai tidak mengerti akan hal ini. Lihat saja bagaimana syubhat orientalisme, quranisme, wahabisme, dan seumpamanya yang tidak memahami konteks penafsiran para tokoh mufasir di tiap masanya, corak tiap mufasir dalam kitabnya, dan metodologi yang dianutnya. Dengan mencamtunkan pembahasan seputar perjalanan tafsir di tiap fase, gradiasinya, alirannya, serta coraknya, barulah beliau membagi pembahasan tafsir sesuai dengan pengelompokannya, seperti At-Tafsir Al-Ma'tsur, At-Tafsir Al-‘Aqli, At-Tafsir Al-Maudhu’i, At-Tafsir Al-Isyari, dan At-Tafsir Al-‘Ilmi.

Terakhir, pada khatimah beliau berwasiat kepada para pembaca, “Al-Quran akan senantiasa segar lagi subur. Begitupun dengan tafsirnya yang akan senantiasa menjadi lautan tak bertepi. Dari aspek mana saja kamu mendatanginya, kamu akan menemukan mutiara berharga di dalamnya. Betapapun giat dan tekunnya para mufasir dalam mengkaji hikmah dan rahasianya, mereka tidak akan mencapai tujuan dan menemukan tempat pemberhentian akhir.

Ragam Pendapat Ulama tentang Sab’atu Ahruf
Meski berbeda, Sab’atu Ahruf kerap dikira khalayak sebagai tujuh macam qiraat (Qiraah Sab’ah) Al-Quran. Begini beragam pendapat ulama tentangnya.

Pun demikian, mereka yang berkecimpung dalam penafsiran kitabullah—terlepas dari kecenderungan dan keragaman mazhabnya—akan senantiasa mempelajari Al-Quran untuk menyingkap ilmu-ilmu dan petunjuk-petunjuk yang terkandung di dalamnya. Mereka ini akan selalu ada, baik hari ini maupun esok. Hingga Hari Kiamat tiba, mereka akan terus menggali tafsir Al-Quran, dengan harapan bahwa hal-hal baru akan tersingkap melalui ayat-ayat di dalamnya. Dengan izin Allah, mereka akan dapat membuka hal baru tersebut. Dan lagi-lagi, meskipun keluasan dan kesulitannya akan tersingkap, semua itu hanyalah setetes dari simpanan ilmu Allah, Zat yang berfirman: ‘…Tidaklah kamu semua diberi pengetahuan, melainkan hanya sedikit.’ [Surah Al-Isra: 85].”


💡
Baca juga artikel lain di rubrik RESENSI atau tulisan menarik Amirul Mukminin

Latest