Skip to content

Fitrah Perbedaan dan Adab dalam Menyikapinya

Ulasan buku karangan guru besar Fakultas Dakwah Universitas Al-Azhar. Buku karya Syekh Jamal Faruq yang mengupas perbedaan dan cara menyikapinya.

FOTO Syekh Jama Faruq Ad-Daqqaq dan insert sampul kitab karangannya. (Markaz Dakwah Islamiyah Pakistan)
FOTO Syekh Jama Faruq Ad-Daqqaq dan insert sampul kitab karangannya. (Markaz Dakwah Islamiyah Pakistan)

Salah satu keniscayaan dalam kehidupan manusia adalah perbedaan. Hampir segala aspek kehidupan manusia tidak terlepas dari perbedaan. Mulai dari perkara yang sederhana seperti pilihan selera makanan dan cara berpakaian, hingga persoalan besar seperti cara beragama sampai perbedaan pilihan calon pemimpin bangsa.

Pada prinsipnya, perbedaan bukanlah suatu hal yang negatif. Perbedaan membuat hidup manusia menjadi lebih semarak, beragam, dan tidak membosankan. Dalam agama Islam, perbedaan pandangan dalam beragama dianggap sebagai manifestasi dari anugerah dan kasih sayang (rahmah) itu sendiri. Nabi Muhammad SAW dalam hal ini menegaskan, “ikhtilāfu ummati rahmatun (perbedaan pendapat umatku adalah rahmat).

Namun, perbedaan yang positif tersebut berubah menjadi negatif ketika memunculkan permusuhan, perpecahan, pertikaian, bahkan pembunuhan dan peperangan. Perbedaan yang menimbulkan permusuhan merupakan bentuk sikap yang menyalahi prinsip-prinsip kehidupan yang damai dan harmonis. Dalam sejarah kehidupan manusia, perbedaan model ini terbukti telah menjauhkan manusia dari kehidupan yang produktif. Perbedaan yang harusnya diposisikan sebagai suatu anugerah, dalam kasus ini perbedaan justru adalah musibah yang harus diwaspadai setiap manusia, khususnya umat Islam.

Dalam hal ini, penulis akan mengulas salah satu buku karangan ulama Al-Azhar yang memperbincangkan isu-isu perbedaan dalam konteks umat Islam dan cara menyikapinya secara bijak, yaitu buku yang berjudul “Bashair Azhariyyah fi Majalat Al-Ikhtilaf baina Al-Muslimin wa Dhawabithuhu Al-Akhlaqiyyah” karangan Syekh Jamal Faruq Ad-Daqqaq. Buku ini diterbitkan oleh penerbit Kasyidah (Mesir) pada tahun 2013 dalam 216 halaman. Buku ini menjadi penting dalam konteks saat ini, di mana banyak umat Islam yang masih saja salah dalam memandang makna perbedaan dan pada akhirnya tidak bijak dalam menyikapinya.

Syekh Jamal Faruq Ad-Daqqaq merupakan salah satu ulama Al-Azhar yang membidangi kajian keilmuan Al-Quran dan teologi Islam. Ulama yang mengajar dan pernah menjabat dekan di Fakultas Dakwah Islam Universitas Al-Azhar ini lahir pada 27 Mei 1960. Selain mengajar di kampus, ulama yang telah menyelesaikan Qira’ah Asyrah di hadapan Syekh Abdulhakim Abdullathif ini juga aktif mengajar di halaqah-halaqah keilmuan, baik di riwaq Masjid Al-Azhar maupun di lembaga-lembaga keilmuan lainnya. Penulis sempat belajar langsung dengan Syekh Jamal Faruq dalam beberapa pengajian kitab yang beliau ampu, seperti Syarh Al-Kharidah Al-Bahiyyah dan Syarh Umm Al-Barahin. Kajian-kajian kitab yang beliau ampu, dapat diakses secara luas di beberapa kanal YouTube, selain juga beberapa karya tulis yang ditersedia di maktabah-maktabah di Kairo, Mesir.

Buku ini diawali dengan pengantar (tamhid) yang mengulas mengenai makna ikhtilaf (perbedaan) dan penyebabnya secara umum serta terdiri dari dua bab. Bab pertama membahas mengenai tiga sektor perbedaan umat Islam (teologi, politik, dan fikih) serta penyebab yang melatarbelakanginya. Sedangkan dalam bab kedua, Syekh Jamal Faruq memaparkan mengenai adab dan moralitas yang harus dikedepankan umat Islam dalam menyikapi perbedaan, yakni dengan menjelaskan kedudukan adab dalam perbedaan, contoh konkret kehidupan para ulama dalam menyikapi perbedaan, serta aturan-aturan moral dalam perbedaan.

Perbedaan Positif dan Perbedaan Negatif

Di dalam pengantar buku ini, Syekh Jamal Faruq menjelaskan bahwa perbedaan (ikhtilaf) pandangan, aliran pemikiran, maupun kepercayaan teologis, atau yang lainnya, merupakan bagian dari fitrah manusia, yang memang sejak awal ‘sengaja’ diciptakan oleh Allah berbeda; bahasa, kultur, warna kulit, tabiat, lingkungan, dan lain sebagainya. Mengingkari fitrah ini, merupakan pengingkaran atas sunnatullah atas hamba-hamba-Nya, yang menghendaki pluralitas sebagai bagian dari kehidupan mereka. Dalam hal ini, Syekh Jamal menukil Surah Hud ayat 118-119, “Dan jika Tuhanmu menghendaki, tentu Dia jadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih (pendapat), kecuali orang yang diberi Rahmat oleh Tuhanmu”.

Al-Quran

Kumpulan tulisan dengan kata kunci Al-Quran dan cabang ilmunya bisa teman-teman temukan

di sini

Syekh Jamal Faruq dalam pengantar buku ini berupaya memperjelas perbedaan istilah antara ikhtilāf, khilāf, jadal, dan syiqāq, yang mana keempatnya dianggap memiliki persamaan makna sekaligus perbedaan. Ikhtilāf dan khilāf meskipun bermakna mirip dan dapat diartikan dalam bahasa Indonesia dengan “perbedaan”, menurut Syekh Jamal, menukil Abu Al-Baqa, bahwa dalam beberapa aspek, keduanya dapat dibedakan, “Ikhtilāf (terjadi) ketika metode yang digunakan berbeda namun memiliki orientasi yang sama, sedangkan khilāf baik metode maupun orientasinya berbeda. Ikhtilāf (terjadi) ketika kedua belak pihak mendasarkan pada argumentasi, sedangkan dalam khilāf keduanya tidak melandaskan pada argumentasi. Apabila ikhtilāf merupakan menifestasi dari kasih sayang (rahmah), khilāf adalah manifestasi dari bidah”. Secara umum, dalam keduanya hanya menyimpan makna “perbedaan” an sich, yang mana tidak ada indikasi perselisihan dan pertentangan (syiqaq) atau upaya-upaya untuk membela pendapat sendiri atau meyakinkan pihak lain (jadal).

Terdapat dua bentuk perbedaan dalam pendangan Syekh Jalam Faruq, yaitu perbedaan yang positif (ikhtilāf masyru’) dan perbedaan yang negatif (ikhtilāf madzmum). Perbedaan yang positif berakar pada kaidah-kaidah moralitas dan ilmiah sehingga perlu untuk dilestarikan, sedangkan perbedaan yang negatif merupakan perbedaan yang diperingatkan oleh Al-Quran untuk diwaspadai karena berakar dari hawa nafsu dan kepentingan individual semata (Surah Ali Imran: 19), menyebabkan pertikaian, permusuhan, dan perpecahan (Surah Ali Imrah: 105).

Dalam buku ini, Syekh Jamal juga menerangkan lima sebab suatu perbedaan dapat terjadi. Lima sebab tersebut yaitu, (1) perbedaan tingkat pengetahuan dan daya nalar, (2) perbedaan minat dan kecenderungan manusia, (3) kesulitan dan kerumitan dalam memahami suatu persoalan, (4) perbedaan metodologi dan lingkungan kebudayaan-ilmiah, serta (5) fanatisme dan sakralitas terhadap pendapat dan pandangan umat terdahulu. Kelima sebab perbedaan ini, merupakan sebab-sebab umum di mana suatu perbedaan dapat dibaca sebabnya dan dirasionalisasi.

Perbedaan Umat Islam dalam Ranah Teologi, Politik, dan Hukum Islam

Dalam bab satu, Syekh Jamal Faruq mengulas terkait tiga sektor yang dalam sejarah umat Islam mengalami perbedaan dengan derajat intensitas yang tinggi hingga melahirkan berbagai aliran pemikiran dan mazhab, yaitu sektor teologis (akidah), politik, dan hukum Islam (fikih).

Tampak dalam bab ini, Syekh Jamal ingin memberikan gambaran kepada pembaca terakait kondisi dalam tubuh umat Islam yang sedari wafatnya Kanjeng Nabi mengalami perbedaan-perbedaan dalam berbagai aspek kehidupan beragama serta faktor yang menyebabkannya, khususnya dalam tiga aspek tersebut. Sehingga dengan mengetahui fakta-fakta terkait perbedaan dan penyebab yang melatarbelakanginya, pembaca mampu menyikapi perbedaan-perbedaan tersebut secara bijak.

Menurut Syekh Jamal, perbedaan yang terjadi dalam tubuh umat Islam harus disikapi secara bijak dan tidak emosional, sehingga tidak menimbulkan perpecahan umat. Hal ini beliau tegaskan dengan menghadirkan banyak contoh laku para ulama dalam menyikapi ikhtilaf  yang terjadi di era mereka. Dengan contoh-contoh tersebut, beliau ingin mengajak pembaca meneladani sikap ideal dalam mengolah perbedaan menjadi suatu hal yang produktif dengan penuh cinta-kasih (rahmah). Bagi beliau, persatuan umat Islam (wahdatul ummah) jauh lebih penting dari ego dan kepentingan pribadi dan kelompok.

7 Akhlak dalam Menyikapi Perbedaan

Apabila perbedaan merupakan fitrah dan sebuah keniscayaan dalam kehidupan manusia, maka cara menyikapi perbedaan tersebut menjadi hal yang penting untuk dipelajari. Hal ini selain agar perbedaan tersebut membawa pada kemaslahatan bersama, juga untuk menjaga nilai-nilai harmonis dalam suatu komunitas dan tidak terjatuh pada pertikaian yang kontra produktif.

Dalam bab dua buku ini, Syekh Jamal memaparkan nilai-nilai moral yang harus dikedepankan dalam menyikapi pembedaan tersebut. Beliau merujuk pada ajaran dan nilai-nilai yang dipegang oleh para sahabat dan ulama Islam, yang mana nilai-nilai tersebut merupakan ajaran yang diwariskan dari baginda Nabi SAW. Oleh karenanya, dalam pembahasan ini, Syekh banyak menghadirkan contoh-contoh konkret adab para ulama ketika terjadi perbedaan pendapat antara satu sama lain.

Menurut Syekh Jamal Faruq Ad-Daqqaq, terdapat tujuh adab yang harus diperhatikan menyikapi perbedaan, yaitu: (1) ikhlas dan menyingkirkan segala bentuk dorongan hawa nafsu, (2) objektif dan menanggalkan sikap fanatik, (3) berprasangka baik terhadap orang lain, (4) berhenti menyerang dan menghina, (5) menjahui debat kusir (mirā’) dan pertengkaran dalam perdebatan, (6) mengedepankan sikap dialog dengan bijaksana, dan (7) saling menyokong dalam perkara yang disepakati dan memaklumi perkara-perkara yang berbeda.

Buku ini menurut penulis menjadi salah satu referensi yang perlu dibaca untuk memperkaya khazanah pemahaman terhadap ajaran dan nilai-nilai islami dalam menyikapi perbedaan (ikhtilaf). Selain itu, buku ini juga relevan bagi mereka yang masih saja merasa sulit untuk menerima realitas perbedaan yang terjadi di kalangan umat Islam. Syekh Jamal dalam hal ini mampu memaparkan nilai-nilai islami tersebut, dengan diiringi argumentasi yang kuat, baik tekstual maupun rasional, serta contoh-contoh konkret dalam kehidupan para sahabat dan ulama-ulama Islam.


💡
Baca juga artikel lain di rubrik RESENSI atau tulisan menarik Wilda Rochman Hakim

Latest