Skip to content

Gempa Turkiye-Suriah; Memaknai Kembali Konsep Qadha dan Qadar

Bencana alam adalah sebagian peristiwa yang menyadarkan manusia. Ada kekuatan adikodrati di luar dirinya. Lalu, di mana posisi manusia sebenarnya?

FOTO Ilustrasi (Unsplash/Ries Bosch)
FOTO Ilustrasi (Unsplash/Ries Bosch)

Akhir-akhir ini, tampaknya Tuhan sedang ‘berdialog’ dengan manusia melalui rentetan bencana-bencana. Belum kering dari perhatian kita, gempa bumi di Cianjur yang menelan ratusan korban jiwa, disusul dengan berita menggemparkan di Turkiye dan Suriah, gempa berkekuatan 7,8 magnitudo, yang per Selasa (14/02/23) dilangsir dari Liputan6.com korban jiwa menembus angka 36.217 ribu jiwa. Begitu dahsyatnya gempa yang terjadi pada Senin (06/02/23) pagi sekitar pukul 04.17 ini, hingga digolongkan dalam gempa ketujuh paling memakan korban di dunia.

Banyak respon kemudian muncul menafsirkan kejadian ini. Ada yang mengaitkannya dengan tanda-tanda akhir zaman, ada yang mengaitkannya dengan dosa manusia, fenomena alamiah, ujian Tuhan, bahkan sebagaian teori konspirasi mengaitkannya dengan proyek Amerika Serikat. Beragam interpretasi ini sebatas pada upaya pemaknaan dan penafsiran peristiwa yang terjadi, tidak sampai mengubah fakta bahwa kejadian tersebut sudah terjadi. Tanpa bisa ditolak.

Bencana alam, termasuk di antaranya gempa bumi merupakan sebagian dari peristiwa yang menyadarkan manusia akan adanya kekuatan adikodrati di luar diri mereka. Kekuatan dengan kehendak mutlak, tanpa bisa diamandemen maupun diinterupsi. Dalam term agama Islam, kekuatan tersebut merupakan representasi dari sifat khalq (penciptaan), qudrah (kuasa), dan juga iradah (kehendak) Allah SWT yang mutlak. Tidak ada manusia yang benar-benar ingin terjadi bencana, apalagi jika menimpa dirinya, namun kuasa, kehendak, dan ke-Maha Pencipta-an Allah SWT memiliki logikanya tersendiri.

Kesadaran akan bencana dan latar belakang yang mengiringinya membawa kita pada pertanyaan-pertanyaan fundamental dalam kehidupan: di mana posisi manusia dalam kehidupan? Apakah mereka bebas untuk melakukan apa saja? Apakah justru mereka tunduk sepenuhnya pada kuasa Allah? Pertanyaan-pertanyaan yang tidak akan pernah usai diperbincangkan oleh manusia, yaitu mengenai takdir manusia dalam kehidupan ini. Takdir yang dalam term Islam merujuk pada konsep qadha dan qadar.

Mamaknai Qadha dan Qadar

Keyakinan adalah unsur penting bagi manusia. Keyakinanlah yang menjadi pendorong seseorang dalam melakukan tindakan dan bersikap. Itulah mengapa ranah akidah dalam Islam menempati posisi yang sentral (ushul). Dari enam rukun iman, salah satu di antaranya adalah percaya akan qadha dan qadar, baik yang baik maupun yang buruk. Dalam hadits Jibril ditegaskan, “…wa tu’mina bi al-qadari khairihi wa syarrihi (dan kamu beriman kepada qadar yang baik maupun yang buruk)”.

Menurut keterangan Syekh Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthi dalam kitabnya “Al-Insan Musayyar am Mukhayyar?” (Manusia antara Fatalistis atau Berkehendak Bebas?), qadha diartikan sebagai ilmu Allah SWT sejak zaman azali berkenaan dengan segala sesuatu yang akan terjadi di masa depan, termasuk di antaranya perbuatan-perbuatan manusia. Sedangkan qadar diartikan sebagai terwujudnya segala sesuatu tersebut secara faktual bersesuaian dengan ilmu Allah SWT yang azali. Sehingga inti dari pemahaman mengenai keduanya terletak pada ilmu Allah yang azali, ketika belum termanifestasi secara kongkret disebut qadha, dan apabila telah terjadi disebut sebagai qadar.

Segala sesuatu yang sudah terjadi maupun yang akan terjadi di muka bumi tidaklah terlepas dari pengetahuan dan ketetapan Allah tersebut. Bencara alam dalam segala bentuknya, telah Allah ketahui kapan, di mana, dan seperti apa, sebelum ia benar-benar terjadi. Apa yang akan terjadi esok hari, apa yang akan kita lakukan lima menit dari sekarang, masa depan umat manusia, dan semuanya, telah Allah ketahui dalam ilmu-Nya yang azali. Namun, hal ini, menurut keterangan Syekh Al-Buthi, tidaklah membuat kehidupan manusia menjadi serba fatalistik (jabr), karena sifat qadha dan qadar ini berkaitan dengan sifat ilmu Allah yang merupakan sifat kasyifah (menyingkap) bukan sifat mu’atstsirah(berdampak). Sehingga meskipun Allah mengetahui segalanya, manusia tetap memiliki ‘peran’ (kasb) dalam setiap perbuatannya.

Syekh Al-Buthi mengartikan qadha sebagai ilmu Allah yang azali. Di mana ilmu Allah ini senantiasa mengikuti kehendak (iradah-Nya). Artinya ketika Allah berkehendak, maka sekaligus Allah mengetahui. Di mana kedua sifat ini senantiasa merepresentasikan kebijaksanaan (hikmah), keadilan (‘adl), welas asih (luthf), dan kasih sayang (rahiim) Allah. Sehingga segala sesuatu yang terjadi tidak akan terlepas dari hal tersebut. Apapun itu.

Lingkungan

Kumpulan tulisan yang mengangkat isu lingkungan dapat teman-teman baca

di sini

Oleh karenanya, setiap kejadian dan peristiwa apabila datang dari Allah SWT selalu memiliki nilai hikmah. Begitu pula dengan gempa bumi yang akhir-akhir ini mengguncangkan Turkiye dan Suriah. Memang bencana selalu menyisakan kesedihan dan kegetiran dalam hati, namun hanyut dalam duka dan kesedihan bertolak belakang dengan nilai-nilai agama itu sendiri, yaitu ketundukan dan keimanan. Berangkat dari perenungan atas konsep qadha dan qadar, ada beberapa sikap dan tindakan yang mungkin bisa dilakukan dalam situasi bencana, musibah, maupun kesulihatan-kesulitan lainnya.

Bagaimana Menyikapi Musibah?

Gempa bumi, bencana alam, maupun musibah lainnya bagian dari takdir yang datang dari Allah SWT. Seorang yang beriman akan qadha dan qadar, akan melihat segala bentuk bencana tersebut sebagai kejadian yang tidak terlepas dari kebijaksanaan, welas asih, keadilan, dan kasih sayang Allah kepada manusia. Entah mengerti hikmah di balik kejadian itu ataupun tidak. Gempa bumi yang menelan ribuan jiwa, bukan hanya dipandang sebagai musibah yang penuh kesedihan, tetapi juga ketetapan Allah yang selalui dibarengi dengan hikmah dan pelajaran. Kematian (yang merupakan puncak ketakutan manusia) tidak hanya dilihat sebagai perpisahan dan kemalangan, namun juga pertemuan dan sowan pada sang Kekasih.

Musibah itu ibarat cubitan dan makian. Cubitan mungkin mengakibatkan memar dan rasa sakit, dan makian menyebabkan rasa kesal, pedihnya hati, bahkan rontoknya jiwa. Namun, akan berbeda cerita ketika cubitan itu datang dari ibu. Makian akan berbeda pula ketika datang dari seorang yang kita kasihi dan cintai. Musibah dan rasa sakit bagaimanapun bentuknya, akan memiliki makna dan arti yang mendalam jika berasal dari sosok yang kita anggap istimewa. Bahwa musibah, sebesar apapun rasa sakit, rasa sedih dan rasa kehilangan yang diakibatkannya, adalah berasal dari ‘Sang Kekasih’ yang Maha Mengetahui, Maha Berkehendak, dan Maha Mencipta. Bahwa apapun yang berasal dari Allah tidak luput dari hikmah dan kebijaksanaan. Dan kekasih, memberikan ‘rasa sakit’ tidak benar-benar sedang menyakiti ataupun membenci.

Pemaknaan mendalam akan qadha dan qadar ini menciptakan manusia-manusia yang penuh kepasrahan dan keridaan di tengah kesulitan-kesulitan yang menimpa. Keridaan mereka disandarkan pada ketetapan Allah yang rahman-rahiimkepada hamba-Nya, yang kasih sayang-welas asih-Nya mendahului segala kemurkaan-Nya. Implikasi dari keridaan yang berakar mendalam seperti ini selanjutnya memunculkan sikap yang relevan terhadap situasi dan kondisi. Melanjutkan analogi sebelumnya, seorang ibu mencubit anaknya bukan untuk menyakiti, namun menginginkan adanya kesadaran, perenungan, dan selanjunya action (tindakan) yang dilakukan si anak pasca ‘peringatan’ tersebut. Begitu pula dengan musibah yang datang dari Sang Maha Welas Asih, tidak hanya sebagai cambukan semata, namun juga menghendaki adanya kesadaran, perenungan, dan sikap yang relevan terhadap situasi.

Akhirnya, gempa bumi yang terjadi akhir-akhir ini merupakan bagian dari scene besar qadha dan qadar Allah SWT. Scene yang Allah ketahui dan kehendaki sejak zaman azali, yang sarat akan nilai hikmah dan kebijaksanaan. Selain berusaha mencapai maqam rida terhadap apa yang terjadi, peristiwa ini juga menghendaki adanya introspeksi diri dan aksi yang konkret untuk mengahadapinya. Aksi dan tindakan ini tentunya akan berbeda antara satu manusia dengan yang lainnya, bisa dalam bentuk donasi bencana, penanganan dan pemulihan secara optimal, menjadi relawan, atau bahkan mendoakan korban dan sanak saudaranya. Di mana sikap rida dan aksi nyata di masa-masa seperti ini tidak lain merupakan manifestasi dan buah dari hakihat keimanaan kepada Allah dan segala ketetapan-Nya.

Dan Kami pasti akan mengujimu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan sampaikan kabar gembira kepada orang-orang yang sabar. (Surah Al-Baqarah: 155).”


💡
Baca juga artikel lain di rubrik OPINI atau tulisan menarik Wilda Rochman Hakim

Latest