Skip to content

Hukum Tuhan dan Kemajuan Peradaban

Takrir atas sebuah esai di dalam kitab Al-Fikr Ad-Dini wa Qadhaya Al-'Ashr. Karya ulama Al-Azhar nan filsuf Almarhum Syekh Mahmud Hamdi Zaqzuq.

FOTO: Syekh Mahmud Hamdi Zaqzuq beserta kitab karangannya. (istimewa)
FOTO: Syekh Mahmud Hamdi Zaqzuq beserta kitab karangannya. (istimewa)

Di antara banyak masyayikh Al-Azhar yang merespon isu-isu terkini, seperti Imam Akbar Syekhul-Azhar Ahmad Thayyib, saya rasa Prof. Dr. Mahmud Hamdi Zaqzuq termasuk pemikir yang menonjol. Beliau—Allah yarham— yang baru saja wafat pada April 2020 tahun lalu, adalah filsuf Al-Azhar abad 21 yang pemikirannya melampaui zamannya. Saya adalah sekian dari banyak mahasiwa yang betul-betul menikmati karya-karyanya, terutama dalam merespon isu-isu keagamaan dunia hari ini. Berangkat dari kekaguman itu, saya di sini ingin mengulas beberapa esai Syekh Mahmud dalam bukunya, Al-Fikr Ad-Dini wa Qadhaya Al-'Ashr. Dengan harapan, kita bisa lebih melihat lebih mendalam manifestasi sikap Al-Azhar dalam merespon isu-isu terkini: mulai dari pembaharuan Islam, kemunduran Islam, kebebasan beragama hingga isu-isu kontemporer lainnya.

Di tulisan ini, saya memilih esai yang berjudul “As-Sunan Al-Ilahiyyah wa Mafatih Al-Hadharah” yang artinya kurang lebih sama dengan judul tulisan ini: “Hukum Tuhan dan Kemajuan Peradaban”. Secara umum, di dalam esai tersebut Syekh Mahmud Hamdi Zaqzuq berusaha memperbaiki hubungan antara Islam dan ilmu yang belakangan ini banyak disalahpahami. Kesalahpahaman tersebut ialah anggapan bahwa Islam bertolak belakang dengan ilmu, dengan demikian Islam adalah biang dari kemunduran peradaban. Berangkat dari latar belakang itu, Syekh Mahmud ingin menepis bahwa Islam tak berperan kepada kemajuan peradaban umat manusia. Hakikatnya tidak demikian, justru Islam mengajak umatnya untuk menghargai ilmu dan memusuhi segala kejumudan. Sehingga Islam memegang kunci peradaban umat manusia.

Kisah Al-Hadrami di Pasar Buku Cordoba
Bagaimana buku menjadi incaran para muslim di Cordoba. Namun sayangnya, tak semua pembeli buku benar-benar membeli dengan maksud mendarasnya.

Sebelum memasuki pembahasan tersebut, di sini kita akan membaca terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan hukum Tuhan. Hukum Tuhan dalam terminologi Al-Quran disebut dengan sunnatullah, “Falan tajida lisunnatillahi tabdila, walan tajida lisunnatillahi tahwila”. Apa maknanya? Kata sunnatullah banyak dipertentangkan dengan hukum alam. Padahal sunnatullah itu bermakna luas dan tidak determinis. Sunnatullah bisa diartikan sebagai hukum-hukum yang telah Allah letakkan di dalam alam semesta yang bersifat tetap dan terus menerus. Alam dan manusia sudah berada di bawah koridor sunnatullah. Dengan bahasa lain Sunnatullah adalah aturan-aturan Tuhan untuk kosmos baik berupa ekosistem alam, maupun sosiologi dan historis manusia.

Bagaimana kemudian posisi manusia menghadapi sunnatullah ini? menurut Syekh Mahmud Hamdi Zaqzuq, Islam menjadikan manusia khalifah agar memaksimalkan seluruh potensi alam dan mencari ayat-ayat Tuhan di dalamnya. Sebagaimana hal itu di jelaskan dalam ayat 53 Surah Fushshilat, “Sanurihim ayatina fil Afaqi wa fi anfusihim hatta yatabayana lahum annahul Haq.” Memahami dan mempraktikkan sunnatullah adalah jalan kebangkitan peradaban manusia dan kemajuannya. Sebaliknya, memilih untuk mengabaikannya adalah jalan kemunduran dan kejumudan umat manusia. Ketika Allah mengajarkan nama-nama (Al-Asma’) kepada Nabi Adam, sejatinya Allah sedang mengajarkan kunci-kunci ilmu dan peradaban. Dengan itu Allah memerintahkan Nabi adam beserta seluruh umat manusia untuk memakmurkan bumi, sebagai khalifah: “Huwa Ansyaakum minal Ardhi wasta’marokum fiha” Surah Hud ayat 61.

Dari penjelasan tersebut kita kemudian paham bahwa sunnatullah sama sekali tidak membuat jarak antara agama dan ilmu, antara manusia dan alam, dan antara manusia dan diri mereka sendiri. Di samping ajaran yang cemerlang ini, menurut Syekh Mahmud bangsa Barat lebih dahulu maju terdepan dalam memahami sunnatullah di alam semesta ini. Sehingga tidak heran kita lihat perkembangan keilmuan dan peradaban di Barat yang begitu pesat. Mau tidak mau, kita sebagai umat Islam mengakui bahwa Barat telah memahami dan menerapkan sunnatullah itu, dibanding umat Islam yang memiliki ajaran yang kaya.

Mengapa kemudian hal ini terjadi? Sebab umat Islam hari ini tengah krisis perkembangan keilmuan. Bagi Syekh Mahmud, Umat Islam kini tidak memiliki perhatian yang kuat terhadap ilmu, sehingga mereka tertinggal jauh dengan Barat. Kita lihat Barat begitu getol membuat berbagai riset dan penemuan-penemuan, sedangkan umat Islam—dalam bahasa Syekh Mahmud— masih saja menjadi umat ‘konsumen’ yang hanya duduk manis menikmati produk-produk mereka. Tanpa berusaha untuk menyaingi mereka.

Fenomena ketertinggalan umat Islam ini menurut Syekh Mahmud Hamdi Zaqzuq dikarenakan dua hal. Pertama, kesalahpahaman umat Islam yang memahami bahwa dalam Islam terbatas pada ilmu agama saja. Sedang ilmu yang lainnya itu sesat, bahkan bisa membuat kekufuran. Kesalahpahaman tersebut kemudian diperparah dengan kejumudan dan kemandekan ilmu agama sendiri di dalam akal umat Islam.

Kedua, upaya-upaya memperburuk citra Islam dan ilmu yang dilakukan oleh para orientalis yang dalam bahasa Syekh Mahmud ‘musuh Islam’. Mereka menyatakan bahwa Islam itu menolak ilmu pengetahuan, sebaliknya malah mengajak kepada kemunduran. Sehingga ajarannya sudah tidak relevan lagi. Di antara yang mengatakannya adalah Ernest Renan, orientalis tersohor yang pernah berdialog dengan Jamaluddin Al-Afghani. Ia berkata, “Di antara yang menjadi ciri substansial umat Islam hari ini adalah, kebenciannya terhadap ilmu, keyakinan bahwa mempelajari ilmu adalah kesalahan, hal itu tidak bisa ditampik, bahkan bisa menyebabkan kekufuran”

Dua fenomena ini, kemudian membuat Syekh Mahmud Hamdi Zaqzuq bertanya-tanya, “Apakah benar berpegangnya umat Islam terhadap ajarannya adalah hal yang menghalangi kemajuan ilmiahnya? Jika memang benar, Islam yang seperti apa yang menarik umat Islam mundur di saat umat lain bergegas maju?” Pertanyaan ini bagi saya begitu menarik karena mengajak kita untuk terus mengamalkan otokritik terhadap realitas umat Islam hari ini. Jawaban Syekh Mahmud Hamdi Zaqzuq kemudian begitu realistis menyebutkan fakta-fakta yang merintangi atau membuat jarak antara Islam dan kemajuan ilmu.

Pertama, fakta pahit bahwa hampir dari separuh populasi umat Islam di dunia itu buta huruf, tidak bisa membaca dan menulis (ummiyyun la ya’rifuna al-qiraah wala al-kitabah). Kedua, fakta bahwa sebagian dari saudara-saudara kita umat Islam, orang-orang yang mengingkari ilmu, ulama dan tradisi ilmiah dengan mengatasnamakan ‘membela Islam’. Sampai-sampai Syekh Mahmud Hamdi Zaqzuq menyebut mereka dengan Al-Ashdiqa’ Al-Juhhal (kawan-kawan yang bodoh). Mereka para anti-ilmu ini adalah bencana bagi umat Islam. Mereka berfatwa di sana-sini dengan membawa ajaran Islam, padahal Islam terbebas dari mereka.

Benarkah Asy’ariah Terbelakang dan Membingungkan?
Sekilas mengenal Asy’ariyah yang sempat disebut terbelakang dan membingungkan oleh seorang dosen. Mazhab yang diugemi Al-Azhar Asy-Syarif, Kairo.

Setelah menjelaskan dua fakta pahit ini, Syekh Mahmud kemudian mengurai bahwa ajaran Islam tidak bertentangan dengan ilmu, melainkan bersatu padu dan mengukuhkan satu sama lain. Al-Quran dalam banyak ayat menjelaskan ilmu-ilmu modern; sains, antropologi, ilmu falak, dan sejarah (Surah Al-Isra’, ayat 12, Surah Yunus, ayat 5). Al-Quran mendorong umatnya untuk mengambil ilmu dari alam semesta: bintang, bulan, matahari, bahkan dari daun-daun yang berguguran. Bahkan untuk memerangi buta huruf, Nabi berani membebaskan tawanan musuh dengan syarat ia mengajarkan baca-tulis terhadap anak-anak umat Islam.

Islam sebenarnya justru memerdekakan akal manusia dari belenggu taklid. Yaitu dengan memperluas medan keilmuan dengan tanpa batas identitas maupun batasan pembahasan. “tuntutlah Ilmu walau ke negeri China”, sebuah pepatah yang menunjukkan bahwa Islam menolak labelisasi ilmu. Begitu juga dalam Islam,  Tuhan, manusia, dan alam menjadi pembahasan di saat tiga topik tersebut adalah pembahasan inti dari filsafat di dunia. Ilmu itu tetap bersumber dari samudra yang sama, “fal-'ilmu la wathana lahu wala jinsiyyata wala diyanata” pungkas Syekh Mahmud Hamdi Zaqzuq.

Maka krisis keilmuan umat Islam hari ini bersumber dari mereka, ‘kawan-kawan yang bodoh’. kita sebenarnya tidak sedang krisis antara Islam dan ilmu, melainkan permasalahannya terletak pada mereka: pola pikir jumud yang berusaha menafsirkan agama dengan hawa nafsunya. Oleh sebab itu, menurut Syekh Mahmud hari ini kita butuh untuk membebaskan akal dari ilusi-ilusi kejumudan, belenggu taklid, dan narasi-narasi anti-ilmu. Kita butuh akal yang sehat, kritis, mengukur segala sesuatu dengan objektif. Syekh Mahmud kemudian mengakhiri dengan mengutip perkataan Imam Al-Ghazali yang mengajarkan sikap kritis dan nalar yang sehat, “fa-syukuk hiya al-musilah ila al-haqaiq, faman lam yasukh lam yandhur, waman lam yandhur lam yabshur, waman lam yabshur baqiya fi al-ama wa ad-dhalal”, yang artinya, “Maka sikap ragu-ragu (kritis) itulah yang mengantarkan pada kebenaran, barangsiapa yang tidak ragu ia tidak akan berpikir, siapa yang tidak berpikir ia tidak akan melihat, siapa yang tak melihat ia akan terjerembab pada kebutaan dan kesesatan”.


Baca juga artikel lain di rubrik TAKARIR atau tulisan menarik Lukman Hakim Rohim

Latest