Melihat Kebaikan Tuhan

Saat turun hujan adalah satu di antara waktu doa yang tidak ditolak oleh Allah menurut hadits yang dikeluarkan oleh Abu Dawud dalam karyanya yang bertajuk Sunan Abi Dawud. Bulan Ramadan kali ini masih menjadi ‘bulan hujan’ pada beberapa kota di Indonesia (bahkan sempat terjadi banjir yang cukup parah) dan secara otomatis banyak umat manusia yang akan membuktikan bahwa “doa yang mustajab adalah doa yang dipanjatkan ketika hujan turun”. Masalah utamanya adalah bagaimana jika sudah berdoa ketika hujan turun dan doa tak kunjung terkabul? Apa yang salah: orang yang berdoa, doa yang dipanjatkan, hujan sekarang tak lagi mustajab, Tuhan tak lagi mau mengabulkan?

Tidak Ada Doa yang Sia-Sia

Terdapat dua sudut pandang yang akan digunakan untuk menjawab permasalahan ‘sudah berdoa ribuan kali, namun tak kunjung diberi’, yakni sudut pandang Nabi Muhammad SAW yang dikutip oleh Abu Hamid Al-Ghazali di dalam kitab Ihya’ Ulumiddin dan sudut pandang Jalaluddin Ar-Rumi dalam kitab Al-Matsnawi.

Imam Abu Hamid Al-Ghazali Ath-Thusi membahasakan ungkapan Nabi Muhammad bahwa doa seorang hamba tidak akan lepas dari satu di antara tiga hal, yakni 1) dosa yang diampuni, 2) kebaikan yang disegerakan, atau 3) kebaikan yang disimpan. Doa bukan hanya perihal permintaan, tetapi juga perihal dosa-dosa yang membutuhkan ampunan. Hampir seluruh manusia pernah melakukan dosa, tak inginkah dosa tersebut diampuni sebelum manusia binasa? Doa bukan hanya ihwal keinginan, tetapi juga ihwal kebaikan-kebaikan yang perlu segera dilakukan. Doa bukan hanya tentang impian, tetapi juga tentang janji-janji kebaikan yang sengaja disimpan untuk bekal kebahagiaan. Pemahaman-pemahaman sederhana seperti ini, sering tidak disadari (mungkin memang sengaja dilupakan) oleh umat manusia (termasuk penulis sendiri).

Jalaluddin Ar-Rumi mengungkapkan bahwa doa yang tidak kunjung terkabul, bukan berarti tidak dikabulkan atau tidak mustajab; tetapi pengabulan doanya sedang ditunda oleh Sang Maha Pengabul doa. Hal pertama yang perlu dipahami menurut Jalaluddin Ar-Rumi adalah penundaan pengabulan doa bertujuan untuk kebaikan hamba, bukan untuk menyakitinya. Kebaikan yang dimaksud adalah membuat seorang hamba semakin ingat kepada Tuhannya, sebab doa adalah bentuk desakan kebutuhan seorang manusia kepada Pemilik Semesta. Semakin terdesak dengan kebutuhan, semakin besar rasa ingat seorang hamba kepada Tuhan. Jika kebutuhan itu langsung dipenuhi, maka dengan cepat seorang hamba akan segera menyingkir (tidak akan berdoa dengan meratap dan menangis dengan sepenuh hati, sebab keinginannya telah terpenuhi). Hal kedua yang perlu dipahami lagi, menurut Jalaluddin Ar-Rumi, bahwa doa adalah suara-suara indah yang sangat dicintai oleh Dzat Yang Maha Perkasa. Bukankah membuat Allah senang lebih diutamakan daripada membuat senang diri sendiri? Rumi menganalogikan dengan ungkapan burung yang bersuara indah seperti bulbul akan dikurung dalam sangkar, sedangkan burung yang bersuara cempreng seperti gagak akan dibiarkan berkeliaran bebas. Maksudnya adalah doa yang masih ‘dikurung’ dalam sangkar (belum dikabulkan) ‘mungkin saja’ lebih dicintai oleh Allah daripada doa yang langsung dibiarkan ‘berkeliaran bebas’.

Bagi penulis sendiri, doa adalah bentuk pengakuan perihal kelemahan seorang hamba. Doa dipanjatkan karena seorang hamba merasa lemah, tak kuasa, dan tak berdaya di hadapan Sang Maha Kuasa. Doa lebih dari sekadar meminta segala macam keinginan yang harus dikabulkan. Wahai para pendoa sekaligus pendosa; doa yang dipanjatkan sebenarnya untuk sebuah permintaan atau sebuah pengakuan?

Sakit Adalah Kebaikan yang Mengapit

Musim hujan juga bisa disebut dengan musim kenangan, karena kenangan sering diidentikkan dengan musim hujan. Selain membuat manusia teringat kenangan, musim hujan juga sering dianggap sebagai ‘musim sakit demam’. Penyebutan ini dilandasi oleh intensitas keseringan sakit panas, pilek, dan flu di musim hujan sering mengalami peningkatan. Oleh sebab itu, sebagian orang sering mengeluh badan kurang fit ketika musim hujan tiba. Padahal sakit yang menimpa manusia itu seharusnya disyukuri, bukan malah diratapi. Sebab ketika manusia sakit, terdapat dosa (kesalahan-kesalahan) yang dihapus oleh Sang Pemilik Semesta.

Resensi

Kumpulan ulasan buku dan kitab menarik dapat teman-teman baca

di sini

Diriwayatkan dari Abu Sa’id dan Abu Hurairah (Shahih Muslim, hadits nomor 2573 dan Shahih Al-Bukhari, hadits nomor 5642) bahwa Nabi Muhammad bersabda:

عَنْ أَبِي سَعِيْدٍ وَأَبِي هُرَيْرَةَ أنَّهُمَا سَمِعَا رَسُوْلُ اللّهِ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ مَا يُصِيْبُ الْمُؤْمِنُ مِنْ وَصَبٍ وَلَا نَصَبٍ وَلَا سَقَمٍ وَلَا حَزَنٍ حَتَّى الْهَمِّ يُهِمُّهُ إِلَّا كُفِّرَ بِهِ مِنْ سَيِّئَا تِهِ

Artinya: Tidaklah seseorang mu’min yang tertimpa rasa sakit, rasa lelah, penyakit, rasa sedih, hingga sebuah kesusahan yang menyusahkanny, kecuali Allah akan menghapuskan keburukan-keburukannya (dosa) sebab segala musibah tersebut.

Di dalam keterangan lain yang ditulis oleh Syekh Muhammad bin Abu Bakr Al-'Ushfuri di dalam kitab Al-Mawaizh Al-Ushfuriyyah, dijelaskan bahwa sebelum seorang mukmin (laki-laki maupun perempuan) sakit, Allah telah mengutus empat malaikat untuknya. Malaikat pertama diperintahkan untuk mengambil kekuatannya. Malaikat kedua diperintahkan untuk mencabut rasa lezat ketika menikmati makanan. Malaikat ketiga diperintahkan untuk mengambil cahaya wajahnya, sehingga orang sakit selalu terlihat pucat. Malaikat yang keempat diperintahkan untuk mengambil semua dosanya, sehingga orang yang sakit bersih dari dosa-dosa. Empat malaikat tersebut melaksanakan masing-masing tugasnya dengan baik sesuai perintah dari Allah.

Selanjutnya, ketika Allah menghendaki seorang mukmin sembuh dari sakitnya, maka Allah memerintahkan malaikat pertama untuk mengembalikan kekuatan, malaikat kedua untuk mengembalikan rasa lezat makanan, dan malaikat ketiga untuk mengembalikan cahaya wajah agar tidak lagi terlihat pucat. Hanya malaikat keempat yang tidak diperintahkan untuk mengembalikan dosa-dosa seorang mukmin yang sakit tersebut. Malaikat tersebut kemudian tersungkur, bersujud, dan berkata kepada Allah:

يَا رَبِّ كُنَّا أَرْبَعَةَ أَمْلَاٍك مِنَ الْمَلَاءِكَةِ فِيْ أَمْرِكَ فَأَمَرْتَهُمْ بِأَنْ يَسْلَمُوْا مَا أَخَذَ مِنْهُ فَلِمَ لَمْ تَأْمُرْنِي بِأَنْ أَدْفَعَ إِلَيْهِ مَا أَخَذْتَ مِنَ الذُّنُوْبِ

Artinya: “Wahai Tuhan, Engkau memerintahkan tiga malaikat lain menyerahkan kembali atas sesuatu yang mereka ambil. Tetapi, mengapa Engkau tidak memerintahkanku untuk mengembalikan dosa-dosa yang telah kuambil?”.

Allah menjawab:

لَا يُحْسِنُ مِنْ كَرَمِيْ أَنْ آمُرَكَ أَنْ تَرُدَّ ذُنُوْبَهُ بَعْدَ أَتْعَبَتْ نَفْسُهُ فِي الْمَرَضِ

Artinya: “Sebab Kemuliaan-Ku, tak elok rasanya jika Aku memerintahkanmu mengembalikan dosa-dosanya setelah dengan susah payah ia menanggung sakit”.

Malaikat kembali bertanya kepada Allah tentang hal apa yang harus dilakukan terhadap dosa-dosa seorang hamba tersebut jika tidak boleh dikembalikan. Akhirnya Allah berkata:

اذْهَبْ وَاطْرَحْهَا فِي الْبَحْرِ

Artinya: “Pergilah ke lautan, lalu buanglah dosa-dosa itu di sana!”

Akhir kata, wahai kalian yang sedang dilanda demam, pilek, flu, dan batuk, masihkah mengeluh atas segala kemuliaan ini?


💡
Baca juga artikel lain di rubrik OPINI atau tulisan menarik Akhmad Idris