Skip to content

Mengapa Ahlussunnah Tetap Relevan Hari ini

Menjamurnya radikalisme dan islamofobia adalah problem terbesar dunia Islam hari ini. Ahlussunnah sanggup secara nyata merespon isu-isu tersebut.

FOTO: Ilustrasi Mengapa Ahlussunnah Tetap Relevan Hari Ini?
FOTO: Ilustrasi Mengapa Ahlussunnah Tetap Relevan Hari Ini?

Kemajuan Islam tak melulu dipahami secara simbol, sebagaimana pemahaman kelompok kanan tentang Khilafah, NKRI Bersyariah, bahkan narasi Al-Aqsha. Saya kira hal itu sudah tidak relevan bahkan bisa saja agitasi berbungkus agama. Termasuk yang tengah ramai di jagat intelektual, pernyataan dosen UIN Syarif Hidayatullah, Zubair yang menyebut bahwa mazhab Asy’ariyah itu membingungkan dan terbelakang, juga pernyataan Luthfi Assyaukanie yang menyebut fikih adalah sebab kemunduran umat Islam. Bagi saya pernyataan keduanya tak memiliki gaung sama sekali alias hanya bualan belaka. Pernyataan yang tak bernas dan berdasar keluar dari orang-orang yang mengaku dirinya intelektual. Hal yang kontradiktif.

Narasi kritik memang tidak salah, tetapi yang diharapkan umat Islam hari ini adalah narasi yang relevan dengan situasi kekinian. Ketika narasi tersebut sesuai dan mampu memberikan sumbangsih nyata, maka bisa relevan untuk dunia hari ini. Ketika saya menyaksikan narasi-narasi yang tengah ramai tersebut, seolah kita sedang bernostalgia kembali ke era-era Islam Liberal tahun 2000-an. Bahkan bisa ditarik lebih luas pada tema kemunduran umat Islam sejak era poskolonial abad 19 di masa Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, Rifaah Ath-Thahthawi hingga Mbah Hasyim Asy’ari. Kemudian tema tersebut lebih mengemuka pada era 60-70-an, tepat pada kejadian Perang Enam Hari (Harb Al-Ayyam As-Sittah) Mesir melawan Israel 1967, Revolusi Iran tahun 1978 melawan rezim Reza Pahlevi. Sebuah gerakan kegelisahan umat Islam di seluruh dunia untuk mempertanyakan identitas Islam di hadapan dunia ini.

Pertanyaan semisal mengapa umat Islam mundur dan bagaimana umat Islam bisa maju kala itu melahirkan dua gerakan ekstrem: pertama kaum modernis ekstrem kiri yang mengatakan—sebagaimana nada Luthfi Assyaukanie— bahwa tradisi lamalah (Turats) yang menjadi biang kemunduran umat Islam. Sehingga jalan satu-satunya adalah dengan menggantinya dengan ajaran-ajaran yang baru (Mu'ashirah). Kedua, kaum revivalis ekstrem kanan yang menyebut kemunduran Islam adalah karena kita telah jauh dari ajaran Nabi—sebagaimana narasi-narasi kelompok kanan, khilafah dll—. Sehingga mereka menyeru untuk kembali ke ajaran-ajaran Nabi dan para sahabatnya saja serta menolak segala bentuk pembaharuan atas Islam. Bagi saya, narasi dari keduanya sudah tidak relevan dengan situasi hari ini meski tidak seluruhnya.

Membantah Klaim Islam Agama Pedang
Suara-suara sumbang tentang Islam kerap menyebutnya agama pedang. Lalu, bagaimana sebenarnya makna Futuhat?

Hari ini, menurut saya, problem kita adalah krisis pemahaman Islam secara substansial. Krisis radikalisme dan islamofobia yang menyangkut umat Islam di seluruh dunia. Krisis kemiskinan dan orang-orang lemah di umat Islam di dalam ekonomi yang terjebak pada cengkeraman kapitalisme dunia. Maka sejauh mana narasi atau wacana umat Islam bisa menjawab problem tersebut, di situlah letak relevansinya. Maka dengan hal ini, saya melihat Ahlussunnahlah yang aktif dalam sektor pemikiran maupun gerakan nyata dalam merespon isu-isu terkini dunia. Khususnya isu radikalisme dan kemanusiaan. Di sub-bab selanjutnya, saya ingin mengetengahkan peran dan relevansi Ahlussunnah dalam merespon isu-isu dunia hari ini

Visi Humanisme Ahlussunnah

Untuk membuktikan penjelasan di atas bahwa Ahlussunnah aktif secara pemikiran dan kontribusi nyata dalam merespon isu-isu hari ini, saya akan membawa figur Syekh Ahmad Thayyib, Imam Akbar Syekhul-Azhar di masa ini. Dalam konteks dunia, saya rasa Syekhul-Azhar Ahmad Thayyib adalah figur nyata tokoh sunni yang tak terbantahkan kontribusinya. Secara pemikiran, ia dalam tulisannya, Ahlussunnah wa Al-Jama'ah (2016) menjelaskan aspek dasar Ahlussunnah yang membuat ia tetap relevan di dunia. Ada tiga dasar Ahlussunnah menurut beliau. Yaitu sebagaimana kata Imam Tajuddin As-Subki dalam “Syarh ‘Aqîdat Ibni Al-Hâjib”,

“Secara singkat hasil penelitian terhadap Ahlussunnah, terdapat tiga kelompok yang disepakati; pertama, ahli hadis yang berpegang teguh terhadap Al-Quran, hadis, dan ijma’. Kedua, ahli logika dan pemikiran. Mereka adalah Imam Abu Al-Hasan Al-Asy’ari dan para pengikutnya, Abu Manshur Al-Maturidi dan para pengikutnya. Ketiga, ahli intuisi dan mukasyafah. Mereka adalah golongan sufi yang berprinsip rasional di awal mula, tetapi menggunakan ilham dan mukasyafah di penghujungnya.”

Pemikiran

Kumpulan tulisan bertopik pemikiran dan keislaman bisa teman-teman temukan

di sini

Hal itu kemudian menjadi syiar Al-Azhar, bahwa seorang azhari—sekaligus ciri khas sunni tentunya—adalah: berfikih empat mazhab—sebagai ejawantah dari kelompok ahli hadis, berakidah Asy’ari-Maturidi, dan mengikuti tasawuf sunni Imam Al-Ghazali dan Imam Junaid Al-Baghdadi. Upaya normalisasi ini bukan dalam tujuan membakukan secara mutlak, akan tetapi memberikan sebuah ciri khas dan pondasi besar dalam Ahlussunnah. Tiga pondasi inilah watak moderatisme Ahlussunnah yang membuat ia diterima di banyak kalangan dan bertahan selama berabad-abad.

Terlebih, peran vital Ahlussunnah adalah pada aspek akidahnya yang moderat. Menurut Syekhul-Azhar, sekte Asy’ari dan Maturidi bukan upaya melahirkan teori baru, akan tetapi merupakan upaya sintesis dari ekstrem kiri muktazilah dan ekstrem kanan mujassimah. Upaya menengah-nengahi antara naql dan ‘aql, antara tasybîh dan ta’thil. Dengan sikap moderat ini, Ahlussunah kemudian secara sosial membawa visi perdamaian antar umat manusia. Yaitu dengan tidak mengafirkan ahl al-qiblah, berbeda dengan kelompok-kelompok lainnya. Dalam riwayat  Ibnu ‘Asakir, diceritakan bahwa Imam Al-Asy’ari mengatakan pada muridnya, “Bersaksilah kepadaku bahwa aku tidak akan mengafirkan seorangpun dari ahli kiblat. Karena semua (ahl al-qiblah) pada hakikatnya menyembah pada satu Tuhan, hanya saja perbedaan antar mazhab ini perbedaan kata (ibârât) saja”.

Bisakah Kita Beragama tanpa Mazhab?
Kembali ke Al-Quran & sunnah kerap menjadi jargon dalam beragama. Tulisan ini menjawab persoalan itu plus memaparkan pentingnya bermazhab.

Sikap moderat inilah yang membuat Ahlussunnah secara pemikiran mampu melawan gerakan-gerakan radikal hari ini yang mengancam kemanusiaan di satu sisi, juga menyebarkan islamofobia di sisi lain. Selain dalam aspek pemikiran, sikap-sikap dan tindakan nyata Syekhul-Azhar Ahmad Thayyib dalam berbagai problem di dunia juga menguatkan hal tersebut. Seperti diplomasi perjanjian kemanusiaan (Watsiqah Al-Ukhuwwah Al-Insaniyyah) dengan Paus Fansiskus Roma, diplomasi dengan Jerman untuk mengatasi problem Rohingnya, dan yang baru saja dilakukan kemarin, melakukan dialog kemanusiaan dengan Pangeran Charles, Inggris.

Dalam konteks Indonesia, saya rasa tulisan Gus Ulil yang baru di-posting di akun Facebook-nya dengan judul ‘Benarkah Al-Ghazali dan Al-Asyari sumber kemunduran dunia Islam?’ sudah sangat cukup sebagai jawaban. Tulisan yang dahsyat dan bernas itu memberikan kesimpulan: bahwa tuduhan tersebut salah sasaran dan tidak berdasar. Sebab justru secara de facto orang-orang NU di Indonesia —yang dalam bahasa Gus Ulil anak cucu Al-Ghazali— adalah orang terdepan dalam merespon dan mengembangkan ide-ide kemajuan di Indonesia baik dalam isu Islam, baik dalam gugus—meminjam bahasa Gus Ulil—pemikiran hingga urusan negara dan politik sebagaimana peran Mbah Hasyim Asy'ari, berikut fikih kebangsaan KH Afifudin Muhajir. Sebuah progresivitas yang jelas tidak akan ditemukan di kelompok yang lain.

Dari sini, saya semakin yakin bahwa Ahlussunnah akan terus relevan menghadapi perkembangan dunia. Meski demikian, Ahlussunnah tidak pernah antikritik. Ia terbuka pada pembaharuan, sehingga masih banyak "pekerjaan rumah" yang akan diselesaikan. Karakter inilah yang membuat Ahlussunnah terus berkembang secara progresif sepanjang zaman. Tentunya tetap dengan motto Al-Muhafadhatu 'ala Al-Qadim Ash-Shalih wa Al-Akhdu bi Al-Jadid Al-Ashlah. Tabik!


💡
Baca juga artikel lain di rubrik OPINI atau tulisan menarik Lukman Hakim Rohim

Latest