Skip to content

Menggapai Iman yang Paripurna dengan Cinta

Takrir kedua atas sebuah esai dalam kitab Al-Fikr Ad-Dini wa Qadhaya Al-'Ashr. Karya ulama Al-Azhar nan filsuf Almarhum Syekh Mahmud Hamdi Zaqzuq.

FOTO Syekh Prof. Dr. Mahmud Hamdi Zaqzuq dan bukunya.
FOTO Syekh Prof. Dr. Mahmud Hamdi Zaqzuq dan bukunya.

Dalam tradisi dan perkembangan keilmuan Islam, terdapat corak metodologi tersendiri di dalamnya. Selain corak itu ada sebagai keistimewaan, tetapi di sisi lain juga menjadi titik kelemahan di dalamnya. Misalnya, seperti dalam ilmu kalam, sejak awal mula lahirnya hingga di akhir perkembangannya, ia memiliki watak rasional dengan pendekatan deduktif (qiyas) untuk memahami sifat-sifat Tuhan. Di samping itu, nuansa perdebatan (Syubhat wa Rudud) tak bisa dihindari khususnya ketika sudah lintas aliran. Hal ini menurut saya tak jarang membuat kita (umat Islam) yang terjun di dalamnya, masih merasakan kekeringan jiwa. Iman yang kita dasari secara argumentatif dan metodologis dalam ilmu kalam, tak cukup untuk memuaskan dahaga hati. Di sinilah letak batas iman dalam ilmu kalam.

Maka, sejauh iman hadir dalam sanubari manusia sebagai keyakinan, membutuhkan suatu dorongan lain agar ia lebih mendalam dan berisi. Dorongan tersebut tidak lain adalah sisi spiritual: penglihatan hati. Sebab dorongan tindakan dan kesadaran manusia tidak melulu dari akal saja, melainkan juga dari hati dan sisi emosi. Di sinilah perlunya kita semua untuk tidak puas dengan mempelajari ilmu kalam saja untuk menguatkan iman, tetapi kita harus lebih menguatkannya dengan tasawuf.

Tinggalan Syekh Azh-Zhawahiri dalam Jagat Tasawuf
Mengenal kitab berjudul Risalah Al-Akhlaq Al-Kubra. Kitab tinggalan sang mursyid nan fakih Syekhul-Azhar Azh-Zhawahiri yang sempat menjadi diktat.

Berkaitan dengan pembahasan ini, terdapat esai menarik yang ditulis oleh Syekh Mahmud Hamdi Zaqzuq dengan judul Al-Iman wa Al-Hubb di dalam buku Al-Fikr Ad-Dini wa Qadhaya Al-'Ashr. Dalam rublik Takarir, saya sudah pernah menulis ulasan yang sama, tetapi pada bahasan kemajuan dan hukum Tuhan. Sebagaimana saya tuliskan sebelumnya, esai ini diharapkan bisa membuat kita lebih mengenal pemikiran moderat-progresif Syekh Mahmud Hamdi Zaqzuq yang bagi saya relevan pada situasi kekinian. Sebagaimana saya pantik di atas, esai kali ini berangkat dari kegelisahan akan diskursus iman yang selalu berangkat dari argumentasi logis dan berakhir dengannya. Termasuk perdebatan teologis di dalamnya yang tak kunjung selesai, baik di ranah intelektual maupun di tengah masyarakat. Hal yang membuat masyarakat muslim tak mengenal tujuan akhir dari iman itu sendiri, yaitu menggapai Sang Kekasih Sejati, Allah SWT.

Mula-mula, pemaparan Syekh Prof. Dr. Mahmud Hamdi Zaqzuq berangkat dari hal yang paling dasar: filsafat manusia. Manusia itu bukan hanya makhluk rasional yang menanggapi dan memahami segala sesuatu dengan akal dan argumentasi logis saja. Dalam diri manusia juga terdapat sisi emosional, sehingga dari situ terlahir moralitas: baik dan buruk, cinta dan benci. Bahkan sisi emosional adalah hal yang paling mendasar dalam mendorong tindakan-tindakan manusia. Dalam hal ini, bagian terbesar dan inti dari sisi emosional manusia itu adalah cinta. Sebuah tema yang hingga hari ini, manusia belum selesai membicarakannya. Di samping itu, mereka semua sepakat bahwa cinta adalah rasa yang paling luhur dan mulia yang dimiliki dan dirayakan oleh manusia setiap tahunnya.

Setelah kita paham bahwa cinta adalah sisi terbesar dan paling berpengaruh dalam diri manusia, Syekh Mahmud Hamdi Zaqzuq kemudian mengutip pembahasan "rasa cinta" menurut Imam Al-Ghazali di dalam Ihya’ Ulumiddin. Saya rasa pemikiran Imam Al-Ghazali pun sangat representatif mewakili ajaran Islam. Dalam masterpiece-nya, Imam Al-Ghazali berhasil membahas tentang rasa cinta mulai dari levelnya yang materiil hingga puncaknya: cinta untuk merengkuh yang tak terbatas. Menurut Imam Al-Ghazali mula-mula cinta itu tidak bisa dipahami kecuali dengan rasio dan pengetahuan yang cukup. Mengapa? Sebab manusia tidak akan mencintai sesuatu kecuali ia telah mengetahui —secara rasional— terhadap hal itu. Maka, hal-hal dicintai yang semata-mata indrawi itu bukan cinta, melainkan syahwat. Sebab cinta itu merupakan kerja indra rasio (Al-Hiss Al-Mudrik), bukan indra fisik manusia.

Pemikiran

Kumpulan tulisan dengan kata kunci pemikiran Islam dapat teman-teman temukan

di sini

Secara umum, kemudian, cinta bisa dipahami sebagai kecenderungan alami manusia (Al-Mail Ath-Thab’) terhadap sesuatu yang menimbulkan kebahagiaan dan kenikmatan di dalamnya. Ketika cinta sudah menguat dan mendalam dalam diri manusia, ia menjadi rasa rindu (Al-‘Isyqu). Cinta sebagai salah satu indra merasa yang alami pada manusia, memiliki kekuatan yang dahsyat. Jika pancaindra manusia itu umumnya menimbulkan kenikmatan masing-masing darinya: mata dalam melihat hal yang indah, pendengaran pada lagu-lagu dan nada-nada yang bagus, penciuman ialah pada bebauan yang harum. Maka, nikmat dan kepuasan dalam rasa cinta itu tentu melebihi dari hal itu. Bahkan puncak dari semua kenikmatan itu adalah kenikmatan cinta.

Mengapa demikian? Imam Al-Ghazali melihat bahwa cinta sebagai indra non-fisik manusia itu memiliki kekuatan lebih, begitu juga kenikmatan yang dihasilkannya itu tak terbatas. Sebab indra fisik terbatas, sedangkan indra non-fisik itu tak terbatas. Imam Al-Ghazali berkata: “Maka, penglihatan hati (Bashirah) itu lebih kuat daripada mata, dan hati itu lebih kuat memahami daripada mata, dan keindahan makna-makna yang dipahami oleh akal itu lebih agung daripada keindahan gambar-gambar yang tampak oleh mata”. Maka, cinta itu berasal dan bertempat di hati dan sanubari manusia. Ia melihat lebih dari yang dilihat oleh mata, ia merasakan lebih dari yang dirasakan oleh seluruh indra manusia.

Terakhir, Imam Al-Ghazali memungkasi bahwa manusia memiliki level atau strata dalam cinta: 1) Cinta manusia terhadap wujud dirinya yang sempurna di antara wujud yang lain. 2) Cinta manusia terhadap setiap orang yang bebuat baik padanya. 3) Cinta manusia terhadap orang yang baik, sekalipun ia tidak pernah berbuat baik padanya. 4) Cinta manusia pada segala sesuatu yang indah. 5) Cinta manusia terhadap seseorang yang memiliki keterikatan batin padanya. Hal yang perlu digaris-bawahi dari seluruh strata cinta ini adalah bahwa kesempurnaan cinta tidak akan bisa dipahami kecuali kepada Dzat yang Berhak akan hal itu, yaitu Allah SWT. Sebab Allah adalah sebenar-benarnya dzat yang berhak untuk dicinta; mencintainya adalah tindakan mencintai yang paling sempurna. Ia adalah kekasih (Al-Mahbub) yang paling sempurna bagi orang-orang yang terbuka mata hatinya (Dzawi Al-Abshar). Sebagaimana Al-Quran menjelaskan kedahsyatan cinta seorang mukmin kepada Allah, “Walladzina Amanu Asyaddu Hubban Lillah”. Surah Al-Baqarah ayat 165.

Mewaspadai Hijrah Salah Arah
Banyak pelaku hijrah yang lantas keluar dari pekerjaannya usai menuruti doktrin panutan. Lalu, bagaimana sebenarnya ulama memaknai hijrah?

Setelah panjang lebar penjelasan Imam Al-Ghazali akan cinta ini, kita sudah bisa menebak bagaimana hubungan antara iman dan cinta. Syekh Mahmud Hamdi Zaqzuq berpendapat bahwa puncak dari level iman, ialah iman yang sudah menyatu dengan cinta. Sebab keduanya ibarat raga dan jiwa di dalam diri manusia yang tak bisa dipisahkan. Iman akan terasa kering jika tidak didasari oleh cinta, begitu juga cinta tanpa ada iman akan beralih menjadi hasrat materiil saja. Maka, itulah karakter muslim yang paripurna, itulah puncak dari terhubungnya Islam, Iman dan Ihsan. Itulah yang telah dipraktikkan oleh Imam Al-Ghazali sendiri dalam autobiografinya, dari seorang mutakallim, filsuf, hingga menjadi sufi. Tabik!

Tulisan seri ke-2 ini adalah lanjutan ulasan buku Al-Fikr Ad-Dini wa Qadhaya Al-'Ashr karangan Prof. Dr. Mahmud Hamdi Zaqzuq.
💡
Baca juga artikel lain di rubrik ISLAMUNA atau tulisan menarik Lukman Hakim Rohim

Latest