Skip to content

Potret Imam Al-Bushiri Melalui Qashidah Al-Burdah

Al-Burdah yang berisi syair pujian sangat populer di dunia Islam. Melalui syair-syairnya, kita juga dapat memotret bagaimana sosok penggubahnya.

FOTO Ilustrasi (Unsplash/Olena Bohovyk)
FOTO Ilustrasi (Unsplash/Olena Bohovyk)

Salah satu kasidah paling populer di dunia Islam yang berisi pujian kepada Rasulullah SAW adalah Al-Kawakib Ad-Durriyyah fi Madh Khair Al-Bariyyah. Kasidah ini juga memiliki nama lain, yaitu Qashidah Al-Mimiyyah, lantaran huruf akhirnya (qafiyah) berupa huruf mim. Meski ada dua nama tadi, tetap saja nama yang paling populer adalah Qashidah Al-Burdah.

Nama Qashidah Al-Burdah sangat lekat dengan nama penggubahnya, yaitu Al-Bushiri. Setiap kali satu di antaranya disebut, yang satunya pasti akan ikut terbesit bersamanya. Sejatinya Qashidah Al-Burdah adalah nama asli dari kasidah yang digubah oleh sahabat Zuhair bin Abi Sulma. Namun, kasidah beliau justru lebih dikenal dengan nama Banat Su’ad, lantaran dua kata ini menjadi permulaannya. Sementara nama Qashidah Al-Burdah menjadi nama populer bagi sebuah kasidah gubahan Imam Syarafuddin Al-Bushiri sebagaimana disebutkan tadi.

Qashidah Al-Burdah terdiri dari 160 bait yang dibagi menjadi sepuluh bagian. Bagian pertama berisi rayuan (ghazl) dan luapan kerinduan. Bagian kedua bertema peringatan akan bahaya hawa nafsu. Bagian ketiga merupakan pujian dan sanjungan kepada baginda nabi Muhammad SAW. Bagian keempat menceritakan kelahiran Rasulullah SAW. Bagian kelima berbicara tentang mukjizat makhluk paling mulia ini. Bagian keenam berisi pujian kepada Al-Quran dan kemuliaannya. Bagian ketujuh membahas Isra' Mi’raj. Bagian kedelapan menjelaskan jihad yang dilakukan oleh Rasulullah SAW. Bagian kesembilan berisi tawasul kepada Rasulullah SAW. Sedang bagian terakhir berisi munajat dan penyampaian hajat.

Di samping terkenal dengan keindahan mutiara kata yang mampu memikat pembaca dan pendengarnya, Qashidah Al-Burdah juga mengandung segudang manfaat dan khasiat mujarab bagi pengamalnya. Di balik semua itu, ia juga menyimpan informasi dan potret tentang pengarangnya. Hal inilah yang akan dikupas melalui tulisan ini.

Dalam kajian Qashidah Al-Burdah yang diampu oleh Syekh Fauzi Konate, beliau menyebutkan beberapa bait yang memberi isyarat sosok Imam Al-Bushiri. Di sela-sela memperkenalkan penulis kasidah, beliau menyebutkan bahwa nama Imam Al-Bushiri adalah Muhammad dan ayahnya adalah Sa’id. Sementara nama kuniyahnya adalah Abu Abdillah. Sedangkan laqabnya adalah Syarafuddin. Berkenaan dengan nama Muhammad, beliau menyebutkan bahwa di dalam bait kasidah secara gamblang disebutkan, yaitu pada bait :

فَإِنَّ لِيْ ذِمَّةً مِنْهُ بِتَسْمِيَتِيْ * * * مُحَمَّداً، وَهْوَ أَوْفَى الْخَلْقِ بِالذِّمَمِ

Bait ini secara jelas menyebutkan bahwa nama penulisnya adalah Muhammad.

Dalam syarah Al-Burdah, Syekhul-Azhar Ibrahim Al-Bajuri memujinya sebagai Al-Alim Al-Amil dan juga sebagai Asy’ar Asy-Syu’ara. Pujian ini tentu bukan tanpa dasar. Kealiman Imam Al-Bushiri bisa dilihat melalui beberapa bait dalam kasidahnya.

Kealimannya dalam bidang nahwu diisyaratkan oleh bait di bawah ini :

خَفَضْتَ كُلَّ مَقَامٍ بِالْإِضَافَةِ إِذْ ... نُوْدِيْتَ بِالرَّفْعِ مِثْلَ الْمُفْرَدِ الْعَلَمِ

Bagian bait yang bergaris bawah merupakan istilah-istilah yang biasa dipakai di dalam ilmu nahwu. Namun di sini beliau menggunakannya untuk ekspresi bahasa. Penggunaan istilah-istilah di atas menunjukkan bahwa beliau merupakan ulama yang pakar nahwu. Terlebih salah satu murid beliau adalah ulama paling pakar nahwu di zamannya, yaitu Syekh Abu Hayyan Al-Andalusi, guru Ibnu Aqil, Ibnu Hisyam, dan sejumlah tokoh lain.

Bahasa Arab

Kumpulan tulisan terkait bahasa Arab dan khazanah ilmunya bisa teman-teman temukan

di sini

Selain di bidang nahwu, Imam Al-Bushiri juga alim di bidang fikih. Sinyal ini juga bisa ditangkap lewat bait berikut ini :

فَكَيْفَ تُنْكِرُ حُبًّا بَعْدَ مَا شَهِدَتْ ... بِهِ عَلَيْكَ عُدُوْلُ الدَّمْعِ وَالسَّقَمِ

Pada bait ini beliau menyebutkan istilah-istilah fikih, yaitu Syahadah (persaksian) dan (saksi) adil, sebagaimana pada bagian diberi garis bawah. Beliau menyerupakan air mata dan sakit dengan saksi yang adil. Sehingga persaksiannya harus diterima, tidak bisa diingkari dan diabaikan. Penyerupaan semacam ini tidak mungkin dilakukan oleh orang yang tidak paham bab syahadah dalam ilmu fikih. Hal serupa juga bisa kita temui di bait berikut ini :

إِذْ قَلَّدَانِيَ مَا تُخْشَى عَوَاقِبُهُ ... كَأَنَّنِيْ بِهِمَا هَدْيٌ مِنَ النَّعَمِ

Di sini, beliau menyerupakan dirinya dengan hewan (unta, sapi, dan kambing) persembahan (hadyu) untuk tanah haram yang biasa dibawa oleh orang yang berhaji pada zaman dahulu. Biasanya hewan ini diberi tanda dengan tali pengikat di bagian lehernya. Beliau memberi penyerupaan demikian lantaran dua hal yang telah dilakukannya, yaitu gemar bersyair dan menjadi pelayan para pembesar negara. Hal ini beliau lakukan untuk mendapatkan dunia. Beliau khawatir kalau dua hal ini bisa berakibat buruk di akhirat. Sehingga dua hal tadi diserupakan seperti tali pengikat yang menjerat leher hewan persembahan (hadyu). Sementara beliau menyerupakan dirinya sebagai hewan persembahannya itu sendiri yang nantinya akan dikorbankan.

Penyerupaan semacam ini tidak mungkin bisa dilakukan oleh orang yang tidak paham bab haji dalam ilmu fikih. Di samping dua bait di atas, ada satu bait yang secara jelas menyebutkan istilah dalam bab muamalat. Bait yang dimaksud adalah sebagai berikut:

وَمَنْ يَبِعْ اَجِلًا مِنْهُ بِعَاجِلِهِ ... يَبِنْ لَهُ الْغَبْنُ فِي بَيْعٍ وَفِي سَلَمِ

Di sini Imam Al-Bushiri menyebutkan kata Al-Ghabn, Al-Bai’, dan As-Salam. Ketiganya merupakan istilah fikih dalam bagian muamalat. Tentu beliau paham akan pembahasan tersebut.

Di tempat lain juga terdapat isyarat bahwa beliau juga alim dalam bidang usul fikih. Hal ini bisa disaksikan dalam bait berikut :

أَمَرْتُكَ الْخَيْرَ لَكِنْ مَا ائْتَمَرْتُ بِهِ ... وَمَا اسْتَقَمْتَ، فَمَا قَوْلِيْ لَكَ اسْتَقِمِ

Bait ini setidaknya adalah sebuah penyesalan dari Imam Al-Bushiri, di mana beliau seringkali tidak mengindahkan perintah (amar) dan larangan (nahi). Hal ini menunjukkan bahwa beliau sangat memahami ma’na dan madlul dari amar dan nahi serta konsekuensi tidak mengabaikan keduanya. Pembahasan amar, nahi, dan mana yang ditunjukkan oleh keduanya merupakan pembahasan ilmu usul fikih. Sebab dari dua hal ini, lahir lima hukum taklifi.

Selain alim di bidang nahwu, fikih, dan usul fikih, Imam Al-Bushiri juga alim dalam bidang ilmu kalam. Hal ini bisa dilihat melalui bait berikut:

أَيَاتُ حَقٍّ مِنَ الرَّحْمَنِ مُحْدَثَةٌ ... قَدِيْمَةٌ صِفَةُ الْمَوْصُوْفِ بِالْقِدَمِ

Pada bait ini beliau menjelaskan bahwa ayat Al-Quran itu baru sekaligus qadim dengan sudut pandang yang berbeda. Al-Quran dianggap baru jika dilihat dari segi bahwa ia berupa tulisan di atas sebuah kertas atau sebuah suara yang diucapkan dengan lisan. Sementara sifat kalam adalah qadim karena ia adalah sifat dari yang qadim. Sedangkan sifat kalam yang qadim ini ditunjukkan maknanya oleh Al-Quran.

Pembahasan ini merupakan pembahasan ilmu kalam. Bahkan perdebatan soal sifat kalam ini merupakan salah satu yang melatarbelakangi penamaan ilmu tauhid dengan nama ilmu kalam. Meski sebagian ulama ada yang membedakan antara keduanya.

Demikian adalah empat bidang keilmuan yang dikuasai oleh Imam Al-Bushiri yang berhasil dipotret melalui Qashidah Al-Burdah. Sebenarnya kepakaran beliau dalam ilmu matn lughah, sharaf, balaghah, ‘arudh, qafiyah, hadis, dan sirah nabawiyyah tidak terbantahkan. Penulis sengaja tidak menyebutkan di sini karena sudah sangat terang, seterang matahari di waktu duha. Wallahu A’lam bishshawab.


💡
Baca juga artikel lain di rubrik BUDAYA atau tulisan menarik Munawar Ahmad Sodikin

Latest