Skip to content

Rabiul Awal, Bulan Kemanusiaan

Maulid semarak digelar di banyak tempat. Namun, pertanyaan-pertanyaan seputar sosok dan keteladanan Nabi SAW masih belum dipikirkan banyak orang.

FOTO Masjid Nabawi di Al-Madinah Al-Munawwarah (Haidan/Unsplash)
FOTO Masjid Nabawi di Al-Madinah Al-Munawwarah (Haidan/Unsplash)

Ketika Rabiul Awal tiba, di tengah hingar bingar perayaan maulid Nabi Muhammad SAW yang semarak di banyak tempat, ada sederet tanya yang mungkin saja terlupa dari ruang rawat-ingat kita. ‘Siapakah Nabi Muhammad?’, ‘bagaimana meneladaninya? Dan jika itu belum cukup, kita bisa menambah tanya, ‘kenapa harus, dan bagaimana mencintainya?’. Pertanyaan ini penting dipikirkan dalam benak dan ditirakati dalam zikir. Setidaknya untuk mengimbangi semaraknya acara tabligh akbar, yang sayangnya belakangan tampak sedikit klise dan fakir.

Suatu waktu, seorang badui bertemu dengan Nabi Muhammad SAW yang tampak begitu berwibawa. Seketika ia bergetar, dalam hatinya dipenuhi rasa takut layaknya rakyat jelata di hadapan raja. Masyhur dalam beberapa riwayat, di antaranya adalah Abu Mas’ud bin ’Amr yang mewartakan bahwa ketika beliau melihat sikap badui tersebut, Nabi SAW segera berkata “Tenangkan dirimu! Aku bukan seorang raja, aku hanyalah seorang anak dari seorang ibu berbangsa Quraisy yang makan dendeng”. Berikut kutipan hadis yang termuat dalam kitab Sunan Ibnu Majah:

أَنَّ رَجُلا أَتَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَامَ بَيْنَ يَدَيْهِ فَأَخَذَهُ مِنَ الرِّعْدَةِ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “هَوِّنْ عَلَيْكَ، فَإِنِّي لَسْتُ بِمَلِكٍ، إِنَّمَا أَنَا ابْنُ امْرَأَةٍ مِنْ قُرَيْشٍ كَانَتْ تَأْكُلُ الْقَدِيدَ

Secara normatif, hadits ini mengajarkan tentang betapa pentingnya bersikap tawaduk bagi setiap orang yang memiliki kedudukan tinggi, baik sosial maupun agama. Tentu saja kita tidak dapat menafikan fakta sejarah tentang kedudukan terhormat suku Quraisy di tengah-tengah masyarakat Arab saat itu. Sehingga absahlah kiranya, kalau saja Nabi Muhammad SAW sebagai putra mahkota Quraisy untuk disegani layaknya seorang penguasa oleh klan-klan kecil di sekelilingnya.

Asal Mula Tradisi Berziarah Saban Jumat di Al-Azhar
Para talib Al-Azhar mempunyai tradisi ziarah saban Jumat. Guru besar Al-Azhar Syekh Fathi Hijazi mengisahkan riwayat ini dari gurunya.

Namun, di samping itu semua, hadits ini secara umum tampak menjadi jawaban bagi pertanyaan pertama di atas tentang ‘Siapa sebenarnya Nabi Muhammad SAW yang tak lain adalah anak dari seorang bernama Abdullah yang beristrikan Aminah, keduanya dari bangsa Quraisy. Ini adalah sisi yang paling sederhana, namun sangat krusial, di mana Nabi SAWmemperkenalkan dirinya sebagai seorang manusia. Ia sederhana karena banyak orang yang gagal memposisikan sisi humanis Nabi, dan juga krusial mengingat ia adalah kunci jawaban dari pertanyaan-pertanyaan setelahnya.

Sisi humanis Nabi SAW adalah ruang yang begitu luas untuk dijelajahi. Kita sering mendengar cerita yang masyhur di minbar-minbar maulid, bahwa ketika Nabi SAW mendengar kabar tentang orang yang begitu membencinya jatuh sakit, beliau segera datang untuk menjenguk dengan membawa makanan, hingga akhirnya orang tersebut luluh dan bersyahadat. Namun, kita sering pula lupa, bahwa sikap baik Nabi SAW itu ternyata bukan sebentuk upaya diplomatis agar orang tersebut berhenti menganggu apalagi menarik simpati agar ia masuk Islam. Alih-alih demikian, hal itu tak lain adalah implementasi dari sifat belas kasihnya yang tinggi. Adalah benar belaka kesaksikan Al-Quran:

لَقَدْ جَآءَكُمْ رَسُولٌ مِّنْ أَنفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُم بِٱلْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ

Sungguh, benar-benar telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri. Berat terasa olehnya penderitaan yang kamu alami, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, dan (bersikap) penyantun dan penyayang terhadap orang-orang mukmin. (Surah At-Taubah: 128)

Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Islam
Ulasan atas karangan guru besar hukum Al-Azhar Syekh Muhammad Muhanna yang membahas nilai-nilai terkait hak asasi manusia dalam ajaran Islam.

Samudera kemanusiaan Nabi SAW seolah tak pernah habis untuk ditulis, diceritakan, dan disampaikan. Hingga seringkali kita hanya melihat dari pinggir dan tak sempat merenang-selaminya. Kemanusiaan Nabi SAW tampak begitu kentara di balik sikap tegasnya dalam mengusir komplotan Yahudi yang tidak komitmen atas perjanjian damai, sebagaimana pula berpendar dalam penolakannya untuk berkompromi dengan pemuka Makkah agar ia menghentikan aktivitas dakwah yang dianggap membawa kekacauan. Sebagaimana manusia, Nabi SAW begitu kokoh dalam melaksanakan misi, seolah tak rela jika ada satu dari kaumnya yang berpaling dari kebenaran. Bahkan, kita tak asing dengan teguran halus dari Tuhan:

فَلَعَلَّكَ بَاخِعٌ نَّفْسَكَ عَلٰٓى اٰثَارِهِمْ اِنْ لَّمْ يُؤْمِنُوْا بِهٰذَا الْحَدِيْثِ اَسَفًا

Maka, boleh jadi engkau (Nabi Muhammad) akan mencelakakan dirimu karena bersedih hati setelah mereka berpaling sekiranya mereka tidak beriman kepada keterangan ini (Al-Quran). (Surah Al-Kahfi: 6)

Semua sikap, sifat, dan pilihan politik, keputusan hukum, selera makanan, hingga urusan rumah tangga dan berpakaian menunjukkan sisi humanis dari Nabi SAW. Beliau hidup bersama masyarakat, tumbuh, dan berkembang bersama mereka, hingga kemudian memperoleh risalah. Nashr Hamid Abu Zaid menyebutkan dalam karyanya yang berjudul Mafhum An-Nash, bahwa julukan Al-Amin yang disematkan oleh orang-orang Makkah menunjukkan betapa luruhnya beliau dengan tiap jengkal problem yang dihadapi kaumnya saat itu. Sehingga wajar kalau sebagian penolakan atas dakwah beliau saat itu salah satunya berangkat dari dalih kesehariannya yang sangat manusiawi:

وَقَالُوْا مَالِ هٰذَا الرَّسُوْلِ يَأْكُلُ الطَّعَامَ وَيَمْشِيْ فِى الْاَسْوَاقِۗ لَوْلَآ اُنْزِلَ اِلَيْهِ مَلَكٌ فَيَكُوْنَ مَعَهٗ نَذِيْرًا

Mereka berkata, “Mengapa Rasul (Nabi Muhammad) ini memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar? Mengapa malaikat tidak diturunkan kepadanya (agar malaikat) itu memberikan peringatan bersama dia. (Surah Al-Furqan: 7)

Lingkungan

Kumpulan tulisan yang mengangkat isu lingkungan dapat teman-teman baca

di sini

Melihat sisi humanisme yang begitu luas dan mendalam ini, kita setidaknya dapat menjawab pertanyaan kedua, bahwa untuk meneladaninya kita tidak perlu menjadi malaikat dulu. Sesederhana menjadi manusia, -yang tentu saja tidak sederhana- adalah cara yang paling manusiawi untuk menghadirkan Nabi dalam keseharian kita.

Meskipun, sisi ini kerap kabur oleh karena sebagian besar dari kita justru lebih senang melihat sisi kenabian serta hal-hal khariq al-‘adah dan supra-rasional yang menyertainya. Gambaran tentang biografi, akhlak, dan sisi lain dari Nabi yang begitu tinggi, seharusnya tidak menenggelamkan sisi substansial kemanusiaannya. Karena bagaimana pun, Rabiul Awal adalah hari di mana kita merayakan kelahiran beliau sebagai manusia seutuhnya. Melalui sisi manusiawinya, Allah SWTmengirimkan pesan dan bimbingan bagi kita untuk mencapai derajat tertinggi sebagai manusia. Tepatlah kiranya ketika Imam Al-Bushiri menulis di ujung pencariannya atas jati diri Nabi Muhammad SAW:

فمبلغ العلم فيه أنه بشر وأنه خير خلق الله كلهم

‘Maka puncak dari pengetahuan tentangnya adalah ‘dia seorang manusia, dan dia adalah sebaik-baiknya makhluk Allah, seluruhnya”.

Di Balik Nama Qashidah Burdah dan Bur’ah
Terdapat satu jenis gubahan syair Arab yang kerap disebut Qashidah. Yang terbilang masyhur dan punya asal-usul menarik adalah Burdah dan Bur’ah.

Demikian pula, cara terbaik mencintai Nabi SAW adalah dengan mencintai manusia tanpa memandang siapa dan dari mana. Hal ini karena risalah yang dibawa oleh Nabi SAW adalah risalah kemanusiaan. Sehingga atas nama kemanusiaan itu, Sayidina Abu Bakar rela menghabiskan seluruh hartanya untuk perjuangan dakwah. Sehingga dengan itu ia memperoleh kedudukan yang tinggi, sebagaimana diabadikan dalam Al-Quran (Surah Al-Lail: 5-7).

قُلْ اِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللّٰهَ فَاتَّبِعُوْنِيْ يُحْبِبْكُمُ اللّٰهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ ۗ وَاللّٰهُ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ

‘Katakanlah (Nabi Muhammad), “Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.’


💡
Baca juga artikel lain di rubrik ISLAMUNA atau tulisan menarik M Hasani Mubarak

Latest