Syekh Muhammad Syamsuddin, Maha Guru Ulama Akidah di Al-Azhar

Ia bernama Muhammad Syamsuddin Ibrahim Salim, salah satu pembesar para ulama ilmu kalam di Al-Azhar. Dalam kitab Jamharah A’lam Al-Azhar Asy-Syarif, Syekh Usamah Al-Azhari menyebutnya sebagai sosok alamah nan muhakik, pakar ilmu aqliyyah dan mantik. Ia dilahirkan di Provinsi Al-Iskandariyyah, Mesir pada hari Rabu, 26 Rabiulawal 1328 H (6 April 1910 M).

Masa kecilnya ia lalui layaknya kisah hidup para pembesar ulama lainnya ketika melalui masa kecil. Ia tumbuh dan berkembang di sebuah keluarga yang menjadikan agama sebagai prioritas dalam menjalani kehidupan. Ayahnya adalah salah satu ulama Al-Azhar yang menjadi madrasah pertamanya. Sebagai figur seorang Azhari dan kepala rumah tangga, selama hidupnya, sang ayah mendidik putranya yang masih kecil itu dengan banyak doa dan ajaran yang baik. Meski ia wafat saat anaknya berumur 5 tahun, namun asar sang ayah begitu membekas pada diri Muhammad Syamsuddin, sang anak.

Setelah wafat, Muhammad Syamsuddin kecil diasuh oleh kakak tertuanya dengan pola asuh yang sama dengan yang dilakukan ayah mereka. Sang kakak memasukkan sang adik ke sebuah kuttab untuk menghafal Al-Quran hingga selesai pada umur 11 tahun. Sembari menghafal, ia senantiasa mangkhatamkan Al-Quran tiga hari sekali secara kontinu.

Masa Belajar

Pada bulan September 1922 M, di umur yang sudah mencukupi untuk melanjutkan jenjang pendidikan selanjutnya, Muhammad Syamsuddin muda masuk ke Ma’had Al-Azhar Al-Iskandariyyah: Ibtidaiyyah (setingkat SD) selama empat tahun, lalu disusul dengan Tsanawiyyah (setingkat SMP dan SMA) selama empat tahun pula.

Dalam memoar hidup yang ia tulis di dalam Majalah Al-Azhar, ia bercerita mengenai pembelajaran di ma’had Al-Azhar pada masanya, “Kalian dapat membayangkan, bahwa waktu belajar pada masa itu ditempuh selama seharian penuh, dimulai dari pukul setengah tujuh pagi, hingga berakhir pada pukul enam sore. Hanya diselingi waktu istirahat pada saat salat Zuhur dan Asar saja. Dalam satu hari, kami mempelajari empat mata pelajaran. Tiap satu pelajaran selama dua jam. Begitupun dengan ajar-mengajar dalam setahun, yang tak kurang dari sebelas bulan.”

Setelah menamatkan jenjang Ibtidaiyyah dan Tsanawiyyah, Muhammad Syamsuddin muda lulus pada tahun ajaran 1930/1931 M. Di tahun kelulusan ini pula, Universitas Al-Azhar Modern dibuka, yakni pada masa kepemimpinan Syekhul-Azhar Muhammad Al-Ahmadi Azh-Zhawahiri. Ia kemudian melanjutkan jenjang pendidikan selanjutnya pada Fakultas Usuludin, sekaligus menjadi salah satu mahasiswa angkatan pertamanya.

Setelah menempuh masa belajar di kuliah, ia memperoleh Syahadah Al-‘Aliyyah pada Januari 1936 M dengan peringkat ke-11. Di tahun yang sama ini pula, Syekh Muhammad Syamsuddin melanjutkan jenjang selanjutnya di Qism At-Takhashshush Syu’bah Akidah dan Filsafat, atau jenjang S2 pada masa kini. Namun, sistem pendidikan kala itu berbeda dengan sekarang. Pada masa beliau, jenjang ini ditempuh selama 5 tahun secara kontinu, lalu diakhiri dengan imtihan tamhidi pada tahun terakhir. Sebuah imtihan yang akan menentukan seorang mahasiswa kala itu untuk dapat menuliskan disertasi doktoral di jenjang setelahnya.

Al-Azhar

Sepilihan tulisan yang mengisahkan sejarah Al-Azhar dapat teman-teman temukan

di sini

Setelah menyelesaikan imtihan tamhidi, Syekh Muhammad Syamsuddin mengajukan disertasi yang berjudul Al-Ghazali wa Qimah Naqdihi li Al-Falsafah, dengan Syekh Muhammad Al-Bahi sebagai dosen pembimbingnya. Disertasi ini beliau rampungkan selama kurang lebih lima tahun, hingga meraih gelar doktor pada 27 Januari 1946 M setelah diuji oleh beberapa pembesar ulama Al-Azhar kala itu, yakni Syekh Ibrahim Al-Jibali, Syekh Isa Mannun, Syekh Ath-Thayyib An-Najjar, dan Syekh Muhammad Yusuf Musa.

Profesi

Setelah merampungkan seluruh jenjang belajar di Al-Azhar sejak SD hingga S3, Syekh Muhammad Syamsuddin mulai bekerja di tempat di mana beliau dulu ditempa. Beliau mengajar di sejumlah ma’had Al-Azhar yang ada di beberapa daerah. Setelah delapan tahun berlalu, Syekh Muhammad Syamsuddin dilantik sebagai mudarris (dosen) di Fakultas Usuludin Universitas Al-Azhar pada Oktober 1954 M di jurusan Akidah dan Filsafat.

Dari sana, jabatan beliau terus naik, dari mudarris (dosen) naik ke ustadz musa’id (profesor madya) pada 1966 M, lalu naik menjadi ra'is qism (Kepala Program Studi) Akidah dan Filsafat, dan anggota Komite untuk Promosi Pengajar. Kemudian pada tahun 1971 M, beliau naik jabatan menjadi Profesor atau Guru Besar Akidah dan Filsafat, hingga pensiun pada 1975 M sekaligus dilantik menjadi ustadz mutafarrigh (profesor emeritus) dan anggota Komite untuk Promosi Profesor.

Selain itu, beliau juga pernah diutus sebagai dosen terbang ke Libya dua kali: pertama pada tahun 1964 M dan kedua pada tahun 1971 M. pada pengutusan pertama, beliau diminta mengajar tauhid dan filsafat di Universitas Islam Libya hingga tahun 1969 M, bersama dengan Syekh Muhammad Abdurrahman Bishar yang kelak menjadi Syekhul-Azhar, Syekh Ali Muhammad Jabr, dan Syekh Abdul’aziz ‘Ubaid. Sedangkat pengutusan kedua berada di tempat yang sama sampai tahun 1975 M. Terakhir, beliau juga pernah menjadi dosen terbang di Fakultas Syariah, Universitas Ummul Qura, Saudi Arabia, selama satu tahun ajaran.

Selain mengajar, beliau juga dilantik menjadi anggota Majma’ Al-Buhuts Al-Islamiyyah (Lembaga Riset Islam) Al-Azhar pada 8 Syawal 1400 H (8 Agustus 1980 M). Tiga tahun setelahnya, pada perayaan besar-besaran Ulang Tahun Al-Azhar yang ke-1000 pada tahun 1983 M, beliau memperoleh Wisam Al-‘Ulum wa Al-Funun min Ath-Thabaqah Al-Ula (Medali Sains dan Keilmuan Bintang Satu).

Guru dan Murid

Sosok Syekh Muhammad Syamsuddin yang menjadi penggawa serta benteng akidah pada masanya tak terlepas dari ajaran dan didikan para gurunya semasa belajar. Dalam salah satu wawancara yang termaktub di dalam Majalah Al-Azhar edisi Muharam 1411 H (Agustus 1990 M), beliau menyebutkan sejumlah nama para guru, dimulai dari jenjang Ibtidaiyyah (SD), Tsanawiyyah (SMP dan SMA), hingga ‘Aliyyah (perkuliahan).

Pada jenjang Ibtidaiyyah, beliau belajar kepada Syekh Mahmud Syaltut dalam pelajaran akhlak dan sirah nabawiah, Syekh Muhammad Abdullah Diraz dalam pelajaran tauhid, Syekh Abdulhalim Qadum dalam pelajaran fikih, dan Syekh Muhammad Jamaluddin dalam pelajaran nahwu.

Adapun pada jenjang Tsanawiyyah, beliau belajar kepada Syekh Hasan Marzuq dalam pelajaran fikih, Syekh Abdul’aziz Al-Maraghi dalam pelajaran tafsir, Syekh Muhammad Abdullah Madhi dalam pelajaran sejarah, dan Mustasyar Asy-Syafi’i Al-Labban dalam pelajaran siyasah.

Lalu, pada jenjang ‘Aliyyah, beliau belajar kepada Syekh Mahmud Abu Daqiqah dalam pelajaran tauhid, Syekh Abdul’aziz Khaththab dalam pelajaran balaghah, Syekh Muhammad Ali Salamah dalam pelajaran tauhid, Syekh Muhammad Sya’ban dalam pelajaran tafsir, Syekh Muhammad Asy-Syafi’i Azh-Zhawahiri dalam pelajaran tauhid, Syekh Amin Al-Khuli dalam pelajaran filsafat, Syekh Muhammad Abu Zahrah dalam pelajaran ilmu debat, Syekh Ali Hasan Abdulqadir dalam pelajaran  akhlak.

Selain beberapa nama di atas, beliau juga belajar kepada Syekh Abdulmajid Al-Labban, Syekh Muhammad Yusuf Musa, Syekh Muhammad Ghallab, Syekh Muhammad Al-Bahi, Syekh Isa Mannun, dan masih banyak lagi.

Dengan melihat sejumlah daftar nama di atas, sangat pantas jika sosok Syekh Muhammad Syamsuddin menjadi salah satu pembesar ulama Al-Azhar pada masanya. Dari sosok beliau pulalah, lahir sejumlah murid cemerlang, yang pada hari ini menjadi nakhoda dalam perjalanan institusi Al-Azhar. Sebut saja seperti Syekhul-Azhar Ahmad Ath-Thayyib, orang paling berpengaruh di Al-Azhar sekaligus pemimpin tertingginya.

Lalu, disusul pula dengan para murid beliau yang saat ini berada di dalam keanggotaan Haiah Kibar Al-‘Ulama (Dewan Ulama Senior) Al-Azhar, semisal Syekh Hasan Asy-Syafi’i, Syekh Mahmud Hamdi Zaqzuq, Syekh Muhammad Abdulfadhil Al-Qushi, Syekh Abdul’aziz Saif An-Nashr, Syekh Ahmad Umar Hasyim, dan Syekh Ahmad Ma’bad Abdulkarim.

Karya Tulis

Syekh Muhammad Syamsuddin tak hanya mencukupkan diri dalam dunia belajar-mengajar. Beliau juga turut mencurahkan tintanya untuk generasi selanjutnya. Karya-karya ilmiah yang beliau tulis dikenal dengan kemudahan uslub dan narasinya. Hal ini membuat pembahasan yang aslinya berat, menjadi sesuai dengan keadaan orang-orang di zamannya, dengan tetap menampilkan intisari turats di dalamnya.

Salah satu murid beliau, Syekh Hasan Asy-Syafi’i pernah berkata, “Guru kami, Syamsuddin, tidak hanya mengajar saja. Lebih dari itu, beliau adalah sosok yang pakar dalam bidang kepenulisan dan meninggalkan sejumlah karya.” Adapun karya-karya tersebut yaitu:

-       Al-Ghazali wa Qimah Naqdihi li Al-Falsafah;

-       Taisir Al-Qawa’id Al-Manthiqiyyah Syarh Ar-Risalah Asy-Syamsiyyah;

-       Taudhihat fi Al-‘Aqaid;

-       Syarh Nushush Mukhtarah min Kutub Al-Isyarah li Ibn Sina;

-       Muhadharat fi Al-‘Aqidah wa Al-Milal wa An-Nihal;

-       Muhadharat fi Al-‘Aqidah wa Al-Akhlaq;

-       Muhadharat fi Al-Manthiq Al-Hadits wa Manahij Al-Bahts;

-       Muhadharat fi Syarh Nushush Falsafiyyah; dan

-       Muhadharat fi At-Tauhid wa Al-‘Aqidah wa Al-Fikr Al-Hadits.

Akhir Hayat

Syahdan, pada pertengahan bulan Ramadan 1411 H, Syekh Muhammad Syamsuddin bermimpi bahwa ia akan wafat pada bulan nan mulia ini. Beliau kemudian mengabarkan hal ini kepada putrinya, Shafiyyah, serta menerangkan takwilnya kepada sang putri. Beliau menyatakan sangat berharap akan hal itu. Hanya saja, takwil mimpi tersebut justru terjadi kepada istri tercinta. Pada malam terakhir Ramadan tahun itu, tepatnya pada 14 April 1991 M, sang istri menghembuskan nafas terakhir menuju Rabb-nya.

Pasca peristiwa ini, Syekh Muhammad Syamsuddin banyak berdiam diri, merenung, dan merasakan sakit akan perpisahan dengan sang istri. Dengan umur yang sudah senja, hal ini kemudian berdampak kepada kesehatan beliau. Beliau lalu dibawa ke rumah sakit dengan perhatian penuh para awak medis.

Syekh Prof. Dr. Mahmud Hamdi Zaqzuq, muridnya, yang saat itu menjabat Dekan Fakultas Usuludin Universitas Al-Azhar senantiasa berkomunikasi dengan para keluarga dan menjenguk sang guru. Hingga pada hari Senin, 13 Muharam 1413 H (13 Juli 1992 M), Syekh Muhammad Syamsuddin menghembuskan nafas terakhir. Jenazah beliau disalatkan di Masjid Al-Azhar sebagaimana wasiat beliau sebelum wafat. Diceritakan oleh cucu beliau, Dr. Ghadah Abdulmuhaimin, Syekh Muhammad Syamsuddin berkata, “Aku telah memberikan banyak hal untuk Al-Azhar. Sudah seyogianya jasadku kelak dapat disalatkan di dalam Masjid Al-Azhar.”


💡
Baca juga artikel lain di rubrik BIOGRAFI atau tulisan menarik Amirul Mukminin